Pena Api Menantang Waktu: Kilas Balik Proses Kreatif Pramoedya Ananta Toer (Sumber foto: suara.com)
Pena Api Menantang Waktu: Kilas Balik Proses Kreatif Pramoedya Ananta Toer (Sumber foto: suara.com)

Sastra bukan sesuatu yang utuh, bukan sesuatu yang tiba- tiba hadir seperti “jumpscare” pada scene horor. Namun, sastra merupakan kristalisasi dari aspek- aspek yang dialami oleh seorang pengarang. Perkembangan kesusastraan Indonesia juga tidak hadir dalam sekejap mata. Tetapi, sejarah sastra Indonesia dibentuk melalui serangkaian kejadian sejarah bangsa ini. Sastra hadir sebagai representasi kejadian, tragedi, dan momen, yang selalu berkaitan dengan wilayah politik, sosial, budaya, ekonomi. 

Sosok Pram, yang lahir 6 Februari 1925, di Blora, Jawa Tengah,  merupakan sosok yang kharismatik dan unik. Hidupnya juga penuh dengan perjalanan dan perjuangan.  Perjuangan Pram dibagi menjadi dua perjuangan: konseptual (melalui tulisan); perjuangan aktual (perjalanan kehidupan Pram sendiri). Pram adalah seorang yang sudah berjuang sejak zaman penjajahan Jepang, terbukti  Pram kembali ke Jakarta untuk bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air). Pada Oktober 1945, ia diangkat menjadi prajurit inti di Divisi Siliwangi, setelah sebelumnya bergabung dengan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan ditempatkan di Cikampek di Kesatuan Banteng Taruna. Dengan cepat, ia berhasil meningkatkan jabatannya menjadi sersan mayor, sebelum akhirnya resmi berhenti dari militer pada 1 Januari 1947 (Rahayu, 2024).

Kemampuan Pram dalam menangkap kejadian dan ditulis dalam bentuk novel, adalah bukti kejeniusannya sebagai seorang sastrawan. Pena yang selalu menggambarkan kejadian nyata dari apa yang dialami seorang Pram. Buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947) merupakan karya awal-awal Pram di masa perjuangan setelah proklamasi. Di sisi lain, ia adalah muslim yang teguh. Dibuktikan dengan lahirnya tetralogi buru. Ia yang teguh menghadapi penderitaan, kerinduan dengan keluarga dan kekecewaan kepada rezim. Semakin membakar pena perjuangannya untuk menantang waktu, melalui sejumlah karya yang sudah terbit. 

Dalam pengasingannya di Pulau Buru, ia juga yang mencatat nama korban-korban pembunuhan dan yang terkena penyakit. Hal itu adalah sebentuk keberanian Pram dalam menantang waktu. Menurut dia, kebenaran harus diperjuangkan agar itu menjadi “benar”. Melalui karyanya, ia berjuang untuk membuktikan dia bukan sebagai antek komunis. Tapi ia lebih dari komunis: ia adalah seorang humanis-nasionalis. Setiap karyanya konsisten menekankan aspek riil yang dialami oleh manusia dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sastra Pram, kita tahu, juga dijuluki sastra poskolonial dan pascakolonial, karena keahliannya dalam menangkap realitas dan pengalaman masa kolonial. Salah satunya adalah novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Ciri khas poskolonialisme dapat dilihat melalui empat aspek utama: pertama, analisis terhadap dampak penjajahan kolonial; kedua, kajian mengenai ideologi yang muncul; ketiga, penelaahan mengenai hegemoni kekuasaan; dan keempat, eksplorasi hegemoni dalam konteks gender (Susilowati, dkk. 2024).

Pram adalah seorang sastrawan realisme sosialis. Layaknya seorang sastrawan, ia biasanya menyukai berbagai aliran sastra. Lebih tepatnya, Pram konsisten menyukai, hal- hal yang berbau “emansipatoris”, terkait perjuangan, harapan, dan perlawanan. Pena Pram adalah pena api yang menantang waktu, menciptakan fragmen-fragmen narasi dari Pram tentang identitas & resistensi bangsa Indonesia terhadap kolonialisme. Pena api tidak sekadar menyala tapi juga memberikan cahaya (kesadaran) bagi mereka yang mengalami kegelapan akan penindasan.

Pena api Pram dibentuk ketika hidupnya dihabiskan untuk perjuangan. Pena api Pram menolak bentuk apa pun dari feodalisme, bahkan namanya Mastoer, kata “Mas” ia hapus dan hanya ada kata “Toer”. Walaupun ia dikenal karyanya yang cerdas dan kompleks, ia tidak belajar sendiri. Pram ketika sekolah dasar diceritakan tidak naik kelas tiga kali. Maka ayahnya pun memberikan pendidikan kepada Pram, untuk memerangi kebodohan dan mencapai manusia merdeka. Semangat nasionalisme banyak terbakar oleh pendidikan ayahnya, yang kemudian mendorong pram untuk bergabung perjuangan Indonesia melawan kolonialisme (Farela, 2018).

Pena Api yang Terus Menyala Menantang Waktu

Jika bangsa Inggris memiliki George Orwell dengan karya Animal Farm, dan jika bangsa Rusia memiliki Fyodor Dostoevsky dengan karya Crime and Punishment, kita bangsa Indonesia mempunyai Pram dan Bumi Manusia. Bumi Manusia merupakan pena api besar yang paling menantang waktu dan monumental. Karena karya tersebut ditulis pram ketika menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Novel ini dipenuhi dengan kritik sosial terhadap nilai-nilai tradisional maupun modern. Ambiguitas yang melekat pada setiap karakter membuat karya ini tidak hanya berhasil menggambarkan revolusi budaya di negara yang terjajah, tetapi juga menolak pengagungan mutlak terhadap suatu nilai budaya dan sosial. Selain itu karya ini merupakan representasi konflik dan hubungan kulit putih dengan masyarakat pribumi (Hastuti, 2018).

Pram adalah sosok pembelajar yang patriotik, teguh dengan prinsipnya. Teladannya tidak akan pernah surut atau mati. Kecintaan beliau terhadap bangsanya sendiri tercermin dari karya-karya yang besar itu. Selain nasionalis, Pram juga seorang yang mengafirmasi demokrasi, dalam buku Kata-Kata Pramoedya Ananta Toer karya Aristo Farela, Pram mengatakan:

Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik. Sebagai sistem politik, sudah membuktikan tidak demokratis. Sampai sekarang. Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalanya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu pasti akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan- aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab manusia punya hak untuk bicara.” (Farela, 2018)

Pena api Pram berhasil menjelaskan posisi “manusia Indonesia”. Semangat Pram untuk menulis saat menjadi tahanan politik di pulau buru. Menjadikan Pram mengajarkan arti penting nasionalisme. Dalam buku Bumi Manusia,  Pram  berhasil mengekstrak nilai-nilai manusia Indonesia dengan mengajarkan arti kemerdekaan yang sesungguhnya, yakni merdeka berarti bebas dari penghambaan, penjajahan, dan segala bentuk penindasan. Ini mencerminkan kemampuan untuk berdiri sendiri, tanpa terikat atau bergantung pada apa pun. Gambaran manusia  merdeka ini secara eksplisit diterangkan dengan baik oleh Pramoedya pada sosok Minke, seorang pribumi yang memiliki jiwa besar dan kerinduan untuk mencapai kemerdekaan diri: Sahaya hanya ingin menjadi jadi manusia bebas, tidak diperintah, tidak memerintah, Bunda. Dan kemerdekaan itu harus disertai dengan keberanian dan perjuangan, disertai adab budaya yang sudah dimiliki bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan rasa menghormati, mencintai sesama.

Dalam novelnya, Pramoedya menggambarkan betapa sistem feodalisme memberikan dampak negatif bagi masyarakat pribumi. Ia menyoroti bagaimana jabatan dan pangkat sering kali lebih diutamakan daripada prestasi individu. Minke, sebagai tokoh yang berprestasi, digambarkan tidak pernah mendapat pengakuan dari bangsa Eropa; sebaliknya, ia justru dihina karena identitasnya sebagai seorang pribumi. Selanjutnya pram mengharapkan manusia Indonesia yang berilmu, yang menjadikan manusia dapat berdiri sendiri dengan keilmuannya, membangun manusia merdeka yang bahagia (Ambrosius, 2024).

Keunikan Pram dan Misteri Pembuatan Karyanya

Selain seorang sastrawan ia juga seorang manusia yang memiliki keunikannya yang berbeda dengan orang lainya. Pram di mata keluarga terkadang pribadi yang penyendiri, tapi ia selalu merasa nyaman dengan ramai cucu-cucunya. Apalagi, setelah selesai menjadi tahanan politik, beliau selalu merindukan keluarga. Selain itu ada juga yang membuat Pram selalu terlihat bahagia, ia sudah terbiasa mengolah penderitaan selama di Pulau Buru. Dan ia selalu makan bawang putih sebagai obat. Kemudian Pram juga memiliki hobi selain menulis sama seperti adiknya Soesilo Ananta Toer, yakni membakar sampah, mungkin hobinya ini bentuk pelepasan emosi untuk dibakar.  Yang terakhir, Pram adalah seorang yang mencintai bangsanya sendiri, terbukti Pram pernah ditawarkan oleh Oliver Stone seorang sutradara   ternama Amerika untuk membeli  hak memfilmkan dengan nilai sekitar 1,5 juta dollar AS. Tapi Pram menolaknya ia ingin karyanya difilmkan dari sutradara dan produser Indonesia (Farela, 2018).

Karya Bumi Manusia, dahulu sempat diceritakan dan ditulis secara sembunyi- sembunyi di tahanan. Yang menjadi misteri bagaimana naskah asli Bumi Manusia bisa selamat. Karena pada masa itu pengawasan di pulau buru sangat ketat. Ternyata naskah asli bisa diselundupkan keluar Pulau Buru melalui bantuan Oei Hiem Hwie. Aksi keduanya ternyata melalui gerakan sembunyi-sembunyi, naskah yang sudah diketik, Pram dan Oei kemudian membuat lubang, naskah itu dibungkus melalui daun pisang dan dimasukkan ke lubang itu, kemudian lubang itu ditutupi sehingga menyerupai septic tank. Kemudian naskah tersebut dikumpulkan oleh temannya Oei yang notabene seorang pastor, dan berhasil menyelamatkan naskah asli Bumi Manusia dan mengirimkannya kepada penerbit Hasta Mitra yang kemudian mencetak Bumi Manusia pertama kali, saat ini naskah itu masih ada di kediaman Oei di perpustakaan miliknya berlokasi di Medokan Ayu, Surabaya Timur (Farela, 2018).

Proses Kreatif yang Konsisten

Sebagai penulis yang produktif, yang sangat sulit disaingi penulis lainya adalah Pram merasa kehidupannya adalah untuk menulis. Dia punya banyak cara untuk menulis, Pram selalu menulis dengan apa yang dipikirkannya dan apa yang digagas. Kedisiplinan akan menulis juga dibuktikan akan kedisiplinan membaca untuk menentukan sebuah kata yang renyah gurih, maka perlu resep dan bumbu-bumbu dapur (buku) yang bagus untuk nutrisi penulis. Dan budaya Pram sangat unik, ia terbiasa mengkliping hal-hal yang unik ditemukan di koran dan majalah untuk disimpan. 

Dan yang terakhir menjadi seseorang yang terbuka, dan responsif (peka) terhadap perubahan sekitar. Dari modal seperti itu hanya menunggu waktu untuk sebuah karya bisa lahir. Pram selalu mengatakan bahwa cerita-ceritanya, setelah naskah itu lahir,  selalu punya cerita tersendiri. Biarlah mereka hidup dengan jalannya masing-masing. Dalam hal ini Pram menekankan untuk selalu berproses menulis untuk proses kreatif, dan tidak mengharapkan karyanya dibaca atau tidak, karya itu akan mengalir kepada hilirnya. Mungkin itulah kilas balik proses kreatif Pram, banyak hal yang bisa diambil, dan banyak hal yang bisa dipelajari. Seperti yang dikatakan Pram: Menulislah maka kita akan abadi dalam sejarah.

Daftar Pustaka

Rahayu. 2024. “DINAMIKA KREATIFITAS SASTRAWAN: PRAMOEDYA ANANTA TOER DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA”, HUMANITIS: Jurnal Humaniora, Sosial dan Bisnis, Vol. 2 No.2 , hal. 244-250.

Susilowati, dkk. 2024. “KAJIAN PASCAKOLONIAL DALAM NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia serta Bahasa Daerah,Vol. 13, No.1,  Hal 610- 622.

Farela Aristo. 2018. “KATA KATA PRAMOEDYA ANANTA TOER UNTUK INDONESIA”, Ecosystem Publishing, Surabaya.

Hastuti. 2018. “NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA”, HUMANIKA Vol.25 No.1, hal 64- 74.

Ambrosius. 2024. “Manusia Indonesia Menurut Pramoedya Ananta Toer

(Sebuah Studi atas Novel Bumi Manusia)”, Seri Mitra Refleksi Ilmiah-Pastoral, Vol. 3, No. 1, Hal 206- 217.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here