Devaluasi Insani

“All of us are beautiful people, but we walk around just being people.

I wanted real human beings.”

– Bridget Carpenter

 

Devaluasi Insani

Kiranya saat ini kita dituntut untuk menjalani hidup, seperti kebanyakan ekspektasi publik menyangkut bagaimana cara kita seharusnya hidup.

Padahal, menurut Sartre, mereka yang ”menyusup” ke tengah massa tidak akan pernah tampil sebagai diri sendiri, kecuali merupakan anggota dari kerumunan impersonal (mass-man) karena telah lari menuju penipuan, sekaligus pemalsuan diri (depersonalisasi).

Dalam konteks ini, individualitas cenderung dipersepsi pada posisi yang marjinal.

Padahal, individu hendaknya menemukenali dan mengembangkan dirinya, lingkungannya, dan interaksinya. Sejatinya setiap individu bertanggung jawab menentukan diri dan dunianya melalui suatu opsi bebas, yang dipilih dan diputuskan olehnya—individu itu sendiri.

Kebebasan telah menghendaki agar menjauhkan diri dari pola pikir, sikap, maupun perilaku yang begitu saja taken for granted atas suatu hal. Individu memberdayakan diri dengan membuat pilihan sendiri, serta berupaya hidup dengan cara yang autentik.

Manusia menjumpai diri mereka kian terlibat dalam pergulatan sengit untuk menemukan keunikannya—perjuangan demi keautentikan. Penggagas konsep keautentikan cenderung memandang manusia itu terbelenggu tradisi, korban aturan sosial yang mengeliminasi kehidupan, manekin belaka dari konvensi-konvensi masa silam yang mungkin sudah tidak relevan lagi.

Lacan menyatakan bahwa libido kita rela tunduk pada sistem. Kita seolah harus melepaskan kuasa pribadi kita, bahkan kuasa-daya imajinasi kita untuk diserahkan pada status quo, kuasa simbol-simbol sosial tertentu yang hegemonik.

Selain itu, suatu bentuk perbudakan baru telah dilahirkan dalam masyarakat saat ini.

Suatu perbudakan yang ditentukan bukan oleh ketundukan maupun kerja keras buruh, melainkan oleh status manusia sebagai suatu instrumen semata dan oleh perendahannya kepada status benda. Inilah bentuk murni dari perbudakan, ujar Marcuse.

Secara riil, lingkungan sosial telah menuntut individu untuk bekerja lebih daripada yang dibutuhkan sekadar memburu motif ekonomi. Selama ini kita telah dirangsang agar berilusi menggapai life style yang berwatak materialis.

Konsekuensinya, kita berpotensi menjadi kurang begitu peduli pada hakikat makna kehidupan dan kualitas hidup. Madat peradaban tersebut membawa implikasi pada marjinalisasi eksistensi insani.

Estetika Autentisitas

Autentisitas atau keautentikan dapat berarti pembebasan dari kekangan-kekangan tertentu. Menurut Robert D. Lee, aksi yang autentik niscaya merefleksikan diri, opsi, kondisi yang sebenarnya, bukan diri yang ”nasib”-nya ditentukan oleh pihak lain.

Aksi tersebut membutuhkan kearifan intelektual, pengukuhan integritas dan independensi serta keberanian untuk mendobrak stagnasi.

Sebagai Homo Academicus, manusia dituntut untuk melestarikan kesahihan pemikiran, lepas dari kooptasi uniformisasi mindset yang dapat membungkam daya nalar dan kritisisme.

Bahkan, Habermas menengarai bahwa ilmu dan rasionalitas yang ada dalam era ini sudah lazim diselewengkan untuk melawan manusia, memelaratkan kehidupan kultural (termasuk budaya intelektual), dan memperparah situasi patologis.

Padahal, supremasi intelektual hendaknya bermuara pada aksi sosial. Kejumudan dalam menyelami samudera kehidupan justru akan mengundang kegalauan.

Kerinduan dan apresiasi estetika menyuguhkan perspektif kehidupan yang beraneka ragam melalui pemaknaan dan penghayatan nilai-nilai hakiki. Setiap upaya yang menafikan keberagaman justru akan selalu berujung pada terjadinya instabilitas dan disorder.

Stabilitas yang berkelanjutan, seperti ditegaskan Schwartz, hanya akan mampu ditumbuhkembangkan jika memperkuat kemampuan merayakan, melestarikan, dan memberdayakan keberagaman itu sendiri.

Setiap insan lazimnya menghendaki untuk mempromosikan ekspresi dan aktualisasi dirinya. Menurut Whitehead, hakikat eksistensi manusia adalah berproses untuk terus menjadi (process of becoming).

Menjalani hidup berarti melakukan proses pembelajaran dan eksperimentasi sosial demi pemenuhan kebutuhan pemanusiaan (humanization). Suatu keniscayaan bahwa hakikat eksistensi manusia akan bermasalah jika tanpa mengindahkan kebutuhan ini.

Dengan menemukan esensi diri dalam rangka humanisasi, seseorang menjumpai wujud hakiki yang dimilikinya. Bahkan solusi problem autentisitas membutuhkan transformasi personal dan sosial.

Hal ini dapat ditempuh melalui pemulihan eksistensi diri dari bahaya kepasifan, stagnasi, ritualisme dan dominasi asing maupun dengan berupaya mendorong kelompok-masyarakat untuk melakukan aksi dan mengekspresikan alasan logis-rasional untuk melakukan transformasi (Lee, 2000).

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here