Pram, Pemeluk Mereka yang Kalah (Sumber foto: Dok. Probadi Pramoedya Ananta Toer)
Pram, Pemeluk Mereka yang Kalah (Sumber foto: Dok. Probadi Pramoedya Ananta Toer)

“Aku sudah bosan takut. Kita sudah bosan putus asa. Kita tak akan putus asa lagi. Kita akan perbaiki keadaan kita.”
—Pramoedya Ananta Tor

Potongan itu membuat saya tersengat sebuah perasaan aneh yang tak terpermanai. Saat membaca novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, tepat pada bagian itu, saya termenung cukup lama. Sampai-sampai saya lupa bahwa waktu sudah sedemikian larut dan besok saya sudah harus melanjutkan hidup lagi di medan pertempuran: bekerja secara teknis dan mekanistis.

Hari telah terlewati, waktu demi waktu sudah sedemikian jauh, hingga sampai menjelang akhir tahun 2024 ini. Ya, setahun menjelang seabad PAT. Saya kembali membuka rak buku saya dan coba mendaras ulang karya-karya PAT. Mulai dari Minke, Annelies, Nyai Ontosoroh Midah, Larasati, Wiranggaleng & Idayu, Ken Dedes & Ken Arok, Bakir, Gadis Pantai, Kartini, dan lain sebagainya.

Dari sekian banyak tokoh rekaan PAT itu, hampir semuanya memiliki pola yang sama: kekalahan. Tokoh-tokoh rekaan PAT erat kaitannya dengan kekalahan. Namun kekalahan itu bukan sekadar kekalahan yang remeh-temeh. 

Tepat sekali kiranya saya kutipkan penutup paragraf akhir di roman Bumi Manusia, “Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya. Sehormat-hormatnya.” Penutup di roman itu menyimpan makna yang luhur, kendati Minke dan Nyai Ontosoroh kalah dalam perjuangannya melawan kesemena-menaan. 

Kekalahan itu menjadi sesuatu yang terhormat dan elegan sebab mereka semua telah melawan. Mereka telah mengupayakan pelbagai cara demi kebaikan hidup bersama. Demi hidup yang benar, adil, dan indah. Meski pada akhirnya mereka tak berhasil mencecap kemenangan sedikit pun.

Begitu pula dengan tokoh-tokoh lain dalam karya PAT yang berjibun itu. Saya menemukan nuansa segar, sebab PAT menghadirkan cara pandang dari mereka yang melawan, mereka yang kecil, dan mereka yang rentan. 

Tokoh-tokoh rekaan PAT hampir tak ada yang berangkat dari posisi status quo. Hampir semuanya berasal dari mereka yang posisinya inferior dan bertungkus lumus memperjuangkan kesetaraan dalam hidup. Kesetaraan, yang PAT angkat dalam karya-karyanya, merupakan kesempatan yang sama sebagai manusia. Tak ada raja, tak ada budak. Tak ada pemenang, tak ada yang kalah. Itulah yang diperjuangkan PAT melalui karya-karyanya.

Tapi apa boleh buat. Hampir semua tokoh dalam anak ruhani PAT itu melulu bernasib sepi, sunyi, dan terasing dari pusaran sejarah—yang tentunya sejarah versi penguasa. Pram di sini sepertinya memang sengaja memotret manusia secara utuh. Tak hanya memotret zaman dari segi penguasa saja, namun juga dari seluruh manusianya. Tak heran jika puluhan tahun Pram habiskan waktu bersenjatakan gunting, lem, dan kertas: mengkliping koran.

Dari koran, kita bisa melihat wajah manusia Indonesia dari berbagai kejadian dan fenomena di akar rumput. Bukan hanya wajah penguasa yang bebal dan keras kepala itu. Berangkat dari situ maka tokoh-tokoh rekaan Pram selalu dekat dengan sisi-sisi kemanusiaan seutuhnya. Bahkan jauh dari unsur-unsur mitos dan takhayul, sebagaimana sejarah-sejarah kerajaan di Nusantara yang terlanjur mapan.

Kembali lagi pada tokoh-tokoh rekaan PAT yang identik dengan kekalahan tadi. Mengapa Pram sedemikian rupa dalam menciptakan tokoh-tokoh dalam karyanya? Saya rasa itu bukanlah tanpa alasan. Tokoh-tokoh itu bisa jadi merupakan representasi dari Pram sendiri. 

Kita tentu tahu, bagaimana terjal dan berlikunya jalan hidup Pram. Mulai dari menjadi seorang anak pertama yang harus merawat adik-adiknya; di usia yang belia ia harus mengurusi jenazah ibunya seorang diri; lalu menghidupi adik-adiknya saat merantau di Jakarta; belum lagi soal penjara ke penjara. Pram sudah kenyang dengan penderitaan.

Penderitaan itulah yang membuatnya selalu “dikalahkan” oleh kekuasaan. Bukunya dibredel, hidupnya dipersulit, bahkan kebebasannya dipersempit. Meski begitu, Pram masih tetap gagah berdiri tegak menantang sesiapa yang mencoba mengganggu otonomi dirinya—dan tentu bangsanya.

Namun demikian, apakah sejatinya Pram kalah? Jika dilihat dari mata penguasa, mungkin mereka akan tertawa girang dan berbangga bahwa seorang individualis dari Blora itu telah mereka taklukkan. Tapi nyatanya tidak. Pram tak bisa dikalah-taklukkan oleh apa dan siapapun. Pram hanya dapat dikalah-taklukkan oleh dirinya sendiri. 

Sebagaimana tokoh-tokoh dalam rentetan karyanya tersebut. Sejatinya mereka itu tak pernah kalah dan takluk. Benar, benar sekali bahwa mereka dikalah-taklukkan oleh sistem yang mengatur, tetapi mereka terus berdiri tegak hingga kematian datang menjemput—meski dalam keadaan sunyi-senyap dan jauh dari hingar bingar upacara kematian.

Pram yang Merangkul Saya dalam Kekalutan Nasib

Jika saya ditanya, apa yang kamu harapkan dari hidup ini? Saya akan bersepakat dengan Pram saat diwawancarai Kees Snoek, “Saya ingin lihat semua ini berakhir!” Berakhirnya semua ketakutan, semua kekalahan, semua ketidakadilan, dan semua penindasan yang banal ini.

Dalam hidup saya yang akan mencapai seperempat abad ini, acapkali saya merasa suntuk & hampa. Banyak peristiwa yang berjalan begitu cepat dan menjungkirbalikkan keadaan—yang tak dapat saya tuliskan di sini. Rentetan peristiwa itu menyebabkan saya harus mengubur banyak hal dalam hidup, terutama mimpi dan cita-cita. 

Sempat terbersit bahwa hidup ini sungguh sia-sia dan percuma. Kadang sempat pula terbersit ingin menjadi manusia pragmatis yang hidup hanya menguntungkan diri sendiri. Semua itu sebab guncangan-guncangan dalam hidup yang teramat melelahkan dan seakan semua hal yang telah dilakukan tiada artinya lagi.

Namun semua itu minggat dengan segera. Setelah berkenalan dengan karya Pram beberapa tahun silam, saya mulai menyisihkan uang untuk mengoleksi semua karya-karyanya. Pram hadir melalui semua karyanya yang saya lahap dalam kemurungan nasib.

Melalui karya-karya Pram itu saya terbangun dari ‘tidur panjang keputusasaan’. Dari karya-karyanya itu pula saya merasa amat kerdil dan naif sempat berpikiran ingin menjadi manusia yang pragmatis tanpa nilai. 

Lambat laun mulai saya susuri karya dan kehidupan si Individualis dari Blora ini. sampai akhirnya saya berkesimpulan sementara bahwa Pram menulis dan apa yang ia tulis konsisten dengan apa yang ia lakoni dalam hidup.  Apa yang ia tulis adalah apa yang ia anggap benar, dan untungnya, apa yang ia anggap benar itu juga akan kita sepakati bahwa memang itulah yang benar. 

Dari karya-karya Pram dan sikap hidupnya yang demikian itu, kita mestinya sadar bahwa semua manusia layak dicatat, layak dapat tempat. Manusia, sebagaimana Pram sendiri, adalah pribadi yang seharusnya teguh memegang nilai-nilai yang diyakininya. Tak mudah goyah oleh terpaan duniawi yang menyiksa dan destruktif. 

Manusia, sebagaimana Pram sendiri, harus memiliki keberanian dalam hidup. Kita tentu tahu orang-orang yang tak memiliki keberanian dan tak memiliki sikap dalam hidup akan tersiksa batinnya. Gambaran manusia seperti itu salah satunya telah digaunglantangkan oleh Pram melalui Pangemanann dengan dua n. Ada juga Bakir dalam roman berjudul Korupsi yang ditulis Pram pada tahun 1954.

Manusia yang demikian itulah yang menjadi bahan bakar dari kesewenang-wenangan dan penindasan-penindasan. Hal tersebut tak perlu kita cari ke mana-mana. Cukup duduk, buka buku karya Pram, maka akan kita temukan orang-orang demikian dalam karyanya. 

Itulah mengapa tak salah bila saya menyematkan pada Pram sebagai manusia utuh dengan segala problematikanya. Mau tak mau laku hidupnya juga telah melewati kesekaligusan itu: penderitaan, kekalahan, kesewenang-wenangan, dan berbagai orang telah ia temui.

Kepedulian Pram pada Mereka yang Tercecer dari Buku Sejarah

Nama Tirto Adi Suryo agaknya sampai hari ini masih terdengar asing di akar rumput, apalagi di desa saya (sebuah desa yang terletak di Kediri bagian selatan). Padahal kiprahnya begitu besar bagi tonggak kemerdekaan Indonesia. Bisa jadi, tanpa ada Tirto, benih-benih perjuangan dan perlawanan melawan penindasan kolonial tak seheroik seperti yang kita lihat di buku-buku atau film-film tentang sejarah kemerdekaan.

Indonesia, bahkan dunia, seharusnya sangat beruntung memiliki seorang manusia yang bernama Pram ini. Dengan gigih ia meriset, mengkliping, lalu menuliskan sejarah dengan caranya yang unik. Terkhusus penulisan Tetralogi Buru itu, yang tak lain merupakan perjalanan hidup Minke (Tirto Adi Suryo) mulai dari kecil hingga menjumpai kesunyiannya di penghabisan nasib. Dilengkapi pula dengan karyanya yang lain, yaitu Sang Pemula.

Tanpa Pram, bisa-bisa kita lalai dan meng-alpa-kan Tirto dari pusaran sejarah bangsa ini. Lalu dengan nada sumbang, timbul pertanyaan, mengapa pemerintah tak menuliskan hal yang demikian? Begitulah watak kekuasaan Indonesia dari lampau hingga kini.

Mereka membuat sejarah versi mereka demi kepentingan mereka sendiri. Manusia-manusia lain yang menubuh dan berjiwa itu tak ubahnya angka dan statistik. Serupa saat Pemilu/Pilkada dihelat. Orang-orang hanya dipandang sebagai angka yang digunakan untuk menaiki tangga kekuasaan. Padahal sejatinya manusia, apapun dan siapapun itu, adalah makhluk yang berjiwa dan memiliki sejarahnya masing-masing. Bahkan tiap manusia memiliki kontribusi terhadap peradaban bumi manusia ini.

Sejauh ini saya menemukan hanya Pram lah yang mampu mengemas itu melalui tokoh-tokoh rekaannya dari POV orang biasa yang bersifat semanusiawi mungkin. Pram memosisikan diri sebagai orang biasa yang turut berkontribusi atas segala kemelut peristiwa yang menjadi alur sejarah. 

Dari Pram kita belajar, setidak-berpangkat apapun manusia, ia akan selalu memiliki peran bagi sebuah peradabannya, bagi tumbuh kembang kehidupan. Asalkan seorang manusia itu memiliki keberanian dan tekad untuk hidup baik: meraih kebenaran, keadilan, dan keindahan hidup.

Pram juga dengan lugas menegaskan bahwa setinggi apapun pangkat, namun jika tak diimbangi sifat-sifat adil, benar, dan indah, maka ia akan merusak apapun, hingga anak cucu nanti. Hal itu ia tuangkan dalam karya-karyanya. Dalam Arus Balik, Perburuan, Arok Dedes, Gadis Pantai, Korupsi, dan lain sebagainya. Sekilas itu memang sebuah karya fiksi, namun coba resap-pahami kembali.

Bukankah sekarang, di mana zaman telah menunjukkan seabad usia Pram, pola manusia-manusia masih berkutat serupa yang ada dalam karya-karya Pram? Oleh karena itu, pembacaan atas karya-karya Pram dan Pram itu sendiri adalah sesuatu yang tak akan pernah selesai. 

Membaca karya Pram dan Pram itu sendiri ialah upaya berjihad untuk membaca manusia seutuhnya. Membaca jungkir balik nasib manusia. Membaca apa-apa yang terbaca dari radar mainstream manusia. Sejarah yang coba dibangun PAT adalah sejarah yang sunyi dari gemerlap kekuasaan. Namun sejarah itulah yang jujur: menuliskan manusia dengan bahasa manusia. Menuliskan kepedihan dan kekalahan dengan bahasa keberanian. 

Pram, pada akhirnya tak berhenti soal sosok, melainkan nilai dalam hidup yang perlu direnung-insafi di bumi manusia Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here