Pram, Bumi Manusia dan Pendidikan Pembebasan (Sumber Foto: layar.id)
Pram, Bumi Manusia dan Pendidikan Pembebasan (Sumber Foto: layar.id)

Pram, begitu orang mengenalnya, sosok penulis yang sangat digandrungi oleh banyak orang. Bagi penulis, Pram merupakan penulis yang karyanya wajib dibaca oleh semua orang, bukan hanya kalangan tertentu seperti anak kuliahan, aktivis, akademisi, penggila sastra atau kelas menengah saja. Karena karya Pram memang layak dibaca oleh semua kalangan, penyajian tulisannya yang tidak rumit, lugas dan mudah dipahami. Apalagi karya sastra Pram selalu beririsan dengan peristiwa sejarah, misal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Calon Arang, Arus Balik dan karya-karya lainnya. Sehingga pembaca tidak akan terlalu sulit untuk mencerna atau berpikir mendalam terkait alur dan pesan yang ingin disampaikan oleh Pram.

Ciri khas dari seorang Pram adalah pandai menarasikan peristiwa sejarah, menjadi cerita menarik yang memiliki pertautan sangat erat dengan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Baik secara zaman maupun latar belakang cerita yang erat beririsan dengan peristiwa sosial dan politik. Memang, pada semasa usia prima Pram hidup di zaman pasca kemerdekaan, saat Indonesia dipimpin oleh Soekarno. Pada masa itu pula, semangat lepas dari bayang-bayang penjajahan sangat tinggi, atau boleh dikatakan era-era di mana situasi revolusi masih menyala-nyala. Kondisi tersebut salah satunya mendorong perkembangan pengetahuan, termasuk karya sastra memiliki langgam romantik dan progresif. Semacam ingin memberikan pesan, bahwa perubahan tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses panjang.

Karya-karya Pram pun tidak lepas dari situasi romantik progresif, misal kita sebut karya Bumi Manusia, meski terbit saat Orde Baru berkuasa, dan ia tulis saat berada dalam penjara. Tetapi karya tersebut merupakan refleksi panjang Pram selama melintasi era-era revolusi, serta memiliki makna tersirat lainnya. Pram seakan ingin berbicara bahwa untuk menuju Indonesia merdeka diperlukan jalan berliku, aneka peristiwa yang begitu kompleks serta panjang, serta tragedi-tragedi yang mengiris hati. Karena memang, fase kemerdekaan Indonesia dimulai dari beberapa tahap, salah satunya era kebangkitan pers pribumi yang ditandai dengan lahirnya Medan Prijaji besutan Tirto Adi Soerjo. Sebuah lembaga pers pribumi pertama di tengah dominasi pers berbahasa kolonial Belanda. Tirto ini sendirilah yang menjadi inspirasi Pram dalam novel Bumi manusia, dikenal dengan nama fiksi Minke. Bumi Manusia merupakan gambaran perjuangan Tirto, terutama kisah hidupnya dalam mengupayakan dan memperjuangkan kesetaraan, khususnya melalui pendidikan dan sikap yang berani.

Bumi Manusia Potret Penting Pendidikan untuk Kesetaraan

Bumi Manusia menceritakan tentang Minke, seorang bangsawan kecil di Jawa yang  tengah belajar di sebuah sekolah kolonial. Nama sekolah tersebut adalah Hogere Burgerschool (HBS), boleh dikatakan sekolah yang sangat bergengsi pada masalnya. Karena ketika masa itu, pendidikan merupakan hal yang langka dan hanya diperuntukkan untuk keturunan bangsawan, khususnya keturunan Belanda. Saat bersekolah di HBS, Minke dikenal sebagai sosok yang memiliki bakat dalam dunia tulis menulis, karyanya banyak dimuat dalam berbagi jurnal berbahasa Belanda, banyak orang yang kagum atas bakatnya, termasuk mereka orang Belanda di sekolahnya. Meski tergolong pintar, tetapi Minke sering diejek oleh teman sekelasnya yang keturunan Belanda, bahkan mengalami diskriminasi dan rasisme. Nama panggilan Minke sendiri bernada rasis, karena merupakan plesetan dari kata Monyet, sebuah panggilan yang diberikan guru Belanda kepadanya.

Minke digambarkan oleh Pram dalam Bumi Manusia sebagai sosok yang tumbuh sebagai pemberani, karena sepanjang cerita ia benar-benar menantang ketidakadilan, baik oleh orang-orang Belanda dan juga budayanya sendiri Jawa. Ia menantang perlakuan diskriminatif terhadap sesama orang Jawa, sekaligus mengkritik sikap tunduk para priyayi Jawa termasuk ayahnya kepada kolonial Belanda. Ia juga memperjuangkan hak-haknya dengan melawan pengadilan Belanda saat memperjuangkan cintanya pada Annelies, karena pernikahannya dengan kekasihnya itu tidak diakui, sebab Annelies masih di bawah umur dan harus mendapatkan persetujuan dari wali Belandanya. Meskipun, saat itu ibu Annelies, Nyai Ontosoroh telah merestui dan bertindak sebagai wali. Di dalam kisah ini kita disuguhkan perjuangan menuntut kesetaraan hak, terutama perjuangan Nyai Ontosoroh dengan dibantu oleh Minke agar diakui sebagai  ibu Annelies di mata hukum kolonial.

Nyai Ontosoroh, oleh Pram digambarkan sebagai sesosok perempuan Jawa yang cerdas dan mandiri. Dalam roman ini karakter Nyai Ontosoroh disebutkan sebagai sosok pribumi yang menjdi selir tuan Belanda bernama Herman Mellema. Terlepas dari statusnya sebagai seorang selir, bahkan kalau bahasa kejamnya Nyai mengarah pada sematan “gundik” Belanda. Ternyata Nyai Ontosoroh-lah yang menjadi tulang punggung keluarga. Karena seluruh bisnis dan urusan keluarga Nyai Ontosoroh yang mengelolanya, sebab Herman Mellema kehilangan akal sehatnya, alias sakit kejiwaannya. 

Pada saat itu di Hindia Belanda, banyak perempuan pribumi yang menjadi selir Belanda sering dianggap sebagai liyan. Mereka dianggap rendah baik oleh pribumi maupun kolonial, dilekatkan pada seseorang yang tidak bermoral atas statusnya. Karena posisi seorang selir itulah mereka sering mendapatkan diskriminasi, terutama dalam hal pengakuan sebagai wali dari anak-anak yang mereka lahirkan. Para selir itu, meskipun sebagai ibu kandung dari anak-anaknya tetap saja tidak dianggap sah secara hukum, kecuali diakui oleh ayah mereka, yang akan mengklasifikasikan mereka sebagai ‘Indo’ dan mencabut hak asuh ibunya. Tentu berbeda, jika seorang ibu adalah keturunan Belanda, maka akan diakui secara sah oleh hukum kolonial saat itu,

Pram pun mengisahkan bagaimana perjuangan Minke dan Nyai Ontosoroh menghadapi kesulitan karena statusnya. Baik Minke maupun Nyai Ontosoroh menyadari tentang situasi ketidakadilan yang dihadapinya dan percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk merebut kembali martabat dan mengatasi ketidaktahuan dan kemiskinan. Tetapi tragisnya, cerita Bumi Manusia berakhir sedih, berbeda dengan roman lainnya yang mungkin akan menyajikan kebahagiaan. Pram menuliskan, di tengah keputusasaan Nyai Ontosoroh dan Minke melawan di pengadilan kolonial. Akhirnya Nyai Ontosoroh memilih sebuah keputusan untuk mengakui anak-anaknya secara hukum sebagai anak Herman, karena saat itu Annelies sedang sakit parah. Akhirnya keputusan tersebut mengarah pada konsekuensi yang menyedihkan. Minke harus berpisah dengan Annelies cinta pertamanya, juga Nyai Ontosoroh harus kehilangan anak yang ia cintai.

Di dalam roman Bumi Manusia, mungkin Pram ini memberikan sebuah pesan, bahwa pendidikan adalah alat yang kuat untuk mengubah takdir seseorang. Nyai Ontosoroh, meskipun tidak berpendidikan formal, muncul sebagai pendidik yang lebih berpengaruh daripada guru formal Minke melalui pengetahuan otodidak dan pengalaman hidupnya. Namun, novel ini dengan tajam menggambarkan kenyataan pahit dari pemerintahan kolonial Belanda, di mana pendidikan Minke dan kecerdasan berbisnis Nyai Ontosoroh pada akhirnya tidak berpengaruh besar terhadap upaya mendapatkan kesetaraan di depan hukum kolonial. Berangkat dari Bumi Manusia inilah, perjuangan seorang Minke akan tumbuh, menjadi seorang pembelajar dan pejuang, yang oleh Pram ditulis dalam cerita lanjutannya yakni Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca, atau yang kita kenal “Tetralogi Pulau Buru.”

Pram dan Semangat Pendidikan yang Membebaskan

Karya Paulo Freire “Pendidikan untuk Kaum Tertindas” memiliki sebuah persamaan dengan karya Pram “Bumi Manusia”. Dua buku tersebut memiliki tema yang sama, yakni sama-sama membahas tentang penindasan, pendidikan, dan perjuangan untuk pembebasan, meskipun dalam konteks yang berbeda. Freire lebih ke teoretis reflektif sementara Pram ke karya sastra romantis progresif. Mengupas Bumi Manusia dengan “Pendidikan untuk Kaum Tertindas,” setidaknya diharapkan oleh penulis dapat memperdalam pemahaman tentang bagaimana pendidikan dan kesadaran memainkan peran penting dalam melawan penindasan sistemik dan merebut kembali kemanusiaan. 

Freire dan Pram sama-sama memulai karyanya dengan menggambarkan kondisi dehumanisasi sebagai masalah utama dalam penindasan. Pada bab awal bukunya, Freire menegaskan bahwa penindasan mereduksi individu menjadi objek, merampas kemanusiaan mereka. Hal serupa juga terlihat dalam Bumi Manusia, di mana tokoh utama, Minke, menghadapi masyarakat kolonial yang mendehumanisasi “pribumi” melalui rasisme sistemik, eksploitasi, dan pengucilan dari berbagai kesempatan, seperti akses ke pendidikan dan pengakuan hukum. Nyai Ontosoroh, sebagai seorang Nyai “gundik” atau selir, mewakili lapisan lain dari dehumanisasi, karena ia ditundukkan oleh hukum kolonial dan dirampas hak dasarnya sebagai perempuan. Statusnya mencerminkan apa yang disebut Freire sebagai “obyektifikasi” terhadap yang tertindas, di mana individu direduksi menjadi alat atau kepemilikan dalam sistem dominasi.

Freire menekankan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai pembebasan. Freire mengkritik model pendidikan “banking“, di mana siswa secara pasif menerima informasi, dan mengajukan model “problem-posing” yang mendorong pemikiran kritis dan dialog. Dalam roman Bumi Manusia kita mengenal sosok Nyai Ontosoroh merepresentasikan ideal pendidikan transformatif ala Freire. Meskipun tanpa pendidikan formal, ia mendidik dirinya sendiri melalui buku, pengalaman, dan pengamatan, sehingga menjadi seorang pebisnis yang kompeten sekaligus mentor bagi Minke. Jika melihat secara mendalam, dalam gambaran sosok Minke, ia sempat mempertanyakan pendidikan bergaya Eropa yang ia terima awalnya menjadi pedang bermata dua. Meski memberinya platform untuk menulis dan mengkritik, pendidikan itu juga menjauhkan dirinya dari rakyatnya sendiri. Di sini kita dapat melihat bahwa Minke harus mendamaikan privilese sebagai individu terdidik dengan tanggung jawabnya untuk memperjuangkan pembebasan kaum tertindas.

Pada bab kedua “Pendidikan untuk Kaum Tertindas” berusaha membahas bagaimana subjek yang tertindas sering kali mengembangkan “ketakutan akan kebebasan,” menginternalisasi nilai-nilai penindas mereka dan menjadi ikut serta dalam penundukan mereka sendiri. Hal ini terlihat dalam Bumi Manusia, di mana banyak “pribumi” menerima hierarki kolonial, percaya pada superioritas bawaan orang Eropa. Teman-teman Minke, misalnya, meremehkan pencapaian dan identitasnya karena latar belakang “pribumi”, mencerminkan bagaimana penindasan yang diinternalisasi melanggengkan ketimpangan sistemik. Namun, Nyai Ontosoroh menolak pola pikir ini. Ia menolak menganggap dirinya inferior, meskipun masyarakat mengutuk statusnya sebagai seorang gundik. Keyakinannya pada kekuatan pendidikan dan kesadaran diri sejalan dengan pandangan Freire bahwa pembebasan dimulai dengan menyadari penindasan yang dialami dan merebut kembali kemanusiaan.

Sebagai penutup, pada karya Freire maupun Pram menekankan bahwa pembebasan sejati bukan sekadar membalikkan peran—di mana yang tertindas menjadi penindas—melainkan menciptakan masyarakat tanpa penindasan. Freire memperingatkan bahaya meniru metode penindas, sementara Pramoedya menggambarkan ini melalui evolusi pribadi Minke. Awalnya, aspirasi Minke selaras dengan cita-cita kolonial tentang kesuksesan, tetapi pengalamannya dengan Nyai Ontosoroh dan Annelies membawanya untuk mendefinisikan ulang pemahamannya tentang keadilan dan kemanusiaan. Nyai Ontosoroh juga mewujudkan visi pembebasan ala Freire. Meskipun menderita, ia menolak kepahitan dan malah menyalurkan energinya untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya dan orang-orang di sekitarnya. Ketahanan dan kesadaran dirinya mencerminkan kekuatan transformatif pendidikan dan kesadaran kritis.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here