Sabtu sore (16/4), diselenggarakan sebuah acara bedah buku “Intalk; Tafsir Progresif atas Kisah-Kisah Kitab Tuhan” oleh Intrans Publishing dengan beberapa media partner lain. Pukul 15.06 WIB, peserta mulai memasuki meeting room. Beberapa menit kemudian setelah sekitar 17 peserta masuk, acara bedah buku pun dimulai. Acara dibuka oleh moderator dan dilanjutkan dengan prakata yang disampaikan oleh Wawan S. Fauzi selaku manager operasional PT. Cita Intrans Selaras.
Menurut Wawan, buku al-Fatihah Bangkitlah Gerakan Islam adalah buku yang dapat memberikan makna kebaikan dari sisi humanitas tersendiri atas nilai-nilai yang terkandung dalam surah al-Fatihah. “Mas Eko memberikan hasanah tersendiri terhadap tafsir al-Fatihah untuk menjadi pendorong umat lebih terbuka untuk melihat sisi kemanusiaan.” Mewakili penerbit, Wawan juga menyampaikan selamat dan harapan atas terbitnya buku Eko Prasetyo tersebut.
Acara dilanjutkan dengan penjelasan mengenai buku al-Fatihah yang disampaikan langsung oleh penulisnya. Eko Prasetyo menyampaikan alasan mengapa setiap menulis buku, ia selalu mengaitkan konteks gerakan dengan tema-tema keislaman. Menurutnya, terdapat alasan yang membuatnya memiliki pemikiran seperti itu.

Pertama, bagaimana umat Islam akhirnya dapat menghukum sebuah rezim orde baru dengan segala struktur pembentukannya yang panjang, dan di situlah umat Islam yang menjadi korban. Mirisnya, kondisi ini telah lama dilupakan.
Kedua, bagaimana umat Islam dapat memiliki peran dalam tatanan politik pemerintahan. Menurut Eko, selama ini umat Islam selalu kalah dalam hal aspirasi dan konsepsi dunia politik oligarkis saat ini.
Ketiga, bagaimana cara agar pertumbuhan di bidang ekonomi dapat memberi kesejahteraan dan dapat melawan kekuasaan politik poligaris yang sedemikian rupa. “Saya khawatir, dengan pemahaman agama yang sangat doktriner dan terisolasi akan membuat umat kehilangan kekuatannya.”
Lebih lanjut, Eko Prasetyo menambahkan bahwa sebenarnya al-Fatihah memberikan empat jawaban atas situasi sulit yang dialami manusia. Dua diantaranya, yaitu yang pertama, manusia telah kehilangan rasa takjub dan kesakralannya. Maka, al-Fatihah dapat memberi jawaban terkait situasi semacam itu.
Kedua, zaman sekarang, kehadiran Allah itu seolah-olah hilang. Allah hanya bermukim di masjid atau hanya bermukim saat Ramadhan saja. Padahal, sebenarnya Allah selalu meliputi kehidupan kita sehari-hari, dan al-Fatihah dapat menghadirkan Allah dalam benak manusia.
Acara selanjutnya dibawakan oleh Prof. Abad Badruzaman. Prof. Abad membagikan ulasan yang diawali dengan penyampaian apresiasi dan dilanjutkan dengan beberapa kritik terkait buku al-Fatihah Bangkitlah Gerakan Islam. Menurutnya, terdapat sinkronisasi antara bahasa lisan dan tulis yang digunakan oleh Eko Prasetyo, yakni menghentak, membangkitkan semangat, dan mampu menunjuk kecacatan umat Islam yang masih diselimuti keterbelakangan, seperti buta huruf dan adanya krisis kepercayaan diri dalam memandang kecanggihan Barat.
Prof. Abad juga mengapresiasi atas kemampuan Eko Prasetyo dalam menjelaskan kepada manusia, bahwa al-Fatihah dapat mengajarkan hakikat hidup yang sebenarnya itu tumbuh dalam bimbingan Tuhan yang terilhami dari ayat ٱهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلْمُسْتَقِيمَ.
“Tidak berlebihan jika menyebut Mas Eko Prasetyo sebagai sosok Ali Asghar Engineer atau Farid Esacknya Indonesia.” Kalimat Prof Abad sebagai akhir dari penyampaian apresiasi yang dilanjutkan dengan penyampaian kritik atas buku al-Fatihah Bangkitlah Gerakan Islam.
Prof. Abad mengatakan bahwa buku Eko Prasetyo hampir seluruhnya terperangkap dalam penafsiran ala Quraish Shihab dan sisi progresifitasnya tidak menjadi warna dominan dalam buku. Ia juga menyinggung bahwa buku ini lebih cenderung pada gerakan Islam dan berbeda dengan apa yang dipikirkan sebelum membaca buku ini.
“Padahal, dugaan saya sejak awal sejak bab pertama sampai bab lima itu al-Fatihah yang menjadi ruh dari buku ini. Artinya, kalau buku ini terdiri dari lima bab, maka pada kelima bab itu pula al-Fatihah seharusnya menjadi alasan yang menjadi ruh pada setiap bab, atau setidaknya buku ini terdiri dari tujuh bab sebanyak ayat al-Fatihah yang kemudian ditafsirkan dan dikaitkan dengan pergerakan Islam.” Pungkas Prof. Abad yang dilanjutkan dengan sesi diskusi.
Muammar Nur Islami (Ammar) mengawali sesi diskusi sore itu. “Membaca buku-buku Pak Eko Prasetyo beberapa tahun terakhir selalu membahas Islam dan pergerakan sosial, bukan murni buku yang membahas pergerakan sosial. Apa yang membuat Pak Eko menulis tema tersebut di beberapa buku terakhir?”
Pertanyaan Ammar tersebut di atas dijawab oleh Eko Prasetyo, bahwa penulisan buku-buku dengan tema tersebut dikarenakan keterbatasan kemampuannya dan adanya ketakutan dalam membedah Quran dengan cara yang lebih radikal. Eko juga menegaskan saat ini, Quran tidak lagi dipandang sebagai subjek untuk melakukan perubahan, melainkan benda mati. Hal ini menjadi suatu kecemasan yang dirasakan Eko Prasetyo yang menjadi latar belakang mengapa ia selalu menulis buku bertema Islam dengan pergerakan.
Ammar juga memberikan pertanyaan kepada Prof. Abad. “Apakah ada kitab tafsir kontemporer yang juga menggunakan ilmu tafsir untuk membaca fenomena sosial kontemporer?”
“Kalau karya tafsir utuh dari surat al-Fatihah hingga an-Nas, tidak ada yang secara khusus memotret atau berangkat dari fenomena sosial. Kalaupun ada, maka itu sudah berupa serpihan pemikiran yang melibatkan kinerja tafsir. Misalnya buku-buku Prof. Quraish seperti Wawasan Islam dan Membumikan al-Quran,” terang Prof. Abad.
Pertanyaan penutup disampaikan oleh Wahono, “al-Alaq, al-Ashar, dan sekarang al-Fatihah apakah bisa dibilang pertobatan? Setelah sebelumnya lebih provokatif. Harapan besar apa dari Mas Eko terkait gerakan kemajuan Islam?”
“Saya gak punya harapan banyak pada organisasi Islam. Harapan saya hanya kepada pembaca saya. Saya ingin sholat itu dimaknai sebagai injeksi keberanian umat Islam, dan kemudian lahirlah Ali bin Abi Thalib dari pembaca buku saya. Saya berharap pendidikan agama dapat menjadi lebih struktural dan dapat menegaskan visi Islam itu sendiri.” Jelas Eko yang disambung dengan penyampaian closing statement, dilanjutkan oleh Prof. Abad, dan Miri Pariyas, selaku moderator acara Intalk sore itu.