Sejarah Rempah: Pertautan Bioregionalisme Dalam Puisi Anak
Sejarah Rempah: Pertautan Bioregionalisme Dalam Puisi Anak

Ada yang masih ingat seorang gadis yang membentangkan spanduk bertulis “Skolstrejk for klimatet” yang menggegerkan dunia? Tulisan yang berarti “Aksi Mogok Sekolah untuk Iklim” menunjukkan keberanian anak-anak untuk menantang kebijakan orang dewasa yang mengabaikan lingkungan. Aksi yang dimotori Greta Thunberg di depan parlemen Swedia pada tahun 2018, diulang lebih tegas di Climate Action Summit 2019. Pesan yang diartikulasikan lugas ditambah tatapan menohoknya yang khas , berbunyi, “Saya seharusnya tidak berada di sini, saya seharusnya kembali ke sekolah… kalian semua telah merampas mimpi dan masa kecil saya dengan omong kosong kalian!”

Jauh sebelum peta dunia lengkap tergambar, ketika Eropa masih berada dalam kegelapan Abad Pertengahan, nama-nama seperti Chryse dan Argyre—yang berarti Pulau Emas dan Pulau Perak—telah menjadi bagian dari peta-peta kuno Yunani. Nama-nama misterius ini merujuk pada kepulauan di timur jauh yang sekarang dikenal sebagai Nusantara. Dalam tulisannya, Herodotus yang dijuluki “Bapak Sejarah” menceritakan tentang wilayah yang kaya akan wewangian dan rempah-rempah, tempat kayu manis tumbuh di danau yang dijaga oleh burung-burung berukuran raksasa. Sementara itu, Theophrastus, salah seorang murid Aristoteles, mencatat tentang berbagai tanaman eksotis dari timur yang memiliki khasiat penyembuhan dan aroma yang memabukkan.

Para penyair Yunani kuno seperti Sappho menggubah syair-syair tentang aroma cengkih yang membangkitkan gairah, sementara Pindar melukiskan dalam puisinya tentang kapal-kapal yang berlayar ke timur membawa pulang harta karun berupa butiran-butiran kecil yang lebih berharga dari emas. Bahkan Homer dalam Odyssey menyinggung tentang tanah jauh tempat rempah-rempah tumbuh, yang dikunjungi oleh para pahlawan dalam petualangan mereka.

Rempah-rempah Nusantara tidak hanya mengubah cita rasa masakan Eropa, tetapi juga mengubah cara mereka memandang dunia. Pala, lada (merica), dan cengkih, dari tanah kita menjadi inspirasi bagi karya-karya sastra, seni, dan filsafat. Karya-karya itu adalah bukti bahwa jauh sebelum era kolonialisme, Nusantara sudah menjadi bagian dari imajinasi global, sebuah tanah impian yang menginspirasi peradaban-peradaban besar dunia. Namun, kisah rempah jauh lebih kompleks dari sekadar bumbu penyedap masakan.

- Poster Iklan -

Jack Turner dalam bukunya Sejarah Rempah: Dari Erotisme hingga Imperialisme mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa konsumen lada pertama bukanlah para pencicip kuliner, melainkan para pembalsem jenazah. Lubang hidung Firaun Rameses II yang wafat pada 1224 SM dipenuhi dengan butiran lada hitam—sebuah praktik yang menunjukkan betapa berharganya rempah ini bahkan untuk melepas kepergian sang penguasa. Dan jauh sebelum Ramses berkuasa, banyak jenazah tokoh terkenal dikuburkan bersama rempah-rempah, menjadikan butiran-butiran kecil ini sebagai teman perjalanan mereka ke alam baka.

Di Eropa abad pertengahan, ketika wabah pes hitam merenggut nyawa sepertiga populasi benua itu, rempah-rempah menjadi komoditas yang diperebutkan bukan hanya karena aromanya yang eksotis, tetapi juga karena sifat antiseptiknya. Cengkih, kayu manis, dan pala dibakar di ruang-ruang publik untuk “membersihkan” udara dari miasma—uap beracun yang diyakini sebagai penyebab penyakit. Para dokter mengenakan topeng paruh burung yang diisi dengan rempah-rempah wangi sebagai pelindung ketika mengobati pasien pes. Bahkan para pencuri mayat di London abad ke-17 dilaporkan mengunyah cengkih untuk melindungi diri dari “udara busuk” yang menguar dari jenazah yang mereka curi.

Kebutuhan tinggi terhadap rempah inilah yang kemudian memicu perburuan besar-besaran oleh bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12 hingga 18. Perburuan yang berujung pada eksploitasi tanah dan manusia di Nusantara. Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris berlomba-lomba menguasai jalur perdagangan rempah, membangun benteng-benteng, dan menerapkan sistem monopoli yang kejam. Pulau Run yang kecil di Maluku bahkan pernah ditukar dengan Manhattan—sebuah bukti betapa berharganya rempah-rempah Nusantara di mata dunia.

Saya tidak tahu persis kapan kesadaran terhadap posisi strategis rempah, yang begitu mudah didapatkan di bothekan (wadah bumbu dapur) itu muncul. Bahwa rempah-rempah yang begitu biasa di dapur rumah kita, pernah menjadi komoditas yang diperebutkan bangsa-bangsa besar dunia. Bahwa butiran-butiran kecil itu telah mengubah peta dunia, melahirkan kolonialisme, dan pada akhirnya, membentuk Indonesia seperti yang kita kenal sekarang.

Yang pasti, kesadaran itu menggerakkan saya menulis Rempah Berkisah pada 2022 (diterbitkan BRIN dan dapat diakses gratis di laman penerbitan BRIN) dan sebelumnya berjudul Bocah Rempah, yang terbit lebih dulu pada 2021. Sebuah buku yang menghimpun setangkup puisi rempah, yang ditujukan untuk anak-anak. Puisi-puisi itu, dengan bahasa yang lugas dan gamblang, bercerita tentang cengkih, pala, lada, dan kapur barus yang pernah menjadi primadona komoditas perdagangan dunia.

Kita hidup di zaman yang aneh. Di satu sisi, kita terhubung dengan seluruh dunia melalui internet dan media sosial. Kita bisa mengakses informasi dari berbagai penjuru dunia hanya dengan beberapa klik. Namun di sisi lain, kita semakin terputus dari akar budaya kita sendiri. Anak-anak kita lebih mengenal tokoh-tokoh fiksi dari film Hollywood daripada tokoh-tokoh sejarah bangsa sendiri. Mereka lebih fasih berbicara tentang makanan cepat saji daripada bertutur tentang rempah-rempah yang tersimpan di dapur rumah mereka.

Dalam konteks pendidikan, Rempah Berkisah menawarkan pendekatan yang menarik: menggunakan puisi sebagai media untuk menyampaikan pengetahuan tentang sejarah, geografi, dan ilmu pengetahuan alam. Pendekatan ini sejalan dengan konsep bioregionalisme—sebuah pendekatan yang menekankan hubungan antara manusia dan lingkungan alamnya, yang mendorong kita untuk hidup selaras dengan ekosistem lokal kita.

Pendekatan ini relevan untuk saat ini. Ia mengajak kita untuk menghargai dan melestarikan kekayaan alam kita, termasuk rempah-rempah yang telah menjadi bagian dari identitas budaya kita selama berabad-abad. Pendekatan yang lekat dengan konsep bioregionalisme, yang sejatinya sudah dipraktikkan masyarakat adat Indonesia seperti hidup sederhana dan mandiri teman-teman Samin dan Kanekes.

Bioregionalisme adalah konsep yang menekankan hubungan mendalam antara manusia dengan lingkungan alam di mana mereka hidup. Konsep ini mengajak kita untuk mengenali, merawat, dan mengelola sumber daya alam serta budaya setempat secara berkelanjutan. Bagi Indonesia, yang kekayaan alam dan budayanya sangat beragam, bioregionalisme menjadi kerangka penting untuk menjaga identitas lokal dan ekosistem yang mendasarinya.

Dengan memahami dan mengimplementasikan konsep ini, kita dapat memastikan bahwa pengelolaan sumber daya—mulai dari rempah-rempah hingga hutan-hutan tropis—berjalan seiring dengan pelestarian budaya dan jenius lokal. Pendekatan ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga bagi pendidikan, karena mengajarkan generasi muda untuk hidup harmonis bersama alam dengan cara yang sederhana dan bisa dipahami oleh semua.

Melalui pendidikan berbasis bioregionalisme, anak-anak tidak hanya belajar tentang rempah-rempah sebagai komoditas ekonomi atau objek sejarah, tetapi juga sebagai bagian dari ekosistem yang kompleks dan saling terhubung. Mereka belajar bahwa melestarikan rempah-rempah berarti juga melestarikan habitat alaminya, melestarikan pengetahuan tradisional tentang penanaman dan pengolahannya, dan pada akhirnya, melestarikan identitas budaya yang terkait dengannya, termasuk Bahasa daerah yang menjadi lumbung utama Bahasa Indonesia.

Dalam dunia yang semakin homogen dan terstandardisasi, di mana perbedaan-perbedaan lokal semakin terkikis oleh arus globalisasi, puisi-puisi tentang rempah-rempah ini menjadi pengingat akan kekayaan dan keunikan budaya Indonesia. Mereka menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka, dengan tanah tempat mereka berpijak. Dan mungkin, melalui puisi-puisi sederhana ini, anak-anak punya alternatif memahami sejarah negerinya dengan cara sastrawi. Individu yang paham betul sejarah bangsanya tentu lebih lincah dan kreatif dalam menyebarkan aroma dan rasa Indonesia ke seluruh dunia.

Saya teringat pada pengisahan pohon cengkih Afo yang berdiri tegak selama berabad-abad, menyaksikan perubahan zaman, pergantian kekuasaan, dan pergeseran peradaban. Ia masih berdiri di sana, di Maluku Utara, seperti saksi bisu sejarah yang tak pernah berakhir. Meski pernah pada suatu masa, saya menyaksikan para petani menebang batang-batang cengkih dengan wajah putus asa, karena harganya dimonopoli rezim penguasa. Harum cengkih tak mau surut. Wangi yang merajai beberapa pabrik parfum di Grasse, dekat kota Cannes, Prancis.

Dan saya bertanya-tanya: jika pohon-pohon yang dirindui banyak bangsa itu bisa berbicara, kisah apa yang akan ia ceritakan? Rahasia apa yang masih tersimpan dalam akar-akarnya yang menghujam jauh ke dalam tanah Nusantara? Dan lebih penting lagi—apakah kita, yang telah lama memunggungi kekayaan rempah ini, masih mampu menyimak suara dan pelajaran-pelajaran berharga dari masa lalu itu? Ataukah kita telah gagap berkomunikasi dengan alam seperti kita telah kehilangan ekspresi saat bercakap semanak dengan anak-anak?

- Cetak Buku dan PDF-

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here