Puisi adalah bentuk kesusastraan yang paling luhur, setidaknya dalam kacamata penyair itu sendiri, pun kita yang bersepakat. Karena ia luhur, banyak penyair-penyair besar di Indonesia bermunculan, menggalurkan tubuhnya pada keluhuran. Namun, hanya beberapa saja yang meninggalkan kesan mendalam bagi para pembacanya.
Sebut saja Chairil Anwar. Semua makhluk di Indonesia mengenal Chairil, sebagai bapak perpuisian Indonesia. Namanya acap kali muncul di berbagai buku, dari yang digunakan anak-anak SD sampai bangku perkuliahan. Tapi di Indonesia, tak cuman Chairil yang memiliki nama besar, dan karya yang gemilang, ada juga beberapa penyair yang demikian; yang selalu dikenal masyarakat, selalu dibaca karya-karyanya.
Siapa saja mereka? Berikut Semilir hadirkan penyair-penyair terbesar Indonesia.
Chairil Anwar
Menguasai banyak bahasa, seperti di antaranya bahasa Inggris, Belanda, sampai Jerman, jelas sangat memudahkan Chairil Anwar menyentuh literatur-literatur asing yang belum terditek oleh dominan kesusastraan Indonesia. Keuntungan itu, barangkali, yang membuatnya hebat megolah tutur dalam puisi. Ada warna yang berlainan dari warna-warna kepenyairan masa itu. Dari situ, kemungkinan besar lahirnya Angkatan 45 yang dipelopori Chairil Anwar. Sebuah pembaharuan, sebuah modernisme puisi.
Chairil Anwar lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 22 Juli tahun 1922. Chairil Anwar tak menamatkan sekolahnya, kendati telah tahu apa yang akan dilakukan pada masa mendatang. Sejak umur 15 tahun, Chairil telah mantap ingin terjun ke dunia seni, khususnya puisi. Setelah ibu dan ayahnya bercerai, ia boyong ke Batavia (Jakarta). Di kota itu ia banyak menjalin pertemanan dengan orang-orang kaya, juga seniman, juga penyair sebayanya. ‘Nisan’ merupakan puisi pertamanya yang mebawa namanya kian kuat diakui.
Sepanjang hidupnya yang sangat singkat, Chairil telah menulis kurang lebih 96 karya. Puisinya yang berjudul ‘Aku’ merupakan puisi yang paling terkenal sampai saat ini di Indonesia. Puisi tersebut ditulis pada tahun 1943, dan sangat bercorak individualistik—bersebarangan dengan tema-tema penyair sezamannya. 6 tahun kemudian, setelah rampungnya puisi tersebut, Chairil Anwar menjemput kematiannya di usia yang sangat muda, 26 tahun. Meskipun hidupnya singkat, namun Chairil Anwar adalah penyair yang paling besar dalam sejarah kepenyairan di Indonesia. Namanya terus mendengung di mana-mana—semua orang mengenal namanya.
Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad menjadi kutu buku ketika masih kanak-kanak, ketika keluarganya berlangganan koran mingguan. Di sana, ia temukan sajak, sekaligus kehidupan yang gemilang. Goenawan Mohamad mulai serius membikin puisi ketika berumur 17 tahun. Tahun 1960 ia merantau ke Jakarta, dan sedikit-sedikit menerjemahkan puisi Emily Dickinson yang kemudian dimuat di Harian Abadi.
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Timur, pada 29 Juli 1941. Pada tahun 1970-an ia mendirikan Majalah Tempo, yang sampai sekarang masih eksis. Sebelum Tempo didirikan, ia pernah menjabat sebagai redaktur Majalah Horison, Majalah Ekspres, Harian KAMI, dan Majalah Swasembada.
GM, begitulah panggilan singkatnya, dikenal sebagai penyair yang sangat tulus dalam menciptakan karya puisi. Puisi-puisinya ritmis, indah, meski tak pernah ‘selesai’. Tapi ia tak cuman dikenal sebagai penyair, GM juga dikenal sebagai wartawan, esais, kritikus sastra, dan apapun yang berkaitan dengan dunia literatur. Catatan Pinggir adalah karya esai singkatnya yang sejak 1977 masih terus ditulis, sampai detik ini—sampai tulisan ini menemui ujungnya.
Nyaris keseluruhan karya puisisnya dikenal orang-orang sastra, dan menjadi satu bacaan wajib. Buku-buku tersebut antara lain Parikesit, Fragmen, Don Quixote, Gandari, dan masih banyak lagi.
W.S. Rendra
Namanya jelas sudah tidak asing. Di Indonesia, hampir setara Chairil, semua orang mengenal Rendra, “Si Burung Merak” itu. W.S. Rendra menjadi terkenal ketika pada usia mudanya ia terampil menulis puisi, drama, dan gelegar membaca sajak. Untuk pertama kalinya pada tahun 1952, sajaknya dimuat di salah satu majalah. Dan ketika itu, namanya secara terus-menerus menghiasi majalah-majalah. Ia juga kerap tampil sebagai pembaca puisi yang begitu mempesona.
Willibrordus Surendra Broto, atau yang akrab disebut W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, pegiat teater. Ia lahir di Solo pada 7 November 1935. Sedari kecil, Rendra telah bersentuhan dengan dunia seni. Ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta, sementara ayahnya adalah dramawan tradisional. Ballada Orang-Orang Tercinta yang terbit tahun 1957 tercatat sebagai karya puisinya yang pertama.
Rendra disebut oleh A. Teeuw, sebagai penyair yang memiliki corongnya sendiri, dengan tidak terpaku pada Angkatan 60, 70, dan apapun itu. Karya-karya Rendra juga tidak hanya terkenal di dalam negeri, namun juga kancah internasional. Beberapa karya-karyanya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, di antaranya Jepang, Jerman, Belanda, India, dan Inggris.
W.S. Rendra mendirikan Bengkel Teater di Jogja pada tahun 1967. Bengkel Teater berfokus pada kerja-kerja seni—kolektif itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya banyak seniman dan penyair, seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, dan masih banyak lagi.
Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri lahir di Indragiri Hulu, Riau, pada tanggal 24 Juni 1941. Ia merupakan salah satu penyair besar dan pelopor Angkatan 70 di Indonesia. Ia memulai proses kreatifnya pada usia 25 tahun—ketika masih belajar di Universitas Padjadjaran Bandung. Ia mengirimkan sajak beserta esai ke bermacam-macam media yang ada di Bandung dan Jakarta.
Puisinya yang berjudul ‘O’, dimuat pertama kali di Majalah Sastra Horison. Sutardji juga mengganjar penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta lewat karya puisinya yang berjudul ‘Amuk’. Pada 30 Maret tahun 1973, Sutardji mengumumkan sebuah ‘Kredo Puisi’. Di dalamnya berisikan pemikiran-pemikirannya mengenai bahasa dalam puisi. Ia berpendapat bahwa kata dan bahasa adalah individu yang dapat berdiri sendiri. Maka tak heran, banyak kata-kata dalam puisinya yang unik, ia bisa sungsang, terbalik, bahkan terpotong.
Maka dari itulah Sutardji dikenal dengan keunikan puisinya, dan didapuk sebagai pelopor Angkatan 70 dalam perpuisian Indonesia. Puisi-puisinya kemudian mempengaruhi beberapa penyair lainnya yang seangkatan.
Sitor Situmorang
Semula, Sitor Situmorang berjiwa nasionalis. Hidupnya pada masa-masa itu sonder kepuitisan. Ia lebih suka berkutat dengan buku-buku Belanda yang mengancam identitasnya. Sebab, pikirnya, itu adalah injeksi dalam memuncak-marahkan rasa kecintaannya terhadap negara. Namun siapa sangka. Bermula di umurnya yang telah menginjak dewasa itu, yang membaca buku-buku berbahasa Belanda itu—Sitor Situmorang tiba-tiba tertarik sastra.
Sitor Situmorang lahir di Sumatera Utara pada tanggal 2 Oktober 1923. Ia adalah penyair terkemuka yang digolongkan ke dalam Angkatan 45. Puisi-puisinya sarat akan simbolisme dan eksistensialisme, yang diapatinya dari ketekunan memahami gerak-gerik filosofi Prancis.
Pertemuannya dengan puisi terjadi ketika ia bekerja sebagai jurnalis di Suara Nasional dan Waspada—yang membawa tugasnya di Yogyakarta. Di sana, ia menulis puisi pertamanya yang berjudul ‘Kaliurang’ pada tahun 1948, dengan pendekatan gaya Pujangga Baru. Puisi Sitor yang paling terkenal adalah ‘Surat Kertas Hijau’ yang ditulis pada tahun 1953. Sitor meninggal dunia di Belanda, pada usia senjanya, 91 tahun.