Pada suatu malam, sekitar pukul sembilan-belasan lebih di kala perjalanan dari Kota Blitar menuju Kota Malang, kalau tidak salah, saya berpapasan dua kali dengan serombongan kendaraan yang menggunakan sirine dan dibunyikan dengan cukup keras.
Saat rombongan tersebut menyalip kendaraan saya, barulah saya ketahui bahwa mereka adalah sekumpulan motor besar. Biasa juga disebut moge, kepanjangan dari “motor gede”. Kumpulan moge tersebut menyalip berurutan dengan jumlah lebih dari sepuluh motor.
Di lain waktu, sehari sebelumnya saat perjalanan pulang kembali ke Kota Malang dari sebuah desa di lereng gunung Semeru, saya juga punya kisah yang sama yaitu kendaraan yang kami tumpangi didahului oleh serombongan moge. Di waktu yang lain pula, sekira berselang dua hari manakala kami mengendarai kendaraan ke arah Kota Batu, di sebuah tikungan jalan kami juga didahului oleh serombongan moge.
Dalam waktu empat hari yang nyaris berturut-turut dalam perjalanan, kami telah didahului sebanyak tiga kali kendaraan moge berkelompok dan dikawal polisi, dan tentu saja bersama suara sirine yang nyaring.
Dalam perjalanan tersebut, kami sebenarnya tidak hanya bertemu dengan moge, tetapi juga bertemu dua kali dengan serombongan kendaraan yang melaju cepat dengan bunyi sirine yang meraung-raung.
Rombongan itu adalah kumpulan kendaraan pejabat negeri dengan formasi di depan dua kendaraan sepeda motor besar polisi. Kemudian secara berurutan juga mobil yang berbodi besar, lebih dari empat kendaraan diikuti oleh mobil-mobil jenis dan merk terbaru.
Melaju dengan cepat dan mendadak mendahului kendaraan yang kami tumpangi, rombongan tersebut membuat kami agak kaget. Dikarenakan betul-betul cepat dengan sirine yang keras pula. Sungguh mengagetkan.
Entah siapa sopirnya dan jabatan apa yang dimiliki penumpang di dalamnya. Ini masih urusan kendaraan yang membunyikan sirine. Dalam perjalan empat hari yang kami lalui tanpa perencanaan, kami juga berpapasan dengan mobil bersirine lagi. Akan tetapi, bukan rombongan, dan nada sirinenya berbeda dengan yang sebelumnya.
Mobil bersirine yang berapapasan dengan kami tersebut adalah mobil ambulan yang mungkin membawa seseorang yang berada dalam kondisi kedaruratan karena sakit. Tanpa diperintah, sopir kendaraan yang kami tumpangi langsung menepi dengan tergopoh-gopoh dan dengan batin yang sangat ikhlas memberi jalan kepada ambulan.
Kendaraan kami menepi bukan karena takut pada ancaman pidana yang tertera dalam pasal-pasal di KUHP, melainkan karena rasa empati yang mendera perasaan dan hati hingga tanpa banyak dalih dan diskusi, kami harus menepikan mobil.
Situasi ini sangat berbeda dengan kejadian saat berpapasan dengan serombongan mobil yang ditumpangi pejabat dengan kecepatan tinggi maupun serombongan moge yang dikawal polisi. Sambil mengacung-ngacungkan lampu lalu lintas polisi pengawal tersebut memberi tanda kepada kami agar segera meminggirkan kendaraan.
Peristiwa tersebut membuat suasana batin kami agak berbeda dan sedikit bergemuruh. Di dalam dada menimbulkan tanya, mengapa mereka harus melaju sangat kencang seolah tidak ada kendaraan lainnya? Dan pula mengapa kendaraan moge saat melaju di jalan raya harus dikawal polisi? Mengapa bukan ambulan yang dikawal polisi? Padahal bisa saja di dalam kendaraan ambulan tersebut sedang ada yang meregang nyawa atau sangat membutuhkan bantuan medis super cepat agar segera selamat.
Entahlah, yang jelas kami di dalam mobil hanya bisa bertepekur sambil memikirkan dan membatin, kok bisa begini, ya? Bunyi-bunyian yang sering dikenali sebagai sirine ternyata telah mempunyai “strata sosial” untuk mempercepat perjalanan seseorang atau sekumpulan orang di jalan raya.
Bunyi-bunyian ini telah menjadi penanda bagi orang atau sekelompok orang yang mempunyai kuasa atas ekonomi maupun politik kekuasaan.Tentu beda dengan sirine ambulan yang tetap melaju sendirian, tidak bergerombol.
Ambulan selalu bergegas atas nama kemanusiaan. Kendaraanya berbunyi, meraung-raung, namun para penumpangnya diliputi rasa dan jiwa gundah gulana nan sepi. Sangat berbeda dengan sirine yang digunakan oleh rombongan pejabat maupun moge.
Selain urusan raungan sirine, belakangan ini ada perilaku baru khususnya di masyarakat perkotaan, yaitu berkelompok dengan menjalankan kegiatan gowes. Istilah gowes (mungkin) dari bahasa gaul kekinian.
Jika diambil dari bahasa Jawa, maka gowes mempunyai makna bersepedha kanthi seneng, artinya bersepeda hingga bersenang-senang atau dalam bahasa Inggrisnya bicycling happily. Kegiatan ini banyak mencari dan menjelajahi tempat-tempat pelosok dusun untuk dijadikan arena gowes.
Beberapa kali saat kami turun dari lereng Gunung Semeru dalam kegiatan silaturahmi, kami berpapasan dengan pesepeda, baik yang dinaiki hingga menjadi tontonan penduduk dusun, maupun yang sepedanya diangkut menggunakan mobil lalu dibawa ke dusun-dusun yang jalannya naik turun, bergelombang, dan masih belum beraspal.
Lalu sesampainya di tujuan, sepedanya diturunkan kemudian dinaiki bersama-sama untuk menjejal rute yang bergelombang tadi. Kegiatan ini tentu sekali lagi menjadi tontonan orang di dusun yang mungkin melihatnya dengan perasaan takjub. Kami pun yang berpapasan dengan mereka sudah membayangkan: “luar biasa sekali” usaha untuk sekadar menikmati gowes.
Dari urusan moge, sirine hingga gowes, akhirnya menimbulkan beragam tanya. Kenapa moge mau jalan saja harus pakai kawal polisi? Dan kenapa mobil pejabat mesti meraungkan sirine disertai kecepatan tinggi seolah melibas di jalan raya? Apa mereka tidak ingin berjalan biasa saja dengan apa adanya, dengan kecepatan sedang dan tidak harus ribut-ribut dengan sirine?
Padahal alangkah nikmatnya jika kita bisa jalan beriringan di jalan sambil berlambai tangan, tersenyum kepada sesama pengguna jalan. Kita ini kan sama-sama membayar pajak?
Andai kata pun para pejabat tidak ingin terlambat hadir di sebuah acara, kenapa tidak menjadwalkan keberangkatannya lebih awal agar tidak buru-buru di jalan? Alangkah nikmatnya juga jika kita berjalan di jalan raya, kacanya dibuka sambil tersenyum dan menyapa sesama pengguna jalan raya.
Sepertinya jika ini dilakukan, hidup akan terasa sederhana dan nikmat sekali sebagai sesama anak bangsa. Demikian pula dengan penikmat gowes. Kan tidak perlu repot-repot bawa sepeda menggunakan mobil menempuh jalan yang jauh untuk kemudian diturunkan baru dinaiki? Andai digunakan di lingkungan kampung atau perumahan apa kurang seru ya?
Entahlah, kadang kita menginginkan masa-masa lampau yang jauh dari hiruk pikuk untuk menikmati kesenangan. Kehidupan di masa lalu relatif lebih biasa dan tentu sangat sederhana.
[…] tak ingin Tasnim kembali terlambat datang ke sekolah. Kira-kira 300 meter sebelum bangunan sekolah, ada iringi–iringan mobil dengan sirine yang memekakkan telinga. Bahrul terpaksa menginjak rem. Barisan mobil itu berhenti. Muncul sosok […]