Abad ke-21 ini, kita menghadapi pelbagai persoalan demokrasi di Indonesia—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting suasana kehidupan bangsa dan negara dewasa ini. Apakah sedang baik-baik saja maupun sebaliknya.
Pernyataan populer menyebut demokrasi “Sistem pemerintahan yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Namun, apakah yang dikatakan Abraham Lincoln itu benar? Mengingat, sengkarut permasalahan demokrasi di Indonesia semakin kesini semakin tidak karuan, dan seolah-olah negeri kita sudah berasaskan tirani.
Menyoal permasalahan di atas, Timothy Snyder dalam bukunya bertajuk Tentang Tirani (On Tyranny): Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh. Buku ini mengajak khalayak pembaca untuk mengingat masalah-masalah politik dan kemanusiaan yang terjadi di Eropa dan Amerika pada abad ke-19 dan ke-20.
… hari ini, kita membayangkan pengawasan oleh diri kita sendiri yang bersifat baik dan mengarah ke luar, terhadap pihak lain yang salah jalan dan bermusuhan. Kita memandang diri sendiri seperti kota di atas bukit, banteng demokrasi, mengawasi ancaman yang datang dari luar. Hakikat manusia itu sedemikian rupa, sehingga demokrasi Amerika yang bakal mengeksploitasi kemerdekaan untuk mengakhiri demokrasi.
Abolosionis Amerika, Wendell Phillips memang berkata, “Pengawasan terus menerus adalah harga kemerdekaan”. Dia juga menambahkan, “Kemerdekaan rakyat harus dipupuk setiap hari, kalau tidak dia akan membusuk.”
Riwayat demokrasi Eropa modern membenarkan kebijaksanaan kata-kata tersebut. Abad ke-20 menyaksikan upaya-upaya serius untuk memperluas hak suara dan mendirikan demokrasi yang kuat. Namun demokrasi-demokrasi yang berdiri sesudah Perang Dunia I dan II, sering kali ambruk ketika suatu partai meraih kekuasaan dengan gabungan pemilu dan kudeta. Partai yang di dukung hasil pemilu yang menguntungkannya atau termotivasi ideologi, atau keduanya, bisa mengubah sistem dari dalam.
Waktu kaum fasis atau Nazi, juga komunis menang dalam pemilu pada 1930-an atau 1940-an, yang terjadi selanjutnya adalah kombinasi pamer kekuatan, penindasan, dan taktik melucuti oposisi selapis demi selapis. Sebagian besar orang tak memperhatikan, sebagian dipenjara, dan lainnya dikalahkan. (hlm. 10-11)
Kiamat Sudah Datang
Kekerasan dalam proses berdemokrasi sebut saja demo atau unjuk rasa adalah hal yang lumrah dilakukan oleh aparat. Namun, bagi Snyder hal itu menjadi tanda bahwa kiamat sudah datang. “Ketika orang-orang bersenjata yang selalu mengaku melawan sistem mulai mengenakan seragam dan berbaris membawa obor dan gambar seorang pemimpin, kiamat sudah dekat. Ketika para militer pro-pemerintah bercampur dengan polisi dan militer resmi, kiamat sudah datang.”
Maka, orang-orang dan partai-partai yang ingin merusak demokrasi dan supremasi hukum menciptakan dan mendanai organisasi-oraganisasi pelaku kekerasan yang melibatkan diri dalam politik. Kelompok-kelompok seperti itu bisa berupa sayap para militer partai politik, pengawal pribadi seorang politikus—atau gerakan yang kelihatannya adalah inisiatif spontan warga, yang biasanya terbukti di organisasi oleh suatu partai atau pemimpinnya (hlm. 22-23).
Media dan Kekuasaan
Hal penting dalam menilai suatu kejadian (perseteruan) yang melibatkan pemerintah—aparat kepolisian maupun militer vis a vis masyarakat sipil yang nampak di media, yaitu memeriksan kebenaran dan kesahihan sebuah berita. Karena pada zaman internet kita semua menjadi penerbit, maka kita memiliki tanggung jawab pribadi atas pemahaman kebenaran masyarakat.
Jika kita serius mencari fakta, maka masing-masing kita membuat revolusi kecil dalam cara kerja internet. Bila Anda mengecek kebenaran informasi untuk diri Anda sendiri, maka Anda tak akan mengirim berita palsu ke orang lain. Bila Anda memilih mengikuti para reporter yang Anda bisa percayai, maka Anda juga bisa menyampaikan apa yang telah mereka temukan kepada orang lain. Bila Anda hanya me-retweet hasil kerja orang yang telah mengikuti protokol jurnalistik, maka Anda lebih kecil kemungkinannya merendahkan kemampuan otak Anda disbanding berinteraksi dengan robot dan troll (hlm. 55).
Singkirkan Layar, Mulai Membaca Buku
Maka, dewasa ini, yang mana kebenaran akan sebuah informasi adalah relatif. Snyder menuntut kita untuk menyingkirkan layar dua dimensi dan kemudian segeralah membaca buku.
Memandang layar tampak tak bisa dihindari, tapi dunia dua dimensi itu tak banyak bermakna kecuali kalau kita bisa menggunakan perlengkapan mental yang kita kembangkan di tempat lain. Ketika kita mengulang kata-kata dan kalimat-kalimat yang muncul di media harian, kita menerima ketiadaan kerangka yang lebih besar. Anda memiliki kerangka kata itu, kita butuh lebih banyak konsep, dan agar punya lebih banyak konsep kita butuh membaca. Jadi singkirkan layar dari kamar Anda dan penuhi kamar Anda dengan buku (hlm. 39-40).
Perihal nestapa demokrasi yang berangkat dari kekuasaan media dan kekerasan aparat berseragam terhadap masyarakat sipil, menjadi sebuah sungai yang tiada ujung. Semoga, di abad ke-21 ini, kita dapat “berdemokrasi” sebagaimana mestinya dan posisinya.
Identitas Buku Judul : Tentang Tirani, Dua Puluh Pelajaran dari Abad Kedua Puluh Penulis : Timothy Snyder Alih Bahasa : Zia Anshor Penerbit : Gramedia Pustaka Utama Tahun Terbit : 2020 Halaman : xiv+98 ISBN : 978-602-03-7973-9