“Punya beragam wajah agaknya dimaknai jelek di tengah masyarakat karena identik dengan kemunafikan. Namun, bagaimana jika rupa yang banyak itu adalah gabungan aneka kearifan? Alih-alih memandang buruk justru perlu kita gandrungi; laiknya yang tampak pada diri Romo Mangun.”
Ialah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya−familier dipanggil Romo Mangun−majikan dari beragam wajah kebaikan yang tercermin dari pilihan, aktivitas, dan keahliannya: ia seorang pastor Khatolik, arsitek, pendidik, sastrawan, dan pemikir-pejuang kemanusiaan. Begitulah masyarakat mengenal Romo Mangun dari tindakan dan gagasannya semasa hidup yang tercatat dalam buku pun ingatan.
Romo Mangun lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa, Jawa Tengah. Nama kecilnya adalah Bilyarta, adapun Yusuf disematkan kala ia dibaptis, dan nama Mangunwijaya diambil dari nama kakeknya. Kemudian dirangkai: Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Y.B. Mangunwijaya. Pula ada yang menyebutnya Wastuwijaya; barangkali terinspirasi dari salah satu karyanya, Wastu Citra, yang fenomenal itu. Entahlah. Apapun sebutannya, terpenting adalah warisan teladannya, bukan?
Sebelum menilik karyanya, kiranya kita perlu menengok dulu sekilas riwayat pendidikan Y.B. Mangunwijaya yang barang pasti turut membentuk sosoknya. Romo Mangun mempunyai jejak pendidikan (khususnya formal) yang terbilang panjang: Pada 1943, ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) di Magelang. Kemudian dilanjutkan pada sekolah Teknik (setingkat SMP) Yogyakarta, dan bersambung menuntaskan sekolah lanjutan atas (SLA) di Malang pada 1951. Setelah tamat SLA (setingkat SMA), menempuh pendidikan Seminari Menengah−sekolah setingkat SMA untuk laki-laki yang hendak menjadi imam Khatolik−yang berlokasi di dua tempat, yaitu Jalan Code Yogyakarta (1952) dan Seminari Menengah Mertoyudan Magelang (1953).
Lalu, pendidikan tinggi dijalaninya pada studi Filsafat dan Teologi di Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta dan tuntas pada 1959. Barulah kemudian Y.B. Mangunwijaya ditahbiskan menjadi pastor pada 8 September 1959. Rupanya setelah ditahbiskan, Romo Mangun kembali melanjutkan studi−yang sebenarnya cukup bersebrangan dengan dunia pastor (umumnya)−pada jurusan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Setamat dari ITB pada 1960, lagi, Romo Mangun bertolak melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Westfalen, Aachen, Jerman yang dirampungkannya pada 1966.
Humanis-Religius
Sekembali ke tanah air, Romo Mangun bertugas sebagai pastor di paroki Salam, Magelang. Dari banyak kesaksian dalam buku menyebut Romo Mangun begitu menaruh perhatian pada kaum miskin. Satu di antaranya disajikan dalam buku Humanisme Y.B. Mangunwijaya: “seluruh hidup dan karya Romo Mangun ditujukan untuk terwujudnya humanisme.” Sikap humanis itu misalnya tampak saat Romo Mangun berjuang bersama masyarakat Kampung Code di Yogyakarta (1984) dan Kedungombo (1989−1993) yang hendak digusur pemerintah atas nama penertiban dan proyek.
Memang fakta bahwa permukiman itu miskin dan kumuh; benar jua masyarakat terbiasa membuang sampah ke sungai karena rendahnya kesadaran, kendati begitu, rasanya tidak tepat menggusur rumah masyarakat yang sudah lama dijadikan tempat berteduh oleh warga; patut dipertanyakan di mana tanggung jawab pemerintah. Bukankah amanah yang diberi kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan rakyat yang berdasar kemanusiaan yang adil dan beradab, dan bukan justru sebaliknya? Pasti ada jalan lain yang lebih menusiawi.
Oleh sebab itu, alih-alih membenarkan alasan pemerintah untuk menggusur, Romo Mangun justru berdiri paling depan membela rakyat. Hasilnya, sejarah mencatat, Romo Mangun tidak hanya berhasil mempertahankan permukiman warga, tetapi juga menumbuhkan kesadaran politik dan ekonomi masyarakat yang didampinginya.
Bagi Wastuwijaya, kesadaran rakyat teramat penting dihidupkan. Sebab dengan kesadaranlah masyarakat dapat menjadi manusia yang humanis untuk dirinya sendiri lagi bagi sesama. Namun demikian, membangun kesadaran humanis bukan perkara mudah karena mengakarnya budaya feodalisme, baik feodalisme khas tanah air maupun warisan politik kolonial. Di satu sisi bukan berarti tidak mungkin pula, hanya saja membutuhkan keteguhan dalam waktu lama.
Salah satu caranya adalah melalui jalan pendidikan. Konsep manusia humanis yang digagas Romo Mangun dibagi menjadi dua pasca: pertama, Pasca-Indonesia, yaitu sikap terbuka terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal di samping tetap berpegang pada nilai luhur; dan kedua, Pasca-Einstein, yaitu bersikap menurut dinamika relativitas (tidak main mutlak-mutlakan). Sifat relatif berarti hidup dipandang multidimensional, penuh kemungkinan. Jika satu jalan buntu, jalan lain bisa dibuka. Konsep Pasca-Einstein ditandai cara pandang nggiwar (lateral), yaitu kemampuan berpikir tentang sesuatu dalam kaitannya dengan keseluruhan.
Burung-Burung Manyar
Dalam hal karya tulis, apapun jenisnya, karya Romo Mangun selalu mencerminkan keberpihakannya pada yang lemah. Kita dapat menemui sendiri dalam beberapa buku, antara lain Burung-Burung Manyar, Pohon-Pohon Sesawi, Rumah Bambu, Gereja Diaspora, Sekolah Merdeka: Pendidikan Pemerdekaan, dan lainnya.
Kita tilik satu buku, Burung-Burung Manyar, yang terbit pada 1981. Buku ini merupakan novel tentang revolusi Indonesia. Cerita dalam novel ini disuguhkan dalam tiga bagian berdasarkan tahun terjadinya peristiwa yang dialami tokoh utama pria bernama Totok: bagian I 1934−1944, bagian II 1945−1950, dan bagian III 1968−1978.
Karena latar tempat dan waktu peristiwa yang begitu kental akan kenyataan, novel ini disebut pula roman sejarah. Misalnya, penggunaan latar waktu saat penjajahan Belanda, Jepang, dan Sekutu, sedangkan latar tempatnya antara lain di Batavia, Yogyakarta, Hindia-Belanda, Den Haag, dan Akademi Breda Holland. Begitu halnya dengan beberapa tokoh kemerdekaan turut disebut seperti Soekarno, Hatta, Hj. Agus Salim, dan Sjahrir. Oleh sebab itu, dapat dikatan kalau novel ini erat dikaitkan dengan peristiwa sejarah yang konkret dan faktual.
Novel ini memunculkan persoalan nasionalisme dalam arti luas−yang teramat penting pada masa pra dan pascakemerdekaan−melalui berbagai cerita dengan istilah unik, contohnya “anak kolong,” “buah gugur,” “merpati lepas,” “sarang manyar baru,” dan sebagainya. Simbolisasi itu dimaksudkan untuk membangun “sarang baru” ihwal nilai-nilai keindonesiaan di awal kemerdekaan. Sari novel ini mendedah pola perilaku dan pola pikir manusia secara unik yang didasarkan pengetahuan dan pengalaman seseorang.
H.B. Jassin mengatakan bahwa novel tersebut bernada humorsistis dan kadang-kadang tajam mengiris. Sedangkan Marianne Katoppo berpendapat kalau buku itu selain punya gaya bercerita yang khas juga bahasa yang dipakai mampu membawa pembaca ke alam pikiran sang tokoh. Lebih lanjut, bagi Subagio Sastrowardoyo, novel Burung-Burung Manyar adalah karya besar yang menghimbau angan-angan pembaca untuk bergerak leluasa dalam ruang jagatnya guna menemukan makna bagi kehidupan pembaca sendiri.
Wastu Citra
Nilai humanis sang Romo juga tampak dari karya arsitekturnya yang lebih menekankan konsep “wastu” dan “citra” dalam setiap sentuhannya. Pemikiran itu dapat ditemui dalam buku Wastu Citra yang ditulis Rama.
“Wastu” atau “Vastu” adalah pemahaman tentang hubungan manusia dan alam semesta. Sementara kata “Citra” berarti pancaran kemanusiaan yang luhur. Kata wastu sebenarnya kata lain dari arsitektur dalam bahasa Sansekerta, namun Romo Mangun lebih memilih kata wastu karena baginya lebih esensial menggambarkan makna suatu bangunan; diperuntukkan bagi pemanusiawian manusia, sedangkan kata arsitektur dinilai sempit soal fisik semata.
Karya wastu citra Romo Mangun adalah ekspresi kejujuran dan kreativitas dari jiwa dengan semangat keberpihakan kepada kelompok lemah dan terpinggirkan. Begitu ungkapan Erwinton P. Napitupulu yang tengah mendokumentasikan karya-karya Mangunwijaya dalam suatu forum diskusi.
Karya arsitekturnya menekankan kesederhanaan dalam penggunaan bahan bangunan yang sedapat mungkin dari daerah setempat, begitu pula pekerjanya sehingga kontekstual−berpadu antara bangunan dengan alam dan manusianya.
Romo Mangun tak luput menekankan makna pada setiap bagunan yang dibuatnya, seperti halnya mendesain gereja yang menonjolkan keterbukaan sehingga setiap orang dapat masuk dan menjadi milik bersama. Tujuannya tiada lain untuk menghidupkan kesejatian manusia.