Suara Perlawanan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Sumber foto: Harian Jogja)
Suara Perlawanan Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer (Sumber foto: Harian Jogja)

Pemenjaraan hak individu tanpa melihat aspek kemanusiaan telah membudaya sejak dahulu. Ruang-ruang suara yang terbatas berubah menjadi arena pertarungan kepentingan yang kerap kali meminggirkan kesadaran terhadap kesetaraan bagi perempuan. Kesadaran tentang hak-hak perempuan atau feminisme muncul sekitar awal abad ke-18 yang terbagi dalam tiga gelombang yaitu: pertama, melawan padangan patriarkis; kedua, feminisme dipandang dalam aspek yang lebih luas seperti gencarnya didirikan organisasi perempuan; dan ketiga, di mana perempuan masih merasakan adanya diskriminasi meskipun telah mendapatkan emansipasi dalam ranah hukum dan politik (Era.id, 2022).

Sejak gelombang pertama, feminisme telah sampai di Nusantara atau Indonesia yaitu era kolonialisme. Isu perempuan era kolonialisme menunjukkan problema terpinggirnya kaum perempuan di Indonesia pada masa pembangunan, atau bahkan pelecehan perempuan Indonesia dalam perspektif sosio-kultural (Ruslan, 2010). Perlakuan tersebut tidak hanya mencederai eksistensi kemanusiaan terutama perempuan jajahan, tetapi seluruh umat manusia sebagai subjek. Subjek eksploitasi ganda sebagai warga jajahan dan sebagai perempuan dalam masyarakat yang didominasi nilai-nilai patriarkis, memenjarakan hak individu di era kolonialisme yang mengakar dalam budaya lokal, dan meninggalkan dampak negatif dalam aspek seksual di mana perempuan menjadi objek penindasan (Taqwiem, 2018).  

Analisis karya sastra ini akan mengkaji salah satu tokoh dalam Novel Bumi Manusia yang merupakan tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer tahun 1975 yang berfokus pada tokoh Nyai Ontosoroh. Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia menjadi

- Poster Iklan -
- Cetak Buku dan PDF-
Previous articleModel Pendidikan Inklusi: Solusi Pendidikan untuk ABK
Next articleSebelum Terlambat, Santap Realita Percintaan dan Kehidupan Orang Dewasa
Nadia Varayandita Ingrida
Nadia Varayandita Ingrida atau akrab dipanggil Nadia Vara adalah perempuan kelahiran Klaten. Nadia Vara menyelesaikan pendidikan Magister Ketahanan Nasional dengan fokus pada Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universitas Gadjah Mada. Perjalanan akademisnya ditandai dengan upaya penelitian yang inovatif, berfokus pada bidang keamanan manusia dalam lanskap digital – penelitiannya mengenai isu penting mengenai kelompok marginal yaitu disabilitas dan gender dalam keamanan manusia di era digital, sebagai peneliti pertama yang menjembatani eksplorasi mendalam 7 Keamanan Manusia yang diusung oleh United Nations Development Programme. Penelitiannya memfokuskan pada tiga inti Keamanan Manusia yaitu Freedom from Fear, Freedom from Want, dan Freedom to Life in Dignity. Di luar ranah tersebut, Nadia Vara juga menemukan ketertarikan dalam mengkritisi seni dan kesusastraan. Di mana dia aktif berpartisipasi dalam pameran dan kepenulisan di dalamnya. Upaya ini tidak hanya membantunya mengasah keterampilan yang berharga, tetapi juga memungkinkannya untuk memupuk bakat, dengan tujuan akhir memberikan dampak positif bagi sesama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here