Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam sejahtera dan Salam kesetaraan untuk kita semua
Sebelum menulis sepucuk surat ini, izinkan saya memperkenalkan diri. Saya perempuan yang tumbuh di tengah budaya patriarkal. Budaya yang sangat kental memposisikan perempuan pada subordinasi.
Katanya, tugas kita—perempuan—hanya di rumah, selebihnya tugas yang lain hanya milik laki-laki. Namun, saya tidak ingin menyalahkan laki-laki pula atas ketimpangan yang terjadi di daerah saya.
Sebab, saya rasa tuntutan laki-laki harus kuat fisik dan finansial juga berpotensi membebani mereka.
Ah sial, saya lupa menanyakan kabar para perempuan hebat di negeri ini. Bagaimana kabar kalian? Semoga sehat selalu dalam lindungan Tuhan. Sebab, dari kalianlah peradaban dunia muncul.
Bung Karno pernah bilang, perempuan adalah pencipta peradaban pertama. Dari dialah sumber pengetahuan lahir, ilmu pertanian, kepemimpinan, bahkan arsitektur.
Maka dari itu, harapan saya agar perempuan selalu hebat dan sehat sehingga selalu menciptakan peradaban baru.
Akan tetapi, sial … baru-baru ini saya mendengar di berbagai media sosial kabar kekerasan seksual. Sungguh sedih saya mendengar dan membacanya.
Semua mengabarkan dengan berangsur-angsur seperti hujan di Kota Malang yang tak kunjung berhenti. Bagaimana mungkin, ibu peradaban dilacurkan? Bagaimana mugkin?
Ketika gawai di samping saya berbunyi, ada pesan dari sahabat saya. Tentu sahabat perempuan yang getol memperjuangkan RUU Pengahapusan Pencegahan Kekerasan Seksual dan mengadvokasi kekerasan seksual di berbagai kasus.
Ia memberi pesan “Kita sedang berduka, RUU PKS tidak kunjung disahkan, derita korban dipermainkan di negeri ini. Negeri ini malah bersemai dengan kelompok yang punya relasi kuasa, namun tidak memiliki perspektif korban” disertai emoji menangis.
Saya tak membalas pesannya secara kilat seperti biasanya. Sebab, saya bingung untuk menimpali jawaban seperti apa.
Saya hanya berpikir mengapa negeri ini sama sekali tak memihak para korban. Apakah korban yang kehidupannya dirampas tak menjadi penguat untuk mengesahkan rancangan peraturan tersebut?
Apakah Data KOMNAS Perempuan yang selau melansirkan data tentang KS, tidak dapat menjadi penguat? Misalnya Data Komnas Perempuan, terdapat 4.000 kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia sejak Januari hingga September 2021.
Kekerasan seksual terjadi begitu masif sudah dalam tingkatan stadium IV terjadi di berbagai organ. Mulai dari lingkup keluarga, instansi pendidikan baik formal atau nonformal, tempat kerja, maupun media sosial.
Modusnya juga beragam hingga menciptakan sebuah ketidaknyamanan yang berbau seks. Korbannya tak mengenal jenis kelamin laki-laki atau perempuan, semua berpotensi.
Bahkan, parahnya usia di bawah umur pun menjadi target empuk. Sebagaimana kasus pencabulan terhadap seorang anak panti asuhan di Kota Malang.
Sampai kapan kita membiarkan fenomena sosial yang buruk itu terjadi? bukankah negeri ini memiliki janji untuk melindungi warganya yang sudah dicantumkan dalam sebuah UUD 1945 alinea empat yang berbunyi “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindung segenap bangsa Indonesia dan selurih tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamian abadi, dan keadilan sosial ….”
Undang–undang tersebut yang menjadi dasar perlindungan atas korban tanpa diskiriminasi apa pun. Mengapa tak diterapkan sebaik mungkin? Padahal, seperti yang diutarakan sahabat saya bahwa “Korban kekerasan seksual itu amat sangat merugi, mulai dari material, mental, hingga sosial”.
Teman-teman perempuan yang hebat nan merdeka, berbagai aksi digelar upaya mendukung peraturan tersebut. Akan tetapi, masih saja tak digubris. Katanya juga kita sebagai warga negera telah diberikan ruang politik untuk mengutarakan pendapatnya.
Sejauh ini ruang itu tak lagi bermakna, karena suara-suara ibu peradaban tak pernah digubris. Entah, apa yang terjadi dalam singgasana penguasa hari ini. Apa niatan yang baik ini kalah dengan tujuan politik yang disepakati bersama oleh kaum elite di sana?
Akan tetapi, perempuan hebat, tahukah kalian? Sebenarnya kalian adalah pemenangnya. Sebab, indikator pemenangan adalah kerberpihakan atas korban yang sukar dicari. Sense of crisis milik penguasa sudah mati, terkubur dalam lahat.
Akan tetapi, milik kalian selalu tumbuh seperti mawar dalam kebun yang selalu memberikan aroma harum itu.
Saya ingin meminjam kata Todung Mulya Lubis, “Hanya orang yang memiliki keberanian ekstra yang mampu melakukan perlawanan”. Keberanian itu ada pada perempuan yang hari ini tetap melawan dan penuh kebahagiaan, bahkan dengan kemarahan atas ketidakadilan yang terjadi.
Setidaknya, perjuangan akan selalu besanding dengan perlawanan. Perlawanan elok akan selalu bersemai dengan kebenaran. Kebenaran akan selalu abadi untuk selamanya. Sejarah tak akan pernah bungkam dengan kenyataan walaupun direkayasa.
Saya kehabisan kalimat untuk melanjutkan surat ini. Namun, izinkan saya sebagai perempuan yang memiliki hak untuk hidup, mengutarakan sesutau yakni jaminan perlindungan atas hidup dalam kondisi apapun.
Sebab, kapan pun dan di mana pun dapat berpotensi menjadi korban. Dengan demikian, perlulah RUU PKS yang telah diperjuangkan sejak tahun 2012 disahkan.
Dan pesan untuk teman–teman yang masih berjuang, TIDAK ADA kata, selain berterima kasih dan tetap semangat. Terima kasih telah berjuang dan membersamai korban. Jika negara tak ingin melindungi, biarkan sesama perempuanlah yang saling melindungi.
Sekian surat kecil ini. Apabila terdapat kesalahan, mohon maaf dan terimakasih.
Salam Kesetaraaan
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.