“Keadilan itu bukan pemberian dari negara atau seorang pemimpin, tetapi hak setiap orang yang harus diperjuangkan setiap hari” (Rekonstruksi penulis atas makna ‘Kebebasan’ dari Albert Camus, 2013)
Aksi Kamisan: Menagih Keadilan kepada Negara
Aksi Kamisan mulanya muncul pada 18 Januari 2007, cikal-bakalnya sejak tahun 1999 ketika para keluarga korban tragedi pelanggaran HAM berat membentuk perkumpulan yang bernama Paguyuban Korban/Keluarga Korban Tragedi Berdarah 13-15 Mei 1998.
Aksi Kamisan diinisiasi oleh Maria Katariana Sumarsih, ibu dari Wawan, seorang mahasiswa yang hilang pada tragedi pelanggaran HAM berat di peristiwa Semanggi I, yang menuntut keadilan dan supremasi hukum pelanggaran HAM berat kepada negara.
Secara jelas, Aksi Kamisan ini merupakan social movement yang menentang otoritas, yakni negara yang dianggap abai terhadap keadilan dan penegakan hukum supremasi hukum pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sebagai social movement, Aksi Kamisan memiliki beberapa karakteristik yang sesuai penjelasan Oktaviani serta Snow, Soule, dan Kresi.
Beberapa karakteristik Aksi Kamisan sebagai social movement tersebut ialah: Pertama, Aksi Kamisan memperjuangkan nilai bersama mengenai keadilan dan supremasi hukum pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Kedua, Aksi Kamisan mengalami perluasan mulai dari volunteer-nya hingga wilayahnya. Sejak Aksi Kamisan pertama kali dilakukan pada 18 Januari 2007 di depan istana negara, hingga tahun 2018 (11 tahun Aksi Kamisan) telah menyebar di 25 kota di Indonesia, dan volunteer-nya dari kalangan mahasiswa, aktivis LSM, dan LBH.
Ketiga, volunteer Aksi Kamisan berubah-ubah sesuai dengan kepentingannya. Menurut Sumarsih, volunter Aksi Kamisan berubah-ubah, seperti Fadjroel Rachman aktivis reformasi 98 yang selalu rutin mengikuti Aksi Kamisan di era pemerintahan SBY. Namun, setelah Fadjroel Rachman masuk Istana di era pemerintah Jokowi, Fadjroel tanpa sekalipun hadir dalam Aksi Kamisan.
Keempat, Aksi Kamisan akan terus dilakukan selama keadilan dan supremasi hukum pelanggaran HAM berat diabaikan oleh negara (pemerintah). Bahkan Aris Santoso, pengamat militer di Indonesia, memprediksi Aksi Kamisan akan dilakukan di Ibu Kota Baru nantinya, jika pemerintah tetap mengabaikan pelanggaran HAM berat.
Kelima, perluasan Aksi Kamisan tidak terlepas dari peran new media. Dengan informasi yang semakin masif mengenai Aksi Kamisan di new media, mendorong perluasan Aksi Kamisan di beberapa daerah.
The Big Brother Hambatan Social Change dari Aksi Kamisan?
“Saya masih ingat bagaimana George Orwell melukiskan rezim totaliter dengan istilah The Big Brother is Watching You dalam novel politik berjudul ‘1984’, yaitu pemimpin selalu mengintai setiap pergerakanmu”
(Rekonstruksi penulis merujuk Orwell, 2014)
Kutipan di atas merujuk novel fenomenal berjudul 1984 “Nineteen Eighty-Four”, ditulis George Orwell (2014, versi terjemahan Indonesia, novel asli terbit pada tahun 1989).
Saya menggunakannya untuk menerangkan bahwa selalu ada “The Big Brother” yang mengintai pergerakan warga negara, termasuk aksi kolektif social movement seperti Payung Hitam di Hari Kamis (Aksi Kamisan).
Aksi Kamisan sebagai social movement yang diinisiasi oleh Sumarsih tentunnya tidak hanya sekadar aksi sosial simbolik semata. Saat social movement menginginkan perubahan transformatif menuju kondisi yang lebih baik atau disebut dengan social movement to social change.
Tujuan social change dari Aksi Kamisan sendiri ialah terwujudnya keadilan dan supremasi hukum pelanggaran HAM berat di Indonesia, yang menjadi pertanyaan “Apakah tujuan social change tersebut telah terwujud?”.
Pertanyaan tersebut sangat mudah dijawab, apabila tujuan social change telah terwujud, maka Aksi Kamisan sudah tidak ada lagi, faktanya sampai sekarang tulisan ini dibuat, Aksi Kamisan masih terus berlanjut.
Oleh karena itu, membahas social change yang dihasilkan Aksi Kamisan mungkin masih “jauh api dari panggang”. Atau paling mungkin memberikan klaim mengenai social change yang dihasilkan Aksi Kamisan ialah meluasnya social movement tersebut dari semula hanya di depan Istana Negara (Jakarta) menjadi gerakan di berbagai kota di Indonesia.
Inilah klaim yang paling rasional mengenai social change yang dihasilkan dari Aksi Kamisan. Lantas bagaimana social change pada taraf paling radikal? Yakni tibanya keadilan untuk keluarga korban dan supremasi pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Nampaknya yang disebut oleh Orwell sebagai “The Big Brother” masih menutup pintu untuk menuju social change dari Aksi Kamisan, yakni tibanya keadilan untuk keluarga korban dan supremasi pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Pastinya penulis maupun pembaca selalu muncul kuriositas mengenai siapa “The Big Brother” dalam tragedi pelanggaran HAM berat, dan yang ‘mengawasi’ gerakan Aksi Kamisan? Kuriositas tersebut mungkin hanya mampu dijawab oleh waktu dan upaya negara (pemerintah) dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Namun, Aksi Kamisan sebagai social movement nampaknya telah menghasilkan social change dengan adanya perluasan gerakan tersebut di berbagai kota di Indonesia. Setidaknya data termutakhir pada tahun 2018, Aksi Kamisan telah ada di 25 kota di Indonesia, dari semula hanya dilakukan di depan Istana Negara pada tahun 2007.