Derap langkah perempuan sepuh itu lama kutatapi dari kejauhan. Ditentengnya sebuah bungkusan kain yang seukuran bola sepak. Ia melangkah, menyeberang jalan, menuju tanah lapang dekat sungai yang berada tak jauh di depan rumahnya.

Di sanalah, tempat ia hendak menguburkan kucing kecil yang mati beberapa jam lalu. Kucing dengan bulu berwarna kuning dan putih yang telah kusam sebab bercampur dengan tanah dan debu. 

Bahkan wajahnya yang dulu selalu kupandangi karena begitu gemasnya, kini tak lagi bisa kutemukan. Aku hanya sanggup menatap tubuh kakunya dari seberang jalan, lewat balik jendela, ketika ibu tengah sibuk menggali tanah.

“Ooh, kenapa begitu malang? Lagi-lagi kucingku mati.” gumamku untuk kesekian kalinya. Kata-kata yang entah sudah berapa kali terujar selama 20 tahun kehidupanku.

Bagaikan kutukan, kucing kupelihara entah kenapa tak pernah bertahan lama -setidaknya sampai mereka beranak-pinak. Selalu saja kematian datang dengan bersegera. Aku bahkan tak tahu, sudah berapa banyak kucing yang datang melangkahkan kakinya ke rumahku. Atau yang kubawa datang ke rumahku. Lalu berakhir dengan tubuh tak bernyawa.

Alasannya beragam. Ada yang mati karena tertabrak, ada yang mati karena keracunan, ada yang mati karena sakit, ada yang pergi tak pulang, bahkan ada yang dibuang orang. 

Oh ya satu lagi, ada pula yang dicuri orang.

Dua hal terakhir yang kusebutkan barangkali terdengar tak wajar. Tapi, memang demikianlah kenyataan.

Orang bilang aku aneh, karena tak bisa hidup tanpa kucing. Tiap kali mereka mati, aku menangisinya dengan teramat sangat, seolah kehilangan kerabat. Kemudian mencari pengganti, kucing baru untuk kubawa ke rumahku. 

Berbagai cara kulakukan untuk mencari kucing baru itu. Entah kutelisik pasar dan mencari kucing buangan. Atau entah meminta anak kucing dari orang lain. Yang penting ada kucing di rumahku.

Adakah itu termasuk obsesi?

Ah, entahlah! Bahkan tetanggaku sampai bilang, antara kucing dan aku, layaknya kakak beradik. Sungguh perumpamaan yang cukup aneh. Namun, semakin hari, semakin aku bertumbuh dewasa, rasanya ucapan itu mungkin ada benarnya. Hidupku dan kehadiran kucing seolah tak terpisahkan.

Aku benar-benar ingin tahu, apakah ini sebuah kutukan?

Kini ketika telah dewasa, aku tak bisa lagi menangis sedu sedan layaknya anak kecil. Ketika kehilangan, walau menyesakkan hatiku, memberatkan napasku, tak setetes tangispun dapat kukeluarkan.

Kejadian ini membuatku terpikir, bagaimana jika kematian itu mendatangi manusia, yang dekat denganku? Keluargaku misalnya? Akan sesedih apa kiranya?

Hari-hari berlalu dan rumahku terasa sepi tanpa kehadiran seekor kucing di rumahku. Ayah dan ibu pergi bekerja. Hanya aku seorang diri, mahasiswa pengangguran yang tengah berdiam di rumah.

Anehnya, di beberapa waktu aku merasa seolah kehadiran kucing kecil itu masih ada di sekitarku. Adakah itu hantu? Arwah penasaran dari kucing itu yang meminta pertanggungjawabanku?

Aku memandang keluar jendela. Di halaman rumahku, di antara susunan batu-bata yang memagari rumahku, tempat biasanya kucing kecil itu bertengger. Ia selalu menunggu kepulanganku di sana. Setiap sore, ataupun siang hari.

Atau salah satu bangku tak jauh dari tempatku duduk adalah tempat ia terbenam dengan mimpinya, membersamaiku di waktu-waktu luang.

Ooh, apa ia hendak membalasku? Apa ia hendak melampiaskan kecewa padaku? Mengapa sosoknya masih tak hilang dari benakku?

Semakin lama kupikirkan tentang kematian kucing kecil itu, semakin nyata sosoknya yg telah tiada, mewujud nyata di pikiranku. Ke mana pun aku memandang, selalu kurasakan kehadirannya tengah menatapku dengan penuh menuntut.

Pasti, ia menuntut pertanggungjawabanku yang telah membiarkannya mati, terkapar di tanah bersama debu-debu.

Aku mengingat-ingat kembali saat-saat menjelang kematiannya. Saat-saat yang membuatku frustasi dan putus asa. 

Sekitar seminggu sebelum keadaannya kian sekarat. Aku sudah menduga-duga bahwa hidupnya barangkali tak lama lagi. Permulaannya adalah kondisi tubuh kucing kecil itu yang memburuk.

Tubuhnya yang lemah, nafsu makan yang rendah, dan mata yang terlihat mengerikan karena tak henti-henti mengeluarkan kotoran. 

Kondisi yang awalnya tak terlalu kupedulikan, karena ia masih mau makan walau sedikit. Bagiku itu sudah sebuah hal baik. Harap-harap kondisinya akan semakin membaik.

Namun, rupanya kondisi itu tak bertahan lama. Tubuhnya semakin melemah, ia mudah buang kotoran sembarangan, dan semakin tak nafsu makan pula.

Kondisi yang demikian itu membuatku mau tak mau mengurungnya di dapur. Jangan bayangkan dapur rumahku layaknya rumah berlantaikan keramik yang bersih dan rapi tanpa barang berserakan. Sama sekali bukan!

Rumahku, khususnya di dapur masih berlantaikan tanah, bahkan ibu masih menggunakan pawon -tungku untuk memasak dengan bahan bakar kayu. Kuletakkan ia tak jauh dari tungku tersebut, dengan harapan setidaknya ia akan lebih hangat. Dengan beralaskan kardus bekas.

Tubuhnya yang kian melemah itu, membuatnya tak mau makan barang sesuap. Bahkan kubelikan ikan kesukaannya pun tak menggugah tubuhnya untuk bangkit dengan girang seperti biasanya. Tak ada sambutan langkahnya yang dengan semangat mengikutiku. Tak ada suara antusiasnya.

Tak ada…

Hanya tubuhnya yang diam membujur tak berdaya dan napas yang tersengal-sengal seolah enggan dihirup olehnya. Tak ada yang bisa kulakukan, juga tak tahu harus apa. Aku hanya terdiam di sampingnya. Menatapnya yang nampak kehilangan minat hidup.

“Kondisinya tengah sekarat,” demikian pikirku, “mungkin sesegera mungkin mati adalah yang terbaik untuknya. Setidaknya penderitaan itu segera pergi.”

Pemikiran semacam itu seolah terus menerus beredar di kepalaku. Adakah ia sadar akan arti tatapanku yang terduduk di hadapannya sambil mendoakan kematiannya?

Tak sanggup lama-lama aku memandangnya. Sungguh tak mampu aku menyaksikan penderitaannya. Aku memilih pergi meninggalkannya. Duduk diam di ruang tamu sambil terus berharap kematian segera datang menghampirinya.

Tak banyak yang kulakukan. Mendengarkan lagu, membaca buku, atau sekadar menenggelamkan diri di media sosial. Membunuh waktu dan mengalihkan pikiran kalutku. Keputusasaan menyaksikan kucing kecil itu tengah menderita dan keputusasaan karena tak tahu harus berbuat apa.

Nyatanya, semua kesibukan yang sengaja kucari-cari itu cukup ampuh mengalihkan pikiranku. Setidaknya sampai suara ibu terdengar olehku.

“Si Kucing kecil baru saja mati.”

Hanya sebaris kalimat. Namun, hatiku selalu merasakan hal yang sama walau telah berulang kali mendengarnya. Menyesal. 

Bedanya, kini aku tak lagi bisa menangis, setidaknya sekadar untuk bisa melepas kepergiannya. Hanya keheningan ruang tamu, satu-satunya perantara yang menyampaikan permohonan maafku untuknya. 

“Maafkan aku telah mendoakan kematianmu.”

 

Kudus, 6 Februari 2023

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here