asrul sani

Asrul Sani adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah sastra dan perfilman Indonesia. Fakta menarik tentang Asrul Sani adalah ia tidak hanya dikenal sebagai sastrawan, tetapi juga sebagai sutradara film yang andal. Karyanya yang beragam mencakup puisi, cerpen, esai, kritik, serta skenario film, menjadikannya seorang seniman multitalenta yang memiliki pengaruh besar di berbagai bidang seni.

Lahir di Rao, Sumatra Barat, pada 10 Juni 1926, Asrul Sani berasal dari keluarga bangsawan dengan gelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah yang Dipertuan Rao Mapat. Meskipun berasal dari keluarga yang taat beragama, Asrul tidak pernah merasa tertekan dalam menjalani pendidikan agamanya. Ia mengenyam pendidikan agama di Dar el Ashar, dan memulai pendidikan formalnya di Hollands Inlandsche School (HIS) di Bukittinggi pada tahun 1933. Pada usia muda, ia harus berpisah dari orang tuanya dan tinggal di asrama bersama kakaknya, Chairul Basri, di Bukittinggi.

Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, Asrul Sani melanjutkan sekolahnya ke Jakarta, di Koningin Wilhelmina School (KWS) yang berfokus pada teknik. Namun, ia mengalami kesulitan dalam menyelesaikan sekolah tersebut karena merasa tidak berbakat di bidang teknik. Kegemarannya mengutak-atik gramofon, yang semula dianggap sebagai tanda minatnya pada teknik, ternyata hanyalah gejala umum seorang anak yang penuh rasa ingin tahu.

Meski tidak menyelesaikan pendidikan teknik, Asrul Sani menemukan jalannya di dunia sastra dan seni. Ia mulai dikenal publik saat puisinya yang berjudul “Kekasih Pradjurit” dimuat dalam surat kabar Pemandangan pada tahun 1943, ketika ia masih duduk di bangku SMP. Sejak itu, karyanya berupa puisi dan cerpen sering muncul di berbagai media massa, seperti majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, Gema Suasana, serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raya.

Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, Asrul Sani menjadi salah satu pencetus Gelanggang Seniman Merdeka, sebuah perkumpulan seniman yang lahir dari semangat Angkatan 45. Pada tahun 1950, mereka bertiga menerbitkan kumpulan puisi berjudul “Tiga Menguak Takdir,” yang dianggap sebagai tonggak penting dalam sejarah sastra Indonesia. Selain itu, Asrul Sani juga menjadi konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang, sebuah pernyataan sikap dari Angkatan 45 untuk keluar dari pengaruh angkatan sebelumnya dan penguasa, yang dianggap sebagai landasan ideal Angkatan 45.

Asrul Sani tidak hanya berkontribusi di bidang sastra, tetapi juga dalam dunia perfilman Indonesia. Bersama Usmar Ismail, Djamaluddin Malik, dan tokoh-tokoh lainnya, ia ikut mendirikan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Ketua Lesbumi, Anggota Badan Sensor Film (BSF), Pengurus Pusat NU, dan Anggota DPR-MPR mewakili seniman dari tahun 1966 hingga 1982.

Karya-karya Asrul Sani mencakup berbagai genre dan media, mulai dari puisi, cerpen, esai, hingga drama dan film. Beberapa karya terkenal yang dihasilkan Asrul Sani antara lain “Tiga Menguak Takdir” (1950) yang diterbitkan bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, kumpulan puisi “Mantera” (1975), serta kumpulan cerpen “Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat” (1972) yang berisi cerpen terkenal seperti “Museum” dan “Sahabat Saya Coriaz.” Ia juga menulis drama berjudul “Mahkamah” (1988) dan ratusan karya terjemahan yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama.

Di dunia perfilman, Asrul Sani dikenal sebagai penulis skenario dan sutradara yang andal. Beberapa karyanya yang mendapat penghargaan adalah film “Jenderal Nagabonar” (1986) dan “Kejarlah Daku Kau Kutangkap” (1985), keduanya memenangkan Piala Citra. Selain itu, ia juga menulis skenario untuk film “Jenderal Nagabonar” (1988), yang mendapat sambutan positif dari kritikus dan penonton.

Uniknya, Asrul Sani sering menggunakan nama samaran saat menulis esai. Nama-nama seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F. Anwar digunakan untuk menghindari anggapan bahwa penulis esai pada masa itu sangat sedikit. Kepiawaiannya dalam berbagai bidang seni membuatnya mendapatkan sejumlah penghargaan, termasuk Anugerah Seni pada tahun 1969 dan Penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI pada tahun 2000.

Asrul Sani wafat di Jakarta pada 11 Januari 2003 dalam usia 76 tahun. Warisan karyanya yang kaya dan beragam tetap menjadi bagian penting dari sejarah sastra dan seni Indonesia. Sebagai sastrawan Angkatan 45, sutradara, dan penulis skenario, Asrul Sani telah memberikan kontribusi yang tak ternilai dalam memperkaya budaya dan seni Indonesia.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here