Pertemuan dengan Amal
langit sedang mengelabu,
ketika kutemukan buku revolusi itu.
tepat di dalam halaman ke 1812,
aku bertemu Amal,
penyair Mesir,
yang di matanya
terpantul
bayangan negeri yang terpecah-pecah.
“kau lihat,”
katanya,
“Jalanan-jalanan ini,
Makam Sadat, Maidan Tahrir
seolah mengisahkan
luka yang tak kunjung sembuh.
sejarah menggulung kembali kisah pilu itu”
di antara tumpukan puisi,
kita merajut
kata-kata,
membangun jembatan
di atas air keruh,
mengurai gelisah
yang menyesak di dada.
“apa arti hidup
dalam reruntuhan?” tanyaku,
dan ia tersenyum getir.
kita berbincang tentang
mimpi yang terbuang,
suara-suara yang teredam
di tengah desah napas kota.
wajah-wajah yang hilang
dalam kerumunan,
tak pernah tahu
bahwa kita berdua
menatap cermin yang sama.
Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Kairo, 22 September 2024
Penyair yang Ingin Mengurung Kairo di Puisinya
Di sudut Khan el-Khalili, meringkuk Kafe tua,
Asap shisha melayang seperti gumam sejarah,
Pecahan suara oud mengiris waktu,
Lembut menari bersama desir angin.
Ia duduk di pojok bayang,
Seperti pencari oase di tengah gurun,
Tiap teguk ahwa* hitamnya membawa cermin
Untuk memantulkan cahaya piramida yang tak pernah padam.
Kairo bernafas di antara debu jalanan,
Dan lampu-lampu kuning yang merangkai bintang buatan.
Sungai Nil bisu, tetapi mendesir
Dada merindu dalam pada hakikat ketenangan.
Di sana, di kafe yang semakin bangka itu, waktu bukanlah jam,
Tapi hujan mimpi yang turun dari menara,
Seperti kata-kata yang hilang di mulut penyair.
Ia menunggu, dalam sabar yang tak terbaca.
Pasar malam menyanyikan puisi asing,
Tapi di antara setiap tarikan napas,
Ada rahasia yang tak tertulis,
Seperti hieroglif yang hanya dimengerti angin.
Ia mencari, bukan dengan mata,
Tapi dengan hati yang berselimut debu Sahara,
Menyusuri lorong-lorong tua Kairo
Sampai akhirnya kata-kata meruah, bukan sebagai jawaban,
Tapi pertanyaan, yang berputar, seperti spiral di dalam cangkirnya.
Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Kairo, 24 September 2024
Tubuh yang Terdampar di Jantung Metropolitan
gemuruh mesin dan langkah,
tubuhku terdampar di jantung metropolitan,
serpihan mimpi terbang di udara,
tapi hatiku,
hampa nirsuara
lampu-lampu,
seolah menari,
memancarkan cahaya
yang tak bisa
menyentuh jiwa
di balik senyum
yang terlukis,
ada ruang kosong
berjejal rasa.
wajah-wajah melintas,
serupa bayangan,
cerita-cerita
terabaikan di sela
langkah cepat,
semua terperosok
dalam kesibukan,
namun aku adalah rindu yang terkurung.
kota ini,
labirin tak berujung,
suara ramai bagaikan ombak,
menggulung jiwa yang terasing,
sementara aku berdiri
di pinggir,
menanti
arus yang tak kunjung datang.
di balik jendela kaca,
angin berbisik,
mengisahkan harapan
yang terlewatkan,
dan dalam keramaian ini
aku menjadi saksi
dari hidup yang melintas,
tanpa pernah
menyentuhku.
Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Kairo, 20 September 2024
Matahari Tua di Kulitmu—Hangat
Engkau berjalan, seolah piramida pun takluk,
Cleopatra kembali.
Matahari tua di kulitmu—hangat,
Aku terpanggang, tapi tersenyum.
Kopi di Khan el-Khalili terlalu pahit,
Tapi senyummu, ah,
Manis seperti baklava yang tak mau hilang di lidah.
Usiamu bercerita,
Tapi aku mendengar nada-nada nakal di setiap keriput.
“Kairo,” katamu, “adalah kota yang tahu caranya mencintai.”
Dan aku tersipu,
Tenggelam di antara kata dan desir malam,
Mencari bayangmu,
Di setiap sudut kafe, dalam riuhnya bualan pasar,
Seperti anak kecil yang jatuh cinta,
Pada wanita yang mencintai dengan cara tak terduga.
Lalu Azmil Azizul Muttaqin
Kairo, 18 September 2024
*Kopi. Asal kata Qahwa, lahjat Ammiyah Mesir menjadi Ahwa