Kesehatan menjadi suatu aspek penting di dalam menciptakan kesehatan secara menyeluruh. Kesehatan mental juga penting untuk diperhatikan selayaknya dengan kesehatan fisik . Kesehatan Mental menurut World Health Organization didefinisikan sebagai suatu kondisi kesejahteraan yang mana seseorang telah menyadari kemampuannya untuk mengatasi tekanan hidup yang normal, bekerja secara produktif, serta dapat berkontribusi bagi komunitasnya (Gil-Caselles et al., 2024).
Klasifikasi gangguan mental berdasarkan World Health Organization (WHO) terdiri dari beragam masalah dengan berbagai gejala. Namun, gangguan mental seringkali dicirikan dengan beberapa kombinasi yang abnormal di dalam emosi, pikiran, serta perilaku dan hubungan dengan orang lain, misalnya depresi, skizofrenia, cacat intelektual, serta gangguan disebabkan penyalahgunaan narkoba, gangguan afektif bipolar, demensia, dan autisme.
Terdapat dua istilah untuk individu yang mengalami gangguan jiwa. Pertama yaitu Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) yang mempunyai masalah mental, fisik, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, serta kualitas hidup, sehingga menimbulkan resiko terjadi gangguan jiwa. Kedua, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yaitu orang yang mengalami gangguan di dalam perasaan, pikiran, serta perasaan yang termanifestasi di dalam bentuk sekumpulan gejala ataupun perubahan perilaku yang bermakna, dan dapat menjadikan penderitaan dan hambatan di dalam melakukan fungsi orang sebagai manusia (Ayuningtyas et al., 2018).
Berdasarkan data dari World Population Review menyatakan bahwa sembilan juta orang di Indonesia atau 3,7% dari populasi mengalami depresi, bahkan di setiap jam seseorang di Indonesia mengakhiri hidupnya sendiri. Selain itu, enam belas juta orang (6%) yang berusia 15 tahun ke atas menunjukkan gejala depresi atau kecamatan, serta sekitar 400.000 orang atau 1,72% hidup dengan penyakit yang lebih parah seperti psikosis, Bahkan terdapat 57.000 orang yang dilaporkan pernah mengalami pemasungan (Chan, 2019).
Faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental tersebut seperti tekanan sosial yang tinggi, stres di lingkungan kerja, adanya ketidakstabilan ekonomi, dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan mental. Selain itu, masih minimnya pemahaman serta kesadaran terkait kesehatan mental yang menjadi faktor yang berkontribusi terhadap tingginya angka prevalensi penyakit jiwa (Stefanni, 2024).
Filsafat Stoikisme
Bagi sebagian dari kita untuk dapat berdamai dengan gangguan mental yang sedang kita hadapi tentu kian sulit. Tetapi terdapat cara untuk dapat berdamai dengan gangguan mental yaitu melalui filsafat Stoikisme. Sebelumnya, kita kenali dulu tentang filsafat Stoikisme. Dikutip dari Oxford English Dictionary mengartikan stoikisme (stoicism) sebagai ketegangan, tekanan perasaan, serta ketabahan yang semuanya adalah karakteristik dari sikap stoik di dalam kehidupan. Stoikisme ini memandang manusia merupakan makhluk yang rasional serta emosi yang destruktif tersebut ialah dampak dari kesalahan di dalam penalaran manusia terhadap hal-hal yang dialaminya (Setyowati, 2022).
Filsafat Stoikisme ini muncul pada saat zaman Yunan. Stoikisme didirikan di Athena oleh pedagang Fenesia Zero dari Citium sekitar abad ke-3 SM yang awalnya disebut sebagai Zenonisme kemudian diubah menjadi Stoikisme disebabkan Zero dan pengikutnya bertemu di Stoa Poikile atau Beranda Berkulis. Tokoh-tokoh dalam filsafat stoikisme ini yaitu Seneca, Epictetus, serta Marcus Aurelius yang ketiga tokoh tersebut menyebarkan aliran stoikisme di dalam lingkungannya masing-masing. Jadi dapat disimpulkan bahwa filsafat Stoikisme ini sudah ada sejak zaman Yunani, meskipun begitu aliran tersebut masih relevan di masa sekarang (Sya’bani et al., 2024).
Teori stoikisme ini sangat relevan di masa sekarang ini karena stoikisme dapat menawarkan pandangan mengenai bagaimana cara kita untuk memilih sikap hidup yang bebas dari penderitaan dan emosi negatif, dan menjadikan hidup yang selaras dengan alam. Selain itu, filsafat stoikisme ini membuat hidup kita menjadi lebih bahagia, sosok yang tangguh, serta dapat lebih bijaksana. Sehingga penting bagi kita untuk memulai menerapkan filsafat stoikisme ini di era sekarang.
Penerapan filsafat stoikisme di era sekarang ini dapat dilakukan dengan berbagai hal, seperti berikut. Pertama, fokus kepada hal-hal yang menurut kita dapat kita kendalikan, misalnya terkait opini, keinginan, dan sebagainya. Kedua mengendalikan diri di saat menggunakan teknologi dengan tidak berlebihan. Ketiga, menghadapi tantangan dan rintangan dengan kebijaksanaan serta ketenangan. Keempat, dengan lebih menekankan akan pentingnya kebahagiaan internal yang berasal dari sikap serta pikiran sendiri, dan terakhir dengan menjalin serta meningkatkan hubungan dan kolaborasi dengan orang lain (Nasifah, 2024).
Jadi dapat disimpulkan, nilai-nilai yang dapat dipelajari bagi kita tentang filsafat stoikisme ini adalah bahwasanya kita seharusnya berfokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan seperti opini, keinginan, hasrat, dan keengganan di dalam sesuatu yang merupakan tindakan kita. Dengan mengontrol apa yang bisa kita kontrol atau kendalikan tersebut menjadikan diri kita lebih bahagia untuk menikmati hidup. Selain itu, kita jangan memikirkan hal-hal yang di luar kendali kita. Sebab, hal tersebut akan menjadikan waktu dan energi kita terkuras. Hal-hal yang diluar kendali seperti properti, tubuh, reputasi, pandangan orang lain, perintah, serta segala hal yang bukan tindakan kita. Sehingga, saya sarankan untuk kita dapat mulai mempelajari dan menerapkan tentang filsafat stoikisme supaya dapat mencapai ketenangan batin.
Saya ingin mengutip quotes hebat dari tokoh penganut aliran stoikisme, Marcus Aurelius: “Hambatan yang menghalang sebuah tindakan justru membantu tindakan tersebut. Apa yang menghalangi satu jalan akan menjadi jalan itu sendiri.” Dan, satu quotes lagi dari Epictetus yang berbunyi: “Jangan mengupayakan segalanya terjadi seperti apa yang Anda inginkan, tetapi lebih baik berharap semuanya terjadi sebagaimana mestinya, maka hidup Anda akan mengalir ke arah yang lebih baik.”. Selain itu, saya ingin merekomendasikan kepada pembaca bagi yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut tentang filsafat stoikisme dapat membaca buku filosofi teras, melalui podcast yang membahas tentang stoikisme, dan sebagainya.
[…] dengan gangguan kondisi di mana seseorang anak tidak dapat melihat atau memiliki penglihatan yang sangat terbatas. […]
[…] perlu dipahami pula, ketika saya bisa melewati masalah dan kondisi mental yang buruk, tidak sepenuhnya dikarenakan saya kuat atau hebat. Saya hanya orang biasa yang tidak […]
[…] digital bertujuan untuk mengurangi stres dan meningkatkan kualitas hidup. Dengan lebih sadar akan bagaimana teknologi memengaruhi emosi dan produktivitas, individu mulai […]
[…] saya selalu memikirkan hal-hal tersebut secara berlebihan (overthinking), sehingga menimbulkan kecemasan dan ketakutan yang mendalam (anxiety) dalam diri saya, juga perasaan minder (insecure). Saya sering […]
[…] tergelincir di antara jemari, tapi Untung saja ada obat, bayonet, Rasa sakit jatuh menjadi tak […]
[…] Stoikisme dan Slow Living saling melengkapi. Dengan melambat, kita menciptakan ruang untuk refleksi Stoik, sementara prinsip Stoikisme memberikan kerangka mental yang kuat untuk menjalani kehidupan yang lebih sadar. Misalnya, ketika kita menghadapi tekanan untuk mengikuti tren tertentu demi menghindari FOMO, kita dapat menggunakan prinsip Stoik untuk merenungkan apakah tindakan tersebut benar-benar sejalan dengan nilai-nilai kita. […]