Maria Violeta adalah seorang janda tua yang selalu tampak segar dan ceria, meski hari-hari berjalan malas dan bisu. Bola matanya berwarna cokelat-kehitaman betapa lincahnya. Nyaris slincah bola mata perempuan muda yang memenangkan lotere. Lekukan demi lekukan tubuhnya takkan engkau temui keriput, bahkan sesentipun!
Dalam seminggu, Maria Violeta hanya keluar rumah sebanyak tiga kali; hari Senin, Kamis, dan Minggu. Di hari-hari tertentu itu, dia membuka toko vas bunga yang didirikan bersama mendiang suaminya – Ivan Widjaja; cucu dari seorang veteran Revolusi Surabaya 1945 – setahun setelah pernikahan mereka.
Toko vas bunga itu tidak begitu luas tapi juga tidak begitu sempit. Di sebelah kirinya, sebuah toko buku milik seorang lelaki muda beberapa minggu ini tampak sepi. Di sebelah kanannya, sebuah toko mantel–sukar diterka berapa tahun sudah toko ini berdiri–milik seorang pensiunan petugas departemen keadilan dan hak.
Bagi Maria Violeta dan Ivan Widjaja, membuka toko tidak mesti di pusat keramaian. Selera seseorang sukar diterka. Jika memang benar-benar mereka menyukai sesuatu yang masuk dalam standar seleranya, mereka akan datang dan membeli.
Hari Minggu yang tidak begitu buruk. Dari kejauhan, terdengar terompet kereta berbunyi tiga kali sebelum hilang dalam tawa anak-anak. Cahaya matahari tampak seperti senar-senar perak berkilauan. Sesekali, desir angin menggesek senar-senar matahari itu dan pagi bernyanyi dalam kebisuan.
Juga terdengar gema lonceng Gereja kemudian. Gelak anak-anak, lelaki dan perempuan yang sudah sejak lama kehilangan ruang bermain mereka karena pendirian mall dan hotel berbintang, terdengar sepanjang permainan.
Ketika Maria Violeta tiba di toko vas bunganya, anak-anak itu menghentikan permainannya. Mereka, satu per satu, menyapa Maria Violeta. Dan, sebagai balasan, Maria Violeta membuka sebuah kotak bekal yang berisi donat yang dia buat khusus untuk anak-anak malang itu.
Maria Violeta semringah ketika anak-anak itu memakan donat-donatnya dengan lahap. Kebiasaan ini sudah sejak lama pula mereka lakukan. Ivan Widjaja sengaja menggunakan setengah uang belas kasihan atas pekerjaannya sebagai seorang guru dari negaranya, Indonesia Jauh, untuk menyenangkan hati anak-anak malang di lingkungan toko vas bunga itu.
Dan, anak-anak itu membalas kebaikan janda tua itu dengan membantu pekerjaannya, mengangkat vas bunga ke luar dan ke dalam setelah Maria Violeta menutup tokonya. “Oh, Ivan!” gumamnya.
Setelah mengangkat dan menyusun vas bunga-vas bunga itu, Maria Violeta duduk di kursi goyang tua yang dipernis sedemikian rupa di hadapan rak buku. Serenade Melancolique, Tchaikovsky, menggema ke seantero sudut toko. Ketika mendengar orkestra yang lirih, anak-anak malang itu tidak mengeluarkan sekata pun, seakan-akan mengerti bahwa itulah waktu bagi Maria Violeta mengenang sesuatu yang menghantui hari-harinya.
Satu per satu anak-anak itu pulang ke rumah masing-masing, kecuali seorang anak lelaki jelek, pendek, kusam, dan ah! Sudah berapa pengarang yang menjadikannya sebagai tokoh cerita yang ah, betapa malangnya!
Dia, anak lelaki itu, berjalan perlahan-lahan menuju kaca toko vas bunga Maria Violeta. Perlahan dan hati-hati, dia mendekatkan telinganya ke kaca untuk mendengarkan Tchaikovsky mengiris hati pendengarnya. Begitulah, selama sepuluh menit anak itu akan berada di sana.
Kenangan terbaik Maria Violeta dan Ivan Widjaja adalah ketika meresmikan toko vas bunga itu. Mereka menggelar perjamuan makan malam. Semua orang di lingkungan toko diundang.
Termasuk Wiratman, seorang lelaki paruhbaya yang bekerja sebagai tukang sedot WC, ayah si anak lelaki yang kerap mendengarkan Tchaikovsky, yang mati sepuluh hari setelah Ivan Widjaja. Acara perjamuan makan malam akan segera dimulai, pasangan suami-istri beserta anak-anak mereka dengan pakaian terbaiknya memenuhi meja panjang. Tapi ada seorang anak perempuan yang tertinggal seorang diri di balik pintu. Maria Violeta menghampiri anak itu.
“Oh, cantik. Mengapa kau tidak bergabung bersama kami?” Maria Violeta bertanya.
Anak itu tak menggubris, kemudian menunduk.
“Siapa yang kau tunggu?”
Anak itu tetap tak menggubris.
Kemudian Maria Violeta menggendong dan membawanya ke meja panjang dan menyuruhnya duduk di sebelahnya. Semua pasang mata tertuju kepada anak itu. Dia malu, kemudian menunduk. Dia menangis hampir tak bersuara. Semua pasang mata itu semakin memperhatikannya.
“Ada apa cantik?”
“Ibu takkan datang ke sini, Maria. Dia malu karena tak memiliki pakaian terbaik.”
“Tuhan! Hanya karena itu?”
“Tidak. Ayah juga melarangnya untuk datang. Aku datang ke sini karena Ibu menyuruhku, tanpa sepengetahuan Ayah.”
“Astaga! Tapi mengapa?”
“Kata Ayah, orang seperti kami hanya akan merusak selera makan para tamu.”
“Oh, tidak!” Maria Violeta mengelus dadanya, kemudian membelai rambut anak itu.
“Betapa keras, ayahmu. Cantik, tidakkah semua orang di sini sama saja?! Lihat rambutmu yang tergerai ini! Bukankah juga sama dengan rambut anak peremuan itu?! Kau tahu? Nasib seseorang, baik, buruk, atau lebih baik tidaklah persoalan orang lain.
Jika ada yang terganggu dengan itu, percumalah hidup mereka. Namun, takdir, cantik, takdir kita sebagai manusia adalah saling menerima. Bukan begitu Gustaman?!”
Gustaman, pemuda pemilik toko buku sebelah mengangguk, kemudian berkata, “Tidak lain dan tidak bukan, Maria.”
“Sekarang,” kata Maria Violeta kepada anak perempuan itu, “bawalah aku ke rumahmu. Biarkan aku bicara kepada orangtuamu!”
Anak itu bergeming.
“Tahan, Maria,” kata Ivan Widjaja, “keputusan seseorang adalah haknya yang tidak bisa kita ganggu-gugat. Biarkan saja. Nanti, sisakan buat mereka. Biarkan anak perempuan yang cantik itu membawanya.”
Maria Violeta tertegun, tak percaya. Ketidakmauan keluarga anak perempuan itu menampar ketulusan hatinya. Akan tetapi, dia tak ingin berlarut. Perjamuan makan malam ini harus berjalan dengan kebagiaan dan damai. Jika seseorang makan tanpa merasa bahagia dan damai, makanan itu takkan menjadi darah dan daging. Makanan itu akan menjadi energi keputusasaan hidup. Bukan begitu?
Di ujung pertemuan, Ivan Widjaja mengambil kesempatan untuk bicara. Namun, ketika dia hendak memulai, terdengar decit pintu terbuka. Makismin, seorang lelaki gagah dan tampak kasar, muncul tanpa bicara sekata pun. Dia berjalan dengan amarah, menghampirii anak perempuannya yang duduk di sebelah Maria Violeta. Anak itu tampak ketakutan ketika Makismin semakin dekat. Semua pasang mata kini tertuju ke Makismin yang menggendong anak perempuannya.
Anak itu menangis agak nyaring. Dan, tak seorang pun berani melakukan sesuatu, termasuk Ivan Widjaja, cucu seorang veteran Revolusi Surabaya 1945 itu! Ketika Makismin keluar dari toko, suara tangis anak itu perlahan jauh, menjauh, dan hilang. Semua pasang mata itu saling bersitatap. Maria Violeta bangkit dan berjalan ke pintu toko, tidak ada apa-apa di sana selain lampu jalan berwarna kuning menyala redup di jalan gang.
“Ivan, Suamiku. Perasaanku sungguh, oh! Bagaimana dan apa yang harus kita lakukan untuk anak perempuan yang cantik itu?! Oh!”
“Kembalilah ke kursimu. Itu bukan urusan dan hak kita, Maria!”
“Tapi…”
“Benar, Maria,” kata Gustaman, “tidak sekali ini Makismin begitu. Dulu, ketika aku mengadakan acara sederhana untuk toko bukuku, dia melakukan tindakkan yang sukar diterima akal sehat. Anak perempuannya, Kumala Demiri, dipukuli hingga dia menangis tanpa airmata. Aku yang pada waktu itu masih orang baru diberitahu untuk tidak melakukan pembelaan.
Makismin seorang yang tega dan bringas. Dia tidak segan-segan melukai siapa saja yang menggangu dan menghalangi urusannya. Begitulah. Aku seperti seorang bodoh!”
Di pertengahan Serenade Melancolique, Maria Violeta, seperti biasa membuka surat-surat dari orang-orang terkasih di masa lalu yang diarsipkannya sebaik mungkin. Di antara surat-surat itu, dia lebih sering dan suka membaca surat dari Ivan Widjaja muda – lebih tua sepuluh tahun dari Maria Violeta, tentu saja – yang menyatakan keinginannya untuk membawa Maria Violeta ke Surabaya dan menikah di sana.
William Soeparman dan Inggreina Violeta, kedua oratngtua Maria Violeta, seorang Katolik yang taat. Mereka menginginkan Maria Violeta untuk menjadi Suster demi bukti bakti dan pengabdian mereka kepada Tuhan. Akan tetapi, sesungguhnya, Maria Violeta menolak tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan penolakan. Begini isi surat itu bila dituliskan:
Maria Violeta… bunga dunia baruku. Hari-hari yang kulalui adalah hari-hari yang selalu kurang. Tapi, engkau tahu? Namamu, bayangmu, dan segala tentangmu, membuat perasaanku bergejolak tanpa sepengetahuan William Soeparman dan Inggreini Violeta! Dan, ketika aku menulis surat ini, aku sedang berada pada titik terakhir; titik dimana aku harus memutuskan untuk menculik engkau dan dan membawamu ke Surabaya, kemudian kita menikah dan tinggal di rumah peninggalan mendiang orangtuaku.
Dan, aku memiliki niatan yang lahir ketika tahu bahwa engaku menyukai vas bunga, untuk mendirikan sebuah toko vas bunga. Kita akan hidup seperti vas bunga, menerima segala. Aku membayangkan jika engkau menanam bunga mawar atau melati, betapa semerbak. Dan, hari-hari kita akan menjadi hidup. Bulan depan, aku akan ke rumahmu, aku akan menculikmu…
Maria Violeta segera berhenti membaca surat itu ketika anak lelaki yang sejak tadi ikut mendengarkan Serenade Melancolique, Tchaikovsy, agak lancang masuk ke dalam toko tanpa permisi. Dia mengatakan kepada Maria Violeta bahwa Tchaikovsky telah selesai. Dan, apakah Maria Violeta akan kembali memutarnya?
Maria Violeta semringah dan tertawa, karena dia tidak tahu kalau anak lelaki itu juga menyukai Tchaikovsky. Dia pun bangkit dari kursi goyangnya dan kembali memutar piringan hitam itu dan anak lelaki itu mendengarkan dengan seksama.
“Maria Violeta?” Panggil pensiunan petugas di departemen keadilan dan hak yang sejak dua menit lalu berdiri di pintu toko dengan menjinjing bingkisan yang berisi sesuatu.
Maria Violeta menghampiri.
“Kau, Wiran. Apa yang membawamu ke sini? Apakah musiknya terlalu kencang?”
“Siapa yang tidak ingin datang ke sini, Maria Violeta. Kalau pun ada, dia pasti lelaki yang tidak mengerti tentang kemuliaan seorang perempuan. Oh, ya hampir saja kau membuatku lupa. Kedatanganku ke sini untuk memberi sesuatu. Aku kerap menyaksikan kau memberikan donat kepada anak-anak malang itu, kupikir hadiah ini adalah penghargaan untukmu.”
“Oh Wiran! Jangan terlalu sentimentil dan melankolis begitu. Kau tidak khawatir arwah Ivan berdiri di belakangmu?! Terima kasih atas hadiah ini. Aku senang. Tapi bukan karena kebaikanku. Anak-anak malang itu telah ditelantarkan Indonsia Jauh ini. Kupikir, kita-kita inilah orangtua kedua mereka. Jadi, itu wajar. Sekali lagi terima kasih. Mau minum teh?!”
“Bagaimana aku menolaknya, Maria Violeta?!”
Maria Violeta semringah dan mempersilakan Wiran masuk.
“Duduklah dengan tenang. Aku akan membuatkanmu dan anak lelaki itu teh. Tunggu.”
Wiran mengangguk sekaligus terkejut melihat anak lelaki itu. Kemudian berkata, “Mengapa kau ada di sini, anak?!”
“Mendengarkan Tchaikovsky,” jawab anak lelaki itu dingin.
“Tahu apa kau?”
“Tidak. Aku hanya mendengarkan.”
“Sudah selesai?”
“Kau tidak mendengar?”
“Kurang ajar. Anak-anak abad 21 ini memang tidak memiliki tata kesopanan!”
“Apakah harus sopan ketika mendengarkan musik, Tuan?”
“Bahasamu!”
“Diamlah, Tuan. Aku sedang berkhayal berada di sebuah panggung besar dan banyak penonton menunggu permainanku!”
“Ha-ha… kau pergilah! Aku ingin bicara empat mata dengan Maria Violeta.”
Wiran kemudian bangkit, berjalan, dan mematikan musik itu.
“Bagaimana? Apakah penonton bertepuk tangan?”
“Tuan ini! Para penonton pertunjukanku bukan orang seperti tuan!”
Anak itu pergi begitu saja.
Tak lama kemudian, Maria Violeta datang dan menyuguhkan teh untuk Wiran dan anak lelaki itu. Tapi kemudian dia teekejut. Anak lelaki itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia bertanya kepada Wiran, Wiran menjawab dengan menggelengkan kepala. Maria Violeta merasa ada yang tidak beres! Dia pun keluar dan menoleh ke kiri-kanan gang itu. Akan tetapi, anak itu sudah tidak ada. Dia kembali ke dalam dan bertanya kepada Wiran. Tetap saja, Wiran menggelengkan kepalanya yang bulat tidak sempurna itu.
Ketika Maria Violeta mendesak Wiran untuk menjawab pertanyaannya, alhasil Wiran menjawab bahwa anak lelaki itu telah pergi karena dirinya mematikan musik itu dan ingin bicara empat mata bersama Maria Violeta.
“Kau mengusirnya?!” Maria Violeta bertanya dengan nada agak nyaring.
“Tidak, Maria. Dia kurang ajar kepadaku.”
“Lantas kau mengusirnya dengan mematikan musik itu. Oh! Tuhan!”
Tanpa bicara lagi, Maria Violeta mengambil gelas teh kemudian menyiramkannya ke kemeja Wiran. Setelah itu, giliran bingkisan itu dia lemparkan ke luar. Wiran tidak bicara sekata pun. Dia tidak tahu bagaimana kasih sayang Maria Violeta begitu dalam kepada anak-anak malang itu.
Dia merasa bersalah dan mencoba meminta maaf kepasa Maria Violeta yang menatapnya dengan tatapan pijar. Keberanian di dirinya mulai luntur melihat itu. Tidak ada perkataan lain selain undur diri.
Ketika hendak meninggalkan toko vas bunga itu, Maria Violeta berkata, “Kau boleh saja dengan kekayaanmu memberiku hadiah karena anggapanmu atas ketulusanku, tetapi kau tidak bisa membeli atau melecehkan kehormatan anak-anak malang itu.
Karena kau tahu, karena kitalah mereka kehilangan dunia dan cita-cita mereka! Kau dan watakmu, sama saja dengan Indonesia Jauh ini. Pergi! Dan jangan sekali pun kau ulangi perbutanmu, apa lagi datang ke sini!”
Surabaya, 2021.