Ratna Indraswari Ibrahim dikenal sebagai sastrawan, tokoh feminis dan aktivis yang juga aktif menyuarakan isu lingkungan hidup serta disabilitas. Ratna adalah anak ke-enam dari sebelas bersaudara, lima laki-laki dan enam perempuan. Wanita keturunan Minangkabau ini dilahirkan di Kota Malang, Jawa Timur pada 24 April 1949. Ia besar di keluarga yang mencintai buku. Sejak belia, Ratna diajarkan oleh ayahnya, Saleh Ibrahim untuk gemar membaca. Hal itu tidak lepas dari kehidupan sang ayah yang juga seorang penulis dan aktivis.
Berbeda dengan ayahnya yang mengenalkan buku dan menulis kepadanya, ibunya lah yang mengenalkan dunia kepenulisan. Siti Bidahsari Arifin, ibu Ratna, juga aktif menulis dan melukis. Bisa dibilang keluarga Ratna sudah turun-temurun berkecimpung di dunia sastra dan literasi. Kecintaan terhadap buku pun mengakar dalam jiwa Ratna, dan pada tahun 2004 ia mendirikan toko buku yang diberi nama Tobuki (toko buku kita), di bagian kanan rumahnya, Jalan Diponegoro 3, Malang, Jawa Timur.
Kegemaran membaca Ratna telah tembuh sejak kecil. Bahkan, ia telah membaca buku-buku berat sejak duduk di bangku sekolah. Menurut Eko Bambang Subiyantoro, koleksi buku Wanita dengan nama lengkap Ratna Indraswari Ibrahim itu mencapai 1.000 buku.
Ratna mengenyam pendidikannya dimulai dari sekolah Kristen Brawijaya pada tahun 1954. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMP 2 Malang dan menuntaskan pendidikan menengah atasnya di Sekolah Taman Siswa. Ratna juga melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Administrasi Niaga, Universitas Brawijaya, Malang, tetapi tidak sampai selesai.
Sebagai tokoh pejuang feminis, Ratna peduli terhadap hak-hak wanita. Menurutnya, Indonesia telah lama terbungkus maskulinitas yang melahirkan budaya patriarkis. Dilansir dari Eko Bambang Prasetyo (Jurnal Perempuan), Ratna bercita-cita agar perempuan di negerinya dapat berpikir alternatif, cerdas, dan mandiri dari kekuatan laki-laki yang mendominasi dan memperlakukan perempuan secara tidak adil. Ratna juga dikenal sebagai sosok yang memberi pemahaman kepada dunia bahwa nilai dan kedudukan manusia bukan dilihat dari fisik, melainkan dari tindakan, pikiran, dan sumbangsih seseorang dalam kehidupan bersama.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ratna Indraswari Ibrahim merupakan sastrawan yang menghabiskan hari-harinya di atas kursi roda. Kondisi tersebut ternyata dirasakannya sejak lama. Semua itu bermula ketika Ratna masih seorang gadis yang berusia sepuluh tahun. Ratna kecil mengalami demam tinggi yang disertai dengan nyeri pada tulangnya. Hal itu merupakan pemantik menurunnya kesehatan tubuh Ratna. Meskipun segala cara dilakukan oleh keluarganya, tubuhnya tetap tidak ingin berkompromi dan akhirnya ia melakukan hampir semua aktivitasnya dengan bantuan kursi roda karena ia divonis menderita rakitis (radang tulang) oleh dokter.
Sejak ibunya meninggal, kegiatan sehari-hari Ratna dibantu oleh tiga temannya, mulai dari makan, mandi, ke toko buku, menghadiri seminar, sampai mengetikkan makalah atau naskah cerpennya. Namun, sesekali ia mengetik sendiri dengan mengandalkan sumpit di tangannya. Kebutuhan hidup sehari-hari penulis yang wafat pada pada tanggal 28 Maret 2011 di RSUD dr. Sjaiful Anwar Malang itu didapat dari honor menulis cerpen dan pembayaran sewa kamar-kamar di rumahnya yang diindekoskan.
Kehidupannya yang sejak itu berubah karena mobilitas yang terbatas membuatnya sadar bahwa orang-orang difabel masih dipandang dengan sebelah mata dan diperlakukan dalam posisi yang tidak penting, terbelakang dan bodoh. Prihatin dengan hal tersebut, Ratna bertekad untuk yang memperjuangkan hak para difabel untuk memperoleh perlakuan yang sama sebagai warga negara.
Dalam kesehariannya, aktivitas Ratna cukup sederhana, yakni membaca, menulis, berdiskusi, dan berorganisasi. Beberapa waktu memang Ratna harus keluar rumah untuk mendatangi sejumlah seminar, baik tentang politik, sosial, maupun budaya. Ratna aktif menghadiri seminar-seminar, baik sebagai peserta maupun pembicara. Tubuhnya mungkin saja tidak dapat berfungsi dengan normal, tetapi Ratna masih memiliki pikirannya yang masih mampu ia gunakan sebagai senjata.
Ratna yang juga aktif sebagai aktivis sosial yang menyuarakan isu lingkungan hidup, mendirikan Yayasan Entropic. Pada tahun 1998, Ratna mendirikan Yayasan Pajoeng dan menjadi koordinator litbang di sana. Yayasan Pajoeng adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang pengembangan kebudayaan di Kota Malang. Ratna juga menjadi pionir bagi perkumpulan aktivis dari berbagai elemen di Kota Malang yang tergabung dalam Forum Pelangi. Komunitas diskusi ini aktif melakukan kajian dan tukar informasi antarelemen masyarakat di Kota Malang.
Ratna dan teman-temannya di Malang juga menjembatani lahirnya Jurnal Naraswari yang memfokuskan isinya pada isu perempuan dan kesetaraan gender. Dan pada tahun 1977- 2000 Ratna menduduki kursi pemimpin di organisasi penyandang cacat Kota Malang yang didirikannya, yaitu Bakti Nurani.
Keaktifan Ratna dalam menulis tak luput dari teman-teman dan kenalannya. Sejak ia tak bisa lepas dari kursi roda bahkan hingga ketika ia hanya bisa berbaring dan berbicara, kehadiran rekan-rekannya itu lah yang menjadi sumber kekuatan Ratna. Selain sebagai seumber kekuatan, rekan-rekan yang mengunjunginya tersebut juga merupakan sumber informasi tentang dunia luar.
Di rumahnya, di atas kursi roda, ia mendengar banyak cerita dan keluhan tentang ketidakadilan sosial. Cerita-cerita inilah yang kerap kali menjadi ide bagi setiap cerpen-cerpennya yang hampir selalu berangkat dari kenyataan sosial. Rumahnya di Jalan Diponegoro 3, Malang pun tak pernah sepi dari kehadiran seorang teman, masyarakat biasa, hingga sejumlah tokoh besar, seperti budayawan dan politisi.
Seakan tak ada habisnya, wanita yang pernah dianugerahi penghargaan sebagai Perempuan berprestasi di tahun 1993 ini, juga pernah menjadi delegasi Indonesia pada Kongres Perempuan Internasional di Beijing, China di tahun 1995. Dan selanjutnya, pada tahun 1997, Ratna menghadiri Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, USA serta mengikuti pelatihan kepemimpinan MIUSA (Mobility International United States) di Eugene, Orengon, USA.
Satu tahun setelahnya, tepatnya pada tahun 1998 pintunya diketuk oleh intelijen yang mencurigai aktivitas yang kerap berlangsung di rumahnya. Ratna memang kerap kali menjadikan rumahnya sebagai wadah diskusi bagi organisasi-organisasi dan orang-orang. Intelijen tersebut datang untuk mencari para aktivis Kota Malang yang dianggap sebagai provokator selama berlangsungnya gerakan reformasi yang menuntut turunnya rezim otoriter Orde Baru. Namun, mereka hanya menemukan pemilik rumah yang diam di atas kursi rodanya.
Tentang Karyanya
Pada tahun 1975, cerpen pertama Ratna berjudul “Jam” dimuat dalam sebuah majalah remaja MIDI. Sejak saat itu, Ratna semakin memantapkan hati, jiwa, dan pikirannya untuk menulis. Menurut Ratna, tugas cerpen adalah mengabarkan sebuah kenyataan dan membangunkan mimpi kita dalam sebuah kisah. Oleh karena itu, cerpen-cerpen garapan Ratna berangkat dari kenyataan sosial yang ia dengar dari rekan-rekannya. Selain mengandung kenyataan sosial, Ratna juga mengemas cerpennya dengan ideologinya yang memperjuangkan mimpinya, di mana wanita dan orang-orang difabel tidak dipandang sebelah mata dan diperlakukan dengan setara.
Cerpen-cerpen Ratna Indraswari Ibrahim senantiasa mengabarkan kepada kita bahwa ada penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Melalui cerpen, setiap pembaca diajak untuk memahami realitas sosial tersebut untuk pada akhirnya turut merasakan, apakah dirinya menjadi penindas atau yang tertindas. Melalui karyanya, ia menyeru kepada perempuan untuk mulai berani memperjuangkan hak-haknya. Hal ini setidaknya tercermin dalam dua kumpulan cerpennya yang berjudul Bajunya Sini (2004) dan Batu Sandung (2007).
Cerpen-cerpennya yang cerdas dan tajam membuatnya terpilih sebagai kandidat terbaik dan berhasil mejeng dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas. Karya-karya tersebut adalah cerpen berjudul “Bunga Kopi” yang terpilih menjadi salah satu karya dalam kumpulan Cerpen Pilihan Kompas Tahun 2007 dan cerpen berjudul “Rambutnya Juminten” yang juga terpilih dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1995 serta menjadi nominasi Cerita Pendek Perempuan di tingkat ASEAN pada tahun 1996.
Menurut Eko Bambang Subiyantoro Selain “Rambutnya Juminten”, beberapa cerpen Ratna juga mempunyai prestasi terbaik, seperti “Jerat” yang masuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1993; “Bajunya Bu Boni” menjadi pemenang ketiga Sayembara Cerpen Majalah Wanita Femina tahun 1996; “Perempuan itu Cantik“ termasuk dalam Cerpen Pilihan Kompas Tahun 1996 dan masuk seleksi Yayasan Lontar, Jakarta; dan “Seruni” yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Cerber Majalah Wanita Femina tahun 1998. Selanjutnya, pada tahun 2000, cerpennya kembali terpilih menjadi cerpen pilihan Kompas.
Cerpen Ratna mengajak kita untuk bisa memahami setiap persoalan tidak dari satu perspektif, tetapi dari banyak sisi. Perspektif yang beragam dapat membantu kita untuk memahami setiap persoalan tersebut, seperti yang dikatakan Ratna, “Bahwa kebenaran seseorang itu tidak bisa dipandang dari satu sisi. Kebenaran itu hendaknya dilihat dari sisi dan perspektif yang lebih luas. Melalui share pendapat dan berbagi pengalaman, saya kira setiap persoalan yang muncul dapat lebih jelas tingkat kebenarannya.”
Dalam konteks tersebut, cerpen-cerpen Ratna sebenarnya tidak saja melawan hegemoni-hegemoni patriarki, tetapi juga melawan hegemoni kapitalistis yang selalu menampakkan manusia secara fisik. Dalam konteks itu pula, Ratna mau melakukan apa saja agar cerpen-cerpennya bisa dibaca. Ia memang tidak menginginkan dirinya menjadi terkenal, tetapi ia hanya ingin memberi pelajaran bahwa realitas yang terjadi tidaklah sama dengan tampilan di media massa yang sangat eksploitatif. Mensosialisasikan cerpennya melalui sekolah-sekolah adalah upayanya untuk memberikan pemahaman dini terhadap siswa tentang persoalan ketidakadilan gender. Upaya ini ia lakukan agar siswa lebih terbiasa untuk memahami realitas yang sesungguhnya.
“Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim adalah saksi yang berbicara nilai-nilai kemanusiaan.”