“Apa enaknya menjadi normal?” ucap salah satu karakter fiksi dalam film Teenage Mutant Ninja Turtles (2014) di akhir cerita, yang menandai bahwa perjuangan para Kura-kura Ninja dalam melawan musuh-musuhnya di Kota New York telah berakhir. Sekilas, ketika saya membaca dialog teks di akhir cerita tersebut, saya berpikiran bahwa tentu saja lebih enak menjadi orang yang normal daripada menjadi orang yang tidak normal. Sebab, ketika kebanyakan orang menginginkan ketidaknormalan dalam diri mereka agar dapat dikatakan “wah” atau berbeda dari orang lain, saya justru sebaliknya. Ya, saya menginginkan diri saya yang normal-normal saja—seperti orang-orang pada umumnya—terutama dalam hal kesehatan. Sebab, seperti yang saya dan orang-orang terdekat saya ketahui, saya menderita penyakit epilepsi, yang membuat saya tampak berbeda dari kebanyakan orang dalam beberapa aspek kehidupan. Namun, perlu saya tekankan di sini bahwasanya “normal” yang saya maksud adalah keadaan normal manusia secara fisik dan mental; bukan “normal” dalam arti menjalani kehidupan yang datar-datar saja. Lalu, bagaimana epilepsi dapat memengaruhi kesehatan mental saya? Beginilah cerita singkatnya…
Ceritanya, waktu itu saya masih duduk di kelas 5 SD (berusia sekitar 11 atau 12 tahun). Pada saat itu, saya masih hobi bermain sepakbola, yang sering kali membuat saya lupa waktu bila berurusan dengan hobi saya tersebut. Sebenarnya, saya tidak masalah jika harus bermain sepakbola kapan pun itu—baik itu di pagi hari, siang hari, sore hari, atau malam hari—selama saya diizinkan oleh orang tua saya, maka saya akan berangkat bermain sepakbola. Selama saya menekuni hobi saya tersebut, tidak ada sesuatu pun yang menimpa diri saya; dan kalaupun ada, paling hanya cedera ringan di kaki atau tangan. Suatu ketika, ketika saya sudah bersiap untuk tidur malam, saya terkejut—saya merasakan bahwa sebagian anggota tubuh saya mengalami kejang-kejang. Mama saya, yang waktu itu masih tidur satu kamar dengan saya, melihat dan menanyakan dengan khawatir terkait kejadian yang baru saja saya alami. Namun, karena hari itu sudah malam dan saya merasa bahwa kejadian yang baru saja saya alami itu bukanlah suatu masalah yang besar, maka saya mengatakan kepada mama saya bahwa saya hanya kedinginan.
Lanjut cerita, beberapa hari setelah kejadian itu, saya kembali mengalami kejang-kejang. Tak tanggung-tanggung, saya bahkan sampai terjatuh di teras depan rumah dan kamar mandi karena intensitas kejang yang begitu tinggi, (terutama di pagi hari) sampai-sampai saya harus mengalami beberapa luka akibat menghantam benda-benda yang terdapat di lokasi saya terjatuh. Setelah itu, saya menyadari bahwasanya ketika saya sedang mengalami kejang-kejang, saya tidak menyadari apapun itu—tahu-tahu saya sudah terjatuh (jika kejangnya parah), jantung saya berdetak lebih cepat, kepala saya terasa sedikit berat, dan saya menjadi linglung. Oleh karena itu, karena menyadari bahwa saya menderita penyakit tertentu, orang tua saya segera mengajak saya untuk berobat ke dokter. Namun, saya menolak ajakan kedua orang tua saya tersebut dengan alasan bahwa saya tidak mau bergantung kepada obat-obatan; bahkan bila sekadar berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf. Ya, hingga saat ini, saya tidak pernah berobat ke dokter spesialis saraf.
Singkat cerita, pada akhirnya, saya hanya menjalani perawatan medis berupa terapi tradisional, seperti pijat refleksi atau urut, sesuai kemauan saya. Selain itu, saya pun kerap berkonsultasi dengan berbagai pihak terkait pengendalian fungsi otak (mindset), karena saya tahu bahwasanya epilepsi merupakan penyakit yang bersumber pada jaringan otak, yang memancarkan gelombang listrik secara berlebihan, yang akhirnya dapat memicu kejang-kejang. Syukurnya, pengendalian fungsi otak tersebut cukup berpengaruh terhadap penyakit saya, sehingga saya dapat menghindari kambuhnya penyakit saya (terutama di pagi hari setelah bangun tidur atau pada saat saya sedang menggunakan media elektronik), dengan cara tidak berpikir berlebihan. Namun, penyakit saya tak hilang begitu saja. Menurut berbagai situs kesehatan yang saya baca di Google, saya mendapatkan informasi bahwasanya penyakit epilepsi tidak bisa disembuhkan secara total; dan kalaupun harus menggunakan obat-obatan, maka obat-obatan tersebut hanya berfungsi sebagai pencegah kambuhnya penyakit epilepsi. Sementara itu, orang tua saya pun mulai memaklumi penyakit saya—dengan keyakinan bahwa saya dapat mengendalikannya—setelah bertahun-tahun saya berjuang mengendalikan penyakit saya tersebut—dan karena fakta bahwa saya sudah menjelang dewasa.
Selama bertahun-tahun menjalani hidup sebagai penderita epilepsi, saya tetap menjalani aktivitas seperti orang lain, seperti berkuliah, bermain, bersosialisasi, berorganisasi, dan lain sebagainya. Namun demikian, saya menjadi suka merenung. Selain itu, saya pun masih berusaha untuk berdamai dengan penyakit saya (meskipun penyakit saya dapat digolongkan ke dalam epilepsi yang ringan, karena intensitasnya yang tidak lagi begitu tinggi). Namun, dalam hati kecil saya, saya ingin sekali seperti orang-orang lain, antara lain ialah ingin bisa mengendarai sepeda motor atau mobil di jalan raya tanpa kekhawatiran akan kambuhnya penyakit saya, yang mungkin dapat mencelakakan diri saya sendiri dan pengendara lain; ingin mengajak seseorang berkencan tanpa harus takut akan kambuhnya penyakit saya, yang mungkin dapat membuat malu diri saya sendiri dan pasangan saya; ingin mendapatkan pekerjaan yang menantang tanpa harus terhalang oleh penyakit saya yang sering kali muncul secara mendadak; dan lain sebagainya.
Setiap malam, saya selalu memikirkan hal-hal tersebut secara berlebihan (overthinking), sehingga menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang mendalam (anxiety) dalam diri saya, juga perasaan minder (insecure). Saya sering membayangkan kehidupan yang ideal bagi diri saya; tetapi saya pun sering membayangkan betapa sulitnya untuk mewujudkan itu semua dengan kondisi saya yang seperti ini. Akhirnya, dalam kondisi mental yang seperti itu, terkadang saya terjebak dalam perasaan takut untuk bekerja (ergophobia)—karena saya takut untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar lantaran penyakit saya—baik itu pekerjaan domestik atau pekerjaan dalam konteks karier—sehingga membuat saya merasa seperti berjalan di tempat. Akan tetapi, kendatipun saya merasakan dampak psikologis yang ditimbulkan oleh penyakit saya tersebut, saya tidak pernah membicarakan hal tersebut kepada siapa pun, kecuali kepada orang-orang terdekat saya dan dalam tulisan ini—karena saya tidak mau dikasihani dan tentu saja merasa malu—dan saya sendiri-lah yang sering meredakan gejolak emosi yang saya rasakan. Akhirnya, saya sering merasa kesepian dan merasa cukup “berbeda” dari orang lain.
Kurang lebih, begitulah riwayat penyakit saya dan bagaimana penyakit saya tersebut dapat memengaruhi kesehatan mental saya. Sebenarnya, saya tidak tahu secara pasti penyebab utama penyakit saya, apakah itu karena terlalu sering bermain sepakbola sehingga dapat merusak jaringan otak saya, atau cedera lainnya yang mungkin pernah saya alami. Saya memang sedikit “berbeda” dari kebanyakan orang lain; dan mungkin kemajuan diri saya pun lebih lambat daripada orang lain. Namun, saya bersyukur karena masih berada di lingkungan yang positif, khususnya di lingkungan keluarga saya, yang terus mendorong saya untuk bertumbuh di balik keterbatasan diri saya. Selain itu, saya pun bersyukur kepada diri saya sendiri, karena meskipun saya masih suka mengeluh (terutama tentang penyakit saya) dan menganggap diri saya tidak berguna, tetapi saya masih bisa bertahan serta memiliki mimpi dan ambisi untuk masa depan saya. Oleh karena itu, karena motivasi dari dalam diri sendiri dan dari orang-orang di sekitar saya, saya memberanikan diri untuk mengejar mimpi dan ambisi saya setelah saya mempertimbangkannya cukup lama (setelah saya pun memutuskan untuk cuti kuliah), yaitu mendaftar menjadi abdi negara pada bulan Agustus yang lalu. Syukur alhamdulillah, meskipun saya gagal karena kondisi kesehatan mata kanan saya yang dinyatakan minus 1.5, tetapi saya merasa bangga kepada diri saya sendiri karena telah berjuang mengejar mimpi dan cita-cita saya. Selain itu, saya pun merasa bangga karena selama proses pendaftaran menjadi abdi negara tersebut, saya mampu mengendalikan diri saya sendiri sehingga dapat mencegah kambuhnya penyakit saya. Intinya, jangan pernah berkecil hati dan jangan terlalu sering mengasihani diri sendiri di balik berbagai kekurangan yang kita miliki; berusahalah untuk terbuka kepada orang-orang terdekat kita; yakinlah bahwa kita mampu melakukan sesuatu lebih dari yang kita pikirkan; serta selalu libatkan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Akhir kata, untuk memotivasi kita semua, saya ingin mengutip tiga kalimat terakhir yang terdapat dalam novel Forrest Gump karya Winston Groom, yang barangkali dapat memotivasi diri kita untuk terus maju di balik berbagai kekurangan yang kita miliki:
“Tapi asal tahu saja, kadang-kadang kalau sudah malam, kalau aku ngelihatin bintang-bintang dan seluruh langit kelihatan cerah, jangan disangka aku nggak ingat semuanya. Aku tetap punya mimpi kayak semua orang lain, dan sekali-kali aku ngebayangin apa yang mestinya bisa terjadi. Dan tahu-tahu umurku sudah empat puluh, lima puluh, enam puluh.
“Ah, memangnya kenapa? Aku memang terbelakang, tapi aku cuma berusaha ngerjain hal yang benar. Jadi, apapun yang terjadi, paling nggak aku bisa bilang hidupku nggak ngebosanin.
Ngerti, kan, apa yang kumaksud?”