Dewan Kesenian

(1) LINTASAN SEJARAH: dalam kehidupan kesenian dan kebudayaan modern di Indonesia, salah satu tonggak sejarah ditandai oleh hadirnya suatu lembaga kesenian, yang atas inisiatif sekelompok seniman mendirikan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada tahun 1968. Lembaga ini dikelola oleh sejumlah seniman dari berbagai disiplin kesenian yang dalam tatakelola kelembagaan membentuk sejumlah komite (teater, sastera, seni rupa, tari, musik, film) sebagai wujud dari pembagian wilayah kerja kesenian yang bersifat professional dengan dukungan kompetensi melalui seleksi.

DKJ menempati lahan di Jakarta pusat yang dikenal dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan dukungan sarana dua gedung untuk seni pertunjukan (teater, tari, musik) dan juga galeri, sebagai ruang pameran seni rupa, disamping sekretariat, perpustakaan dan wisma seni. Tak cukup hanya dukungan sarana, kaum seniman bekerjasama dengan para pemikir kesenian, filsafat, kebudayaan dan pendidikan, mendirikan Akademi Jakarta (AJ) sebagai think tank yang merumuskan fenomena zaman dan arah kebudayaan. Disamping itu, AJ berperan untuk memilih pengelola DKJ. Juga didirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) sebagai laboratorium pendidikan kesenian yang bersifat alternatif, ruang pembibitan dan proses pengembangan kaum seniman muda.

DKJ dan TIM dalam sekejap menjadi model kota-kota lain. Surabaya, Yogyakarta, Solo, Makassar, Medan, Padang, Semarang, Malang mengikuti mendirikan Dewan Kesenian di kota masing-masing. Setiap peniruan model punya masalah: Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta, makhluk anomali yang bisa berdialog dengan seniman, menyediakan semuanya, beserta apresiasi yang tinggi. Itu yang tak ada di kota-kota lain. Bersama Ali Sadikin, DKJ kian moncer berkaitan dengan rencana kerja DKJ yang kian meluas dan menjadi pusat pusaran kesenian modern dan kontemporer. TIM dengan kurasi DKJ menjadi ruang center of excellent yang membuat siapa saja bermimpi untuk bisa mengisi panggung dan ruang kesenian di situ.

Itulah lintasan sejarah singkat DKJ dalam situasi dan kondisi bulan madu politik rezim Orba dengan kaum seniman yang mendapatkan rumah idamannya dibawah payung politik patronase Ali Sadikin yang memberikan “kebebasan”.

Yang juga menarik dan perlu kita catat bahwa kehadiran TIM bersama DKJ tak hadir sendiri sebagai ruang. Ada ruang lain yang oleh Ali Sadikin dibangun untuk menciptakan kondisi kesenian dan kaum muda bisa mengembangkan potensinya: Gelanggang Remaja (GR) di bangun di lima titik, sebagai infra struktur penunjang. Di GR inilah pembibitan pelaku kesenian secara intensif berlangsung. Kasus Festival Teater Remaja, selanjutnya diubah dan disebut Festival Teater Jakarta(FTJ) menjadi fenomena yang sangat menarik, yang hingga tahun 2023 memasuki tahun ke-50. Festival teater ini juga yang ditiru oleh berbagai kota.

Kebudayaan, kesenian dan seluruh aspek kehidupan tak lepas dari dinamika dan situasi kondisi politik dan kepemimpinan. Fenomena figur dalam kasus Ali Sadikin sebagai pengelola ibukota Jakarta yang membuat TIM-DKJ-AJ dan GR tumbuh berkembang menjadi basis perkembangan kebudayaan dan kesenian tradisi dan modern.

(2) INSTRUKSI MENDAGRI, MUNCULNYA FRIKSI KAUM SENIMAN: Tahun 1993 Mendagri Rudini mengeluarkan Instruksi yang menyatakan bahwa setiap kota-daerah dan provinsi boleh dan bisa mendirikan Dewan Kesenian (DK). Berduyun-duyun kaum seniman diberbagai kota-daerah menyambut instruksi itu. Yang tak pernah dibayangkan oleh kaum seniman adalah dampak yang muncul akibat instruksi yang tak memberikan penjabaran dan kriteria apapun berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang boleh dan bisa mengelola sebuah lembaga kesenian, dan sejauh mana suatu kota-daerah membutuhkannya. Instruksi Mendagri yang bersifat umum itu memberikan peluang tafsir yang longgar dalam konteks kepentingan politik kebudayaan lokal. Banyak kasus di berbagai kota-daerah pendirian DK tak diisi sepenuhnya oleh kaum seniman. Melalui instruksi Mendagri, maka banyak Bupati dan Walikota membuat terusan instruksi dan membentuk DK yang diisi oleh kaum birokrat, bahkan sanak familinya, misalnya isteri Bupati menjabat ketua DK.

Dampak instruksi yang melahirkan instruksi berikutnya membuat kaum seniman terpinggirkan, terkecuali sekelompok seniman yang dekat dengan kekuasaan. Lengkaplah wujud karakter rezim Orba melalui budaya instruksi yang bukan hanya meminggirkan kaum seniman, tapi juga hilangnya posisi kaum seniman sebagai warga kebudayaan yang harusnya memiliki hak mendirikan dan mengelola DK. Pada sisi lainnya, dampak terjadi dalam bentuk friksi yang frontal antar kaum seniman, mereka yang dekat dengan kekuasaan dan mereka yang mengambil jarak.

Di dalam proses perkembangan selanjutnya DK di daerah-kota dan provinsi hanya sekedar menjadi kepanjangan tangan acara-acara pemda-pemkot, peristiwa seremonial. Dari situlah lahir ungkapan “seniman proyek”, “seniman plat merah” yang menandakan kaitan erat antara kekuasaan dengan sekelompok kaum seniman. Dampak berikutnya bukan hanya pada friksi kaum seniman dan makin tergantungnya DK kepada penguasa lokal, tapi juga terjadi pada karya kesenian yang dikelola oleh DK, suatu bentuk “kesenian dalam rangka”.

Dalam konteks “kesenian dalam rangka” yang dikelola oleh “seniman proyek” atau “seniman plat merah” kuat kaitannya dengan anggaran kegiatan yang sesungguhnya dikelola oleh Dinas Kebudayaan kota-daerah dan provinsi. Seniman yang mengelola proyek itu hanya sekedar EO. Di sini kita menyaksikan perubahan mendasar posisi-fungsi DK yang harusnya menjadi perumus gagasan dan rencana kerja kebudayaan menjadi pelaksana, itupun pada tingkat yang paling bawah. Degradasi posisi-fungsi DK terjadi secara drastis.

Kaum “seniman proyek” tak lagi memiliki posisi bargaining dalam semua seginya. Dampak dari hal ini terjadi pada anggaran yang tak pernah pasti karena ditentukan oleh penguasa lokal via Dinas Kebudayaan. Dalam kondisi sepertti itu tercipta relasi psikologis politis yang bersifat subyektif: kekuasaan yang menentukan politik ekonomi kebudayaan berkaitan dengan selera penguasa. Dengan kata lain, anggaran kesenian dan kebudayaan selalu mengalami fluktuasi seiring dengan kepentingan dan interes Walikota-Bupati-Gubernur.

Sehubungan dengan hal itu, betapa perlu dan wajib bagi DK yang akan datang untuk merumuskan suatu produk yuridis berkaitan dengan politik ekonomi atau anggaran kebudayaan berupa PERDA. Hal ini supaya tercipta ketetapan anggaran yang dikuatkan oleh kekuatan hukum, dan sekaligus memotong masalah relasi psikologis politis yang bersifat subyektif.

(3) RE-POSISI DAN RE-FUNGSIONAISASI DEWAN KESENIAN: Gejala yang sangat menarik kita bisa lihat dan rasakan ketika kita diskusi dengan para pengelola DK diberbagai daerah-kota menyangkut masalah pengelolaan kehidupan kesenian. Hampir semua pengelola DK terasa meluapkan rasa pahitnya ketika mereka membahas tentang relasi antara DK dengan penguasa lokal (Gubernur-Walikota-Bupati) menyangkut masalah anggaran. Hampir semua pengelola DK mengeluh dan menjadikan penguasa lokal sebagai sasaran tembak kemarahan mereka. Yang mereka lupakan, adalah soal DK dari rentang sejak Instruksi Mendagri 1993 yang melahirkan berbagai instruksi lainnya yang membuat DK kian tergantung dan hanya dijadikan sejenis pelengkap penderita. Rentang waktu 30 tahun sejak Instruksi Mendagri yang menciptakan friksi di kalangan kaum seniman itu, kini kian terasa, dan memunculkan kesadaran baru, bahwa sesungguhnya rezim lokal tak memiliki apresiasi yang tinggi terhadap kesenian, kecuali sekedar seremonial yang menciptakan jenis kesenian artifisial.

Dalam kondisi represi rezim lokal melalui politik birokrasi membangkitkan kesadaran kaum seniman untuk memikirkan kembali posisi dan fungsi DK. Upaya untuk menegakan marwah dan martabat DK terasa diungkapkan, walaupun belum sampai pada tahapan suatu konsep strategis: masih berkutat pada hal-hal yang bersifat psikologis, yang mengarah kepada makin hilangnya kapasitas rasionalitas, profesionalisme dan kompetensi.

Melalui Musyawarah Nasional Dewan Kesenian se Indonesia (MNDKI) inilah upaya untuk membangkitkan kembali marwah, martabat dan spirit berkebudayaan melalui kesenian kita tumbuh kembangkan. Secara praktis tapi strategis, hal ini kita sebut sebagai proses untuk re-posisi dan re-fungsionalisasi DK, meletakan kembali DK kepada posisinya sebagai lembaga kesenian yang berakar dan tumbuh dari dalam lingkungan masyarakatnya. Pengembalian posisi dan fungsi DK bukan hanya mengandaikan tapi justeru menjadi kehendak paling dalam  kaum seniman untuk menciptakan suatu lembaga kesenian sebagai organisasi yang bersifat organik, yang menyadari tentang azas, tujuan dan fungsinya.

Re-posisi dan re-fungsionalisasi DK yang didasarkan kepada azas, fungsi dan tujuan yang kita maksudkan berupa meletakan kembali dasar pemikiran lembaga DK sebagai pengemban dan pengembang kehidupan kesenian dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan lokal dan nasional berdasarkan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Dalam konteks itulah secara teknikal namun visioner maka DK berfungsi untuk melakukan kurasi, advokasi, fasilitator dan bank-data kesenian di daerah-kota masing-masing. Hal itu berkaitan dengan tujuan re-posisi dan re-fungsionalisasi DK membentuk suatu ekosistem kesenian yang bukan hanya kondusif tapi juga dinamis, suatu ekosistem yang saling mengisi dan menunjang untuk menumbuhkan kesadaran kehidupan kebudayaan kearah peradaban.

(4) TATA KELOLA DEWAN KESENIAN: agar proses mengembalikan marwah dan martabat DK tidak sekedar menjadi slogan maka DK sangat membutuhkan pengembangan kapasitas rasionalitas, profesionalisme dan kompetensi pada bidang masing-masing. Hal ini kuat kaitannya dengan pengembangan tata kelola kebudayaan, yang secara teknikal memiliki kaitan dengan tata kelola kesenian, termasuk di antaranya tata kelola administratif yang menyangkut pertanggungjawaban keuangan-anggaran. Akuntabilitas ini harus menjadi perhatian karena selama ini salah satu kelemahan utama DK di manapun terletak kepada ketidakmampuannya membuat laporan pertanggungjawaban anggaran. Para pengelola DK harus memegang prinsip bahwa akuntabilitas keuangan-anggaran merupakan wujud dalam menjaga marwah-martabat DK.

Penguatan kapasitas rasionalitas, profesionalisme dan kompetensi dalam kaitannya dengan tata kelola dikembangkan juga seiring dengan perkembangan dunia kesenian dalam berbagai disiplinnya. Dunia kesenian merupakan suatu jagat dengan dinamika yang tak pernah henti. Interaksi antar disiplin kesenian terjadi, interaksi antar kesenian dari berbagai belahan dunia saling bertemu, dan perkembangan tehnologi tata panggung misalnya sangat penting dikuasai, serta interaksi pemikiran, gagasan, konsep serta kajian sehubungan dengan karya-karya eksperimental, kolaboratif. Jadi, saling silang antara tata kelola yang bersifat manajerial dengan tata kelola teknikal serta tata kelola yang bersifat reflektif, kultural dan filosofis harus dipadukan dalam kaitannya dengan upaya DK untuk membangun bukan hanya citra tapi lebih dari itu, mengangkat posisi dirinya ke dalam percaturan sistem dan tatanan nilai kebudayaan dan peradaban.

(5) TATA KELOLA SUMDER DAYA MANUSIA: dalam proses pengembangan dirinya DK haruslah menyadari benar bahwa organisasi apapun khususnya lembaga kesenian hanya bisa tumbuh dan berkembang secara dinamik dalam mengikuti zaman jika memiliki kesadaran dan praktek mengembangkan sumber daya manusia (SDM). SDM sebagai modal utama sangat kuat berhubungan dengan pengelolaan seluruh aspek kelembagaan. Pada bagian atas telah kita singgung soal bagaimana mengembangkan kapasitas rasionalitas, profesionalisme dan kompetensi untuk menuju penguatan DK berkaitan dengan azas, fungsi dan tujuan yang kian meluas akibat tuntan zaman.

Dalam konteks penguatan DK itulah kita membutuhkan sejumlah rumusan kriteria lain untuk mengukur sejauh mana DK melakukan kaderisasi pengelolaan organisasinya, batas usia tertinggi-terendah berapakah bagi mereka yang dianggap layak untuk menjadi pengelola, kualifikasi jenis apakah yang menjadi syarat bagi pengelola DK. Dalam kaitan dengan posisi pengelola agar tidak terjadi tumpang tindih wilayah kerja kebudayaan, bisakah seorang ASN pada instansi tertentu menjadi pengelola DK? Berapa periode seorang ketua atau anggota pengelola DK? Apakah seseorang non-seniman bisa mencalonkan dirinya sebagai ketua DK? Berapa tahunkah pada setiap periode pengelola harus diganti?

Semua rumusan persyaratan untuk menjadi ketua dan anggota DK membutuhkan kesepakatan bersama yang dipilih melalui musyawarah kaum seniman pada periode yang telah ditentukan. Di dalam musyawarah itu pemilihan dilakukan, setelah semua rumusan persayaratan, kriteria dianggap memenuhi AD-ART DK.

(6) THINK TANK KEBUDAYAAN: perkembangan kebudayaan dalam seluruh seginya sangat membutuhkan penggunaan perangkat bukan hanya dalam kaitannya dengan tehnologi informasi tapi yang utama perangkat yang berkaitan dengan kapasitas berpikir rasional sebagai modal utama di dalam menunjang pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan yang terjadi di dalam masyarakat. Kapasitas rasional itu merupakan perangkat dalam rangka menyusun suatu basis data, dan bagaimana data yang ada dianalisis dan dirumuskan untuk kepentingan menunjang arah pembangunan strategi kebudayaan. Dalam konteks inilah kita sangat membutuhkan kaum bijak lokal, kaum pakar pada bidang masing-masing duduk dalam posisi dan berfungsi sebagai think tank yang memahami dinamika, perubahan dan arah serta tujuan strategi kebudayaan. Berkaitan dengan posisi dan fungsi kaum bijak lokal dan para pakar itulah kita meletakannya di Dewan Kebudayaan Provinsi, yang bertugas memberikan pertimbangan dan masukan kerangka rumusan kebijakan berdasarkan tatanan nilai kebudayaan dalam konteks strategi kebudayaan lokal sebagai basis strategi kebudayaan nasional.

(7) INFRASTRUKTUR DAN TATA RUANG: kehidupan kebudayaan tak lepas dari kondisi ruang yang melingkunginya. Di dalam ruang yang menyatu dalam waktu itulah perubahan kebudayaan terjadi. Yang selalu menjadi masalah, disain dan tata ruang yang bagaimanakah yang bisa menampung kehidupan kebudayaan beserta perubahannya yang direncanakan yang didasarkan kepada pertimbangan rasionalitas dan kebijakan kepada publik. Kita tahu secara kasat mata di mana ruang menjadi komoditas dalam proses politik ekonomi kapitalis yang selama ini mengepung diri kita. Untuk itulah kita harus kembali merumuskan suatu tata ruang publik kebudayaan.

Berkaitan dengan hal tata ruang publik kebudayaan, maka Dewan Kebudayaan Provinsi (DKP) dan Dewan Kesenian (DK) Kabupaten-Kota harus secara aktif terlibat dalam merumuskan kebijakan publik yang berkaitan dengan penataan ruang publik kebudayaan.

Salah satu yang harus menjadi pertimbangan Dewan Kebudayaan Provinsi dan Dewan Kesenian Kabupaten-kota mendorong pengembalian posisi-fungsi Taman Budaya (TB) yang ada di Provinsi ke dalam pengelolaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek. Hal ini dengan pertimbangan bahwa selama ini Taman Budaya mengalami degradasi posisi-fungsi, bahkan menjadi sejenis instansi “tempat pembuangan” aparatur sipil negara (ASN) yang akan pensiun. Dampak dari hal itu makin hilangnya kompetensi dan profesionalisme dan pengelolaan secara berjenjang. Untuk mendudukan kembali posisi-fungsi Taman Budaya Provinsi itulah pilihan terbaik mengembalikannya kepada Dirjenbud Kemendikbudristek. Dampak lain dari hilangnya kompetensi dan profesionalisme pengelolaan Taman Budaya, terciptanya acara-acara kesenian seremonial, jenis kesenian artifisial. Taman budaya makin hilang posisi-fungsinya sebagai laboratorium kesenian yang bersifat eksploratif yang mayoritas digemari oleh kaum seniman muda.

Dan pada sisi lainnya, terdapat kecenderungan komersialisasi fasilitas Taman Budaya atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD). PAD ini merupakan wujud dari perubahan posisi-fungsi Taman Budaya menjadi unit pelaksana teknis daerah (UPTD) yang anggarannya tak bisa dikelola dan ditentukan oleh dirinya.

(8) TATA KELOLA KEBUDAYAAN DAN STRUKTUR BIROKRASI: pengelolaan kebudayaan di negeri ini selalu mengalami tumpang tindih. Banyak contoh yang bisa kita sampaikan dalam perbincangan Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se Indonesia (MNDKDKI). Misalnya dinas apakah yang harusnya menyelenggarakan kegiatan kesenian, seperti festival dan dinas apakah yang semestinya sebagai fasilitator, dan dinas manakah yang menjadi rekan dalam pemasaran hasil produk senibudaya. Tumpang tindih antara dinas pariwisata dengan dinas kebudayaan selalu terjadi, demikian juga dalam pembentukan organisasi profesi kaum seniman yang semestinya dikelola oleh Dirjenbud, tapi diselenggarakan oleh Kemenparekraf, kasus APESI (Asosiasi Pencipta Seni), misalnya.

Dalam konteks itulah melalui Musyawarah Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se Indonesia para pengelola Dewan Kebudayaan dan Dewan Kesenian merasa perlu untuk menyampaikan resolusi pembentukan Kementerian Kebudayaan. Pembentukan Kementerian Kebudayaan makin mendesak berkaitan dengan makin kompleksnya masalah-masalah yang berkaitan dengan usaha untuk menciptakan sIstem produksi, tata kelola kebudayaan, dan usaha untuk menyusun suatu wilayah dan tata ruang kerja kebudayaan yang rasional dan professional.

(9) VISI KEBUDAYAAN UNTUK MASA DEPAN: perkembangan dunia modern selalu kuat kaitannya dengan perkembangan tehnologi. Melalui perkembangan tehnologi itulah kondisi kebudayaan mengalami perubahan secara simultan dan memiliki berbagai segi yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat secara sosial dan personal. Pengaruh perkembangan tehnologi bukan hanya membawa dampak positif tapi juga bersifat negatif. Dalam konteks itulah Dewan Kebudayaan dan Dewan Kesenian harus menyusun rumusan pada wilayah kerja masing-masing suatu solusi berkaitan dengan dampak negatif yang diiringi dengan berbagai krisis, termasuk di antaranya krisis ekosistem kehidupan manusia, dalam wujud yang paling nyata berupa kerusakan lingkungan hidup, makin menipisnya hutan tropis, membanjirnya sampah plastik. Pada sisi lainnya, di dalam kehidupan sosial dan personal terjadi bentuk bentuk alienasi akibat cengkeraman media sosial yang menggiring warga ke dalam kondisi keseragaman.

(10) MUSYAWARAH DEWAN KESENIAN & DEWAN KEBUDAYAAN 2023: momentum untuk menegakankembali marwah dan martabat organisasi kebudayaan melalui musyawarah kaum seniman dan pelaku kebudayaan kepada aspirasi awal yang pernah dicanangkan pada 55 tahun yang lalu. Musyawarah ini diciptakan oleh hasrat untuk melakukan otokritik dalam praktek kerja kebudayaan yang selama ini Dewan Kesenian mengalami represi birokratis dan politik yang membawa dampak kepada proses degradasi kompetensi dan profesionalisme di semua segi dari kehidupan kesenian. Untuk itulah kita kembali menekankan proses otokritik dalam tata kelola kebudayaan yang didasarkan kepada rasionalitas, kepada kapasitas untuk membaca dan mengupas data dalam kaitannya dengan penyusunan rencana kerja kesenian dan kebudayaan di daerah-kota masing-masing bersama instansi terkait dan komunitas warga kebudayaan.

Melalui musyawarah ini pula suatu kerangka kerja organisasi yang bersifat horisontal yang berskala nasional dibentuk melalui simpul-simpul Dewan Kesenian untuk melakukan kontrol terhadap upaya-upaya pelumpuhan Dewan Kesenian melalui tekanan birokratis dan politis yang bersifat interes subyektif. Melalui musyawarah inilah dibutuhkan suatu Badan Koordinasi simpul-simpul Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan.

 

Tulisan ini disampaikan di:

Makalah Sidang Pleno Musyawarah Nasional

Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan se-Indonesia

Jakarta,  11 Desember 2023

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here