Demokrasi (yang) Membahagiakan
Smile face and Happy word on wooden cube. Optimistic person or people feeling inside.

Siang itu, di sela rehat setelah mengajar daring, saya membuka Twitter. Saya melihat cuitan beberapa kolega dan tokoh. Saya tertarik membaca Tweet-nya Prof. Jimly Asshiddiqie tentang demokrasi kebahagiaan Indonesia. Prof. Jimly merasa sedih karena indeks kebahagiaan Indonesia di bawah rata-rata dunia (5,53). Dalam cuitannya, sejak 2013 s/d 2020, rata-rata kebahagian kita ada pada angka 5,35. Terendah di tahun 2018 yaitu 5,09.

Pada tahun 2022, indeks tertinggi didapatkan oleh negara Finlandia (7,8), disusul Denmark (7,6), Iceland (7,5), Netherlands (7,4), Norway (7,39) dan Sweden (7,36). Kata Prof Jimly, “kita kurang bahagia.”, begitu ia menutup cuitannya.

Bagi saya, ini Tweet yang sangat menarik untuk diulas. Bukan karena cuitan itu berasal dari seorang tokoh nasional dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, tetapi sangat relevan dengan situasi hari ini.

Pertanyaan yang manarik adalah kenapa indeks kebahagiaan Indonesia masih di bawah rata-rata dunia? Padahal kita telah memasuki era reformasi yang konon lebih bebas menyuarakan apa saja, terlepas apakah suara atau aspirasi kita itu diterima atau direspon secara memadai atau tidak.

- Poster Iklan -

Kebebasan berekspresi, berkumpul, berserikat, dan bahkan bebas mendirikan partai politik menjadi simbol betapa kita telah masuk dalam suasana demokrasi.

Hanya saja, pertanyaan yang sangat menggelitik adalah kenapa indeks kebahagiaan Indonesia masih di bawah rata-rata dunia dan bahkan cenderung terus mengalami penurunan? Hal ini juga paralel dengan indeks demokrasi kita yang terus menurun.

Dalam catatan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), indeks demokrasi di Indonesia sejak tahun 2019-2020 menurun dan menjadi yang terburuk sejak 2005.

Dalam laporan tersebut, Norwegia meraih skor tertinggi yakni (9,81) dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia. Disusul Islandia dengan skor 9,37, Swedia dengan skor 9,26, dan Selandia baru dengan skor 9,25.

Sedangkan indeks demokrasi paling rendah adalah Korea Utara dengan skor 1,08. Di Kawasan Asia Tenggara, indeks demokrasi Indonesia sendiri ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timur Leste, dan Filipina.

Lalu, apa yang membuat orang Indonesia tidak bahagia? Meskipun John Stuart Mill, seorang filsuf Inggris pendukung aliran utilitarianisme, dengan teori paradox hedonismnya mengatakan bahwa orang yang selalu mencari kebahagiaan, cenderung susah mendapatkannya.

Bahkan Socrates pernah berkata: “Makanan enak, baju indah, dan segala kemewahan. Itulah yang kau sebut kebahagiaan. Namun aku percaya suatu keadaan dimana orang tidak mengharapkan apapun adalah kebahagiaan tertinggi.”

Lalu, apa korelasinya antara demokrasi dengan kebahagiaan?

Memang, dalam teori kebutuhan manusia yang merujuk pada pandangan Abramah H. Maslow, demokrasi bukan merupakan kebutuhan seseorang individu untuk bangkit memotivasi dirinya. Seperti halnya Hans Kelsen (1973: 123) yang melahirkan teori hierarchy of Law, Abraham Maslow (1970: 80) adalah salah satu tokoh aliran psikologi humanis dan melahirkan teori hierarki kebutuhan manusia.

Maslow menyebut Hierarki kebutuhan manusia, antara lain: (1). Kebutuhan dasar atau fisiologi (physiological needs); (2). Kebutuhan akan rasa aman (safety needs); (3). Kebutuhan akan kepemilikan dan cinta (the bilongingness and love needs); (4). Kebutuhan untuk dihargai (the esteem needs); dan (5). Kebutuhan aktualisasi diri (self actualization).

Sementara Ibnu Miskawaih dalam Tartibus sa’adah, menyebutkan terdapat 5 (Lima) jenjang kebahagiaan, yaitu: (1). Kebahagiaan fisik; (2). Kebahagiaan mental; (3). Kebahagiaan intelektual; (4). Kebahagiaan moral; dan (5). Kebahagiaan spiritual.

Merujuk pandangan Abraham Maslow dan Ibnu Miskawaih di atas, tentu demokrasi secara eksplisit tidak masuk dalam Hierarki kebutuhan manusia. Demokrasi merupakan ‘alat’ dan dependent variabel untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan tentu saja untuk meraih kebahagiaan bersama yang selalu menjadi tujuan suatu negara.

Dalam pembukaan konstitusi Amerika misalnya, selain bertujuan untuk menegakkan keadilan (establish justice), menjamin ketenangan dalam negeri (insure domestic tranquility), menyediakan pertahanan bersama (provide for the common defence), juga bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum (promote the general Welfare). Begitu juga sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD Negara RI tahun 1945, yaitu: “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …”.

Maka, demokrasi tidak hanya dimaknai sebagai tuntutan yang menyangkut kebebasan individu dan hak-hak individu dalam kehidupan bernegara seperti yang diungkapkan oleh Herbert Feith. Tidak juga demokrasi yang dipandang sebagai metode untuk memilih pemimpin seperti ungkapan Joseph Schumpeter (1950) yang melihat demokrasi sebagai kompetisi memperoleh suara rakyat atau yang dikenal dengan demokrasi elektoral.

Tetapi demokrasi haruslah sesuatu yang bernilai dinamis yang dalam ungkapan Willy Eichler (1968) merupakan suatu nilai dinamis, karena nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik dibandingkan dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara.

Kenapa kita masih saja belum merasakan kebahagiaan, padahal kita telah menikmati kebebasan berekspresi dengan berbagai bentuknya, terlebih di tengah arus informasi dan kebebasan pers. Bisa jadi karena kita masih terjebak dengan demokrasi prosedural, yang ditandai dengan pemilu secara berkala, tanpa melihat apakah semuanya itu berjalan secara baik dan berkualitas.

Inilah yang dikritik oleh Morlino (2002), bahwa demokrasi yang baik itu tidak hanya berkaitan dengan prosedur dan isi. Demokrasi yang baik berkaitan dengan hasil (result) dari prosedur dan isi di dalamnya.

Artinya, apakah demokrasi yang kita jalankan ini telah melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang berkualitas dan Amanah? Yang mampu merasakan denyut nadi rakyatnya, dan mengartikulasikan kepentingan rakyat di atas segalanya, atau kah sebaliknya?

Demokrasi yang membahagiakan adalah demokrasi yang  melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang amanah, yang setiap tarikan nafasnya selalu mengingat rakyatnya, hingga membuat ‘emak-emak’ tersenyum tanpa harus antri dan berebut untuk membeli minyak goreng yang harganya naik.

Demokrasi yang membahagiakan adalah demokrasi yang  melahirkan pemimpin di mana para buruh tidak perlu melakukan demo untuk menuntut hak-haknya, petani yang tidak perlu resah karena tanah dan tempat tinggalnya terancam ‘tergusur’ oleh proyek pembuatan Sirkuit, bendungan atau pun proyek strategis lainnya. Demoktasi yang membahagiakan adalaha demoktasi yang anak-anak desa seperti Paijo, Amir dan Siti dapat menikmati dan melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi yang terjangkau dan berkualitas, sehingga cita-cita mereka menjadi dokter, polisi, tentara maupun sebagai guru dapat diraih.

Demokrasi yang membahagiakan adalah ketika kekuatan civil society tetap menjadi kekuatan penyeimbang, menjadi mitra kritis negara dan berperan mendampingi simpul-simpul rakyat yang membutuhkan advokasi.

Demokrasi yang membahagiakan adalah demokrasi yang tidak sekedar “ribut” dan ‘gaduh’ sebagai konsekuensi dari kebebasan berekspresi dan berpendapat, serta ramainya kontestasi politik antar parpol, calon Presiden dan Kepala daerah dalam setiap Pemilu dan Pilkada. Bukan juga demokrasi yang semakin menyuburkan dinasti politik dan oligarki politik. Tetapi demokrasi yang membahagiakan adalah demokrasi yang bergerak secara dinamis menuju arah yang lebih baik lagi dalam menjalankan menjalankan nilai-nilai kemanusiaan asasi, dan memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial untuk mewujudkan tujuan bernegara.

Meminjam ungkapan Ir. Soekarno ketika sidang BPUPKI (1995: 78-79): “…tidak ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka.” Ir. Soekarno mengaskan: “…Kalau kita mencari demokrasi, hendaklah bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni  politiek  economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” 

Maka, apabila kita menginginkan demokrasi yang membahagiakan, diperlukan reframing: mengubah sudut pandang kita dalam melihat demokrasi, yaitu bukan hanya sekedar menggunakan hak pilihnya ketika Pemilu dan pemilukada. Namun, lebih dari itu, kita harus melihat bagaimana harus menjadi pemilih yang kritis dan bertanggung jawab. Artinya, kita memahami konsekuensi dari pilihan kita tersebut.

Kita harus tetap kritis dan obyektif terhadap kebijakan yang dilakukan oleh pemimpin dan wakil rakyat yang telah kita pilih. Oleh karena itu, Sayyid Qutb (1983), menawarkan konsep yang dia sebut sebagai demokrasi religious yang memberikan perhatian istimewa kepada pemimpinnya, khususnya berkaitan dengan karakter dan syarat khusus bagi seorang pemimpin.

Sebagai catatan akhir, berangkat dari ungkapan George Sorenso (2003) yang mengatakan bahwa “demokrasi menawarkan peluang, bukan menawarkan jaminan keberhasilan”, maka, demokrasi yang membahagiakan perlu menempatkan demokrasi sebagai “cara” bukan tujuan. Dalam konteks ini, Nurcholis Madjid (2008: 210) berpandangan bahwa suatu bentuk demokrasi tidak dapat diterapkan begitu saja secara kaku dan dogmatis. Jika diperkirakan justru merusak atau mengganggu hasil-hasil positif perkembangan negara yang telah dicapai, maka adalah ‘absurd’ untuk melakukan hal tersebut. Maka, untuk mencapai demokrasi yang membahagiakan, diperlukan kesabaran untuk menerima hasil dari proses demokrasi.

- Cetak Buku dan PDF-

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here