Belum lama, tepatnya tanggal 14 Februari 2023 kemarin, Intrans Publishing mengadakan perbincangan dengan pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo, Ramad Yasin, lewat salah satu programnya, dialogIN. Perbincangan sendiri terlaksana melalui live Instagram. Situs Patirtaan Ngawonggo adalah situs bersejarah yang dikelola langsung oleh penduduk Ngawonggo.

Menjadi aset dan cagar budaya, Situs Patirtaan Ngawonggo kini tak jarang masuk dalam kategori destinasi yang tak boleh dilewati untuk dikunjungi. Entah usaha mengedukasi diri akan sejarah, atau menulusuri situs purbakala yang telah lama tak ditengok. Nyaris pelancong se-nusantara yang telah tercatat mengunjungi situs tersebut. Bahkan ada yang sampai mancanegara. Lebih banyak lagi dari kalangan pelajar dan mahasiswa.

Situs Ngawonggo, sebutan akrabnya, yang terletak tepat di daerah Ngawonggo, Kec. Tajinan, Kab. Malang, Jawa Timur ini telah eksis sejak lama di sekitaran lingkungan penduduknya. Namun situs ini mulai benar-benar dirawat dan digalakkan pada pertengahan tahun 2017 yang lalu oleh sekelompok masyarakat kampung sana.

Rahmad Yasin, selaku tangan utama dan pengelola Situs Patirtaan Ngawonggo mengungkapkan bahwa, “situs ini salah satu tempat main kita waktu kecil. Warga telah tahu dari dulu. Kita tahu ada situs ini sejak lama.” Jadi, tak ada yang ditemukan atau menemukan. Mereka seakan tumbuh bersama-sama.

Dari penuturannya, Situs Ngawonggo dipercaya sudah ada sejak zaman sebelum adanya Kerajaan Majapahit. Diperkirakan pada zaman Mataram Kuno, Situs Ngawonggo sudah eksis dan berdiri sebagai tempat suci yang diresmikan oleh penguasa masa itu.

“Situs ini, menurut Dwi Cahyono seorang sejarawan, dimungkinkan sudah ada sewaktu era kerajaan Mataram Kuno berdiri. Ini berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, salah satunya prasasti Urandungan, yang berisikan terkait peresmian 5 tempat suci atau yang disebut panca kahyangan yang dikeluarkan oleh raja waktu itu, yakni Mpu Sindok. Dan situs ini salah satunya,” tegas Rahmad Yasin.

Konon, Situs Pertitaan Ngawonggo ini merupakan tempat yang harus dikunjungi terlebih dahulu sebelum melakukan ritual keagamaan pada masa Medang Kamulan dahulu. Pertitaan ini juga merupakan ‘Mandala Padewaguran’, yakni sarana belajar kesaktian. Tak hanya itu, perempuan-perempuan yang sedang berhalangan atau haid juga dilarang menginjakkan kaki di Pertitaan Ngawonggo, sebab kesucian dan kesakralan tempat ini.

Pada Situs Ngawonggo pun ada sistem dan aturan yang unik untuk melakukan jelajah di dalamnya. Para pengunjung diminta untuk mengikuti aturan yang ada, mulai dari larangan membawa makanan yang berasal dari hewani, sampai melepaskan alas kaki. Masing-masingnya tentu terkait dengan kesakralan situs dan terjaganya situs itu sendiri.

“Karena ini telah jadi cagar budaya maka ada aturan yang mengekor padanya. Pun kenapa telanjang kaki? Sebab struktur dari Situs Ngawonggo demikian tua. Ia terbuat dari batu caras yang mudah lapuk. Bila beradu dengan gesekan yang agak keras, takutnya akan terkikis.” Ucap Rahmad Yasin.

Selain itu, beberapa proses tradisional juga dilestarikan pada Situs Ngawonggo, salah satunya tradisi Ngangsutoyo. Tradisi ini adalah tata cara pengambilan air lewat sepotong bambu, yang kurang lebih berukuran 3 meter. “Tradisi ini adalah tradisi yang dulu dipakai, tapi saat ini telah dilupakan. Makanya adanya pelestarian pada Ngangsutoyo juga adalah mengembalikan lagi tradisi yang dilupakan tersebut.”

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here