Penulis
Sumber foto: id.depositphotos.com

Barangkali benar apa yang dikatakan oleh seorang penyair, bahwa dewasa ini penulis sudah macam kedai kopi: Di setiap perempatan mesti ada.

Untuk sejenak, aku berpikir dan merenung, kemudian menerima pernyataan itu. Kalau tidak percaya, mari kita bedah bersama. Untuk mengawali sesi bedah pernyataan di atas, akan lebih baik untuk mengetahui definisi dari “penulis”.

Bahasa menerjemahkan “penulis” sebagai “orang yang menulis”, sederhana dan benar. KBBI juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh bahasa, tapi juga memiliki pendapat agak lain; penulis adalah juga pengarang, panitera; sekretaris, pelukis; penggambar. Atau penulis adalah seseorang yang harus sudah menerbitkan buku?

Jujur aku lebih setuju dengan pendapat bahasa, terdengar (terbaca) sederhana dan benar. Hingga aku beranggapan bahwa semua orang adalah penulis. Termasuk aku, dan kalian yang sedang membaca ini. Maka pernyataan dari penyair di atas adalah benar adanya.

Sekarang, mari kita masuk pada bagian “bagaimana khalayak memandang sekaligus menilai bahwa orang itu adalah penulis”. Maka kutuliskan kalimat yang hampir serupa dengan kalimat yang mengawali latar belakang karya ilmiah dengan tema teknologi informasi.

“Pada era globalisasi yang pesat ini…” kebutuhan informasi yang cepat sudah menjadi makanan sehari-hari yang dikonsumsi oleh semua orang. Dalam hal ini contohnya adalah penggunaan sosial media. Maraknya pengguna sosial media dari kalangan bawah hingga kalangan atas membuat semua orang berlomba menampakkan diri dan eksis. Tak terkecuali dengan seseorang yang menulis, atau penulis.

Dengan bermodalkan instagram, foto senja atau laut atau mata cantik seorang gadis dengan gaun merah merekah, lalu ditambah dengan takarir merayu mendayu, seseorang sudah bisa disebut penulis. Tidak bermaksud satire, tapi percayalah bahwa aku juga masuk dalam daftar seseorang yang membuat akun instagram dan mengisinya dengan takarir demikian itu. Lantas, apakah merupakan suatu masalah jika kita menamai diri kita seorang penulis dengan bukti yakni adanya akun instagram semacam itu?

Tidak, sama sekali tidak masalah. Sesuatu yang besar seringkali berasal dari sesuatu yang kecil. Profesi penulis novel yang dipandang sebagai sesuatu yang besar misalnya, kita tak pernah tahu bagaimana langkah kecil seorang novelis pada zaman bahela. Sangat mungkin tercipta dan terpacu dari hal kecil macam menulis takarir yang lumayan panjang di instagram, atau story di WhatsApp-nya.

Sumber foto: volkpop.co (Ilustrasi warung kopi berjejer di sepanjang jalan dengan ciri khas yang berbeda, masing-masing punya pelanggan setia)

“Penulis sudah macam kedai kopi: Di tiap perempatan mesti ada”. Dan kedai kopi selalu punya pelanggan setianya sendiri. Ada yang cocok dengan takaran kopi oleh kedai A, tapi juga ada yang lebih suka dengan takaran kopi di kedai B. Semuanya bergantung pada selera masing-masing. Tidak serta-merta kedai kopi A menjadi kedai kopi yang tiada bandingannya, begitu juga dengan kedai kopi B, C, D, dan seterusnya.

Maka dalam hal kepenulisan juga sama, tidak ada penulis yang paten mengungguli penulis lain. Dan pembaca selalu punya selera dan hak untuk menyukai kopi di kedai mana atau tulisan dari siapa. Jika tidak terkesan lancang, biarlah aku juga membuat pernyataan bahwa sastra atau dalam dunia kepenulisan sama sekali beda dengan dunia eksakta macam matematika.

Hanya yang terpenting, sebagaimana kedai kopi yang tidak selalu dalam kondisi ramai dan hanya menghasilkan uang sekenanya, maka penulis juga sama. Satu-satunya cara untuk bertahan dalam dunia semacam ini adalah dengan kesenangan batin: Atau sama sekali tak terikat dengan kepuasan materi.

Sebab segala sesuatu yang dimulai dengan senang akan senantiasa menghasilkan senang. Tidak memburu sesuatu dan lebih memilih menikmati setiap masa dalam meramu kopi atau puisi adalah sesuatu yang mewah lagi memuaskan hati. Setidaknya itu menurutku, jika menurutmu tidak, ya tak apa.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here