Ada satu hal penting yang sekiranya baru saya pahami setelah berhasil melalui banyak pergolakan mental, yaitu kehidupan bersifat dinamis. Kehidupan itu dinamis, bukan linier, artinya akan selalu ada ketidaktetapan dalam hidup dengan berbagai lika-liku yang ada. Kehidupan dinamis itu akan membuat kita merasakan kebahagiaan, juga kesedihan. Hari ini kita bisa merasa ingin hidup lama, tapi besok kita bisa berpikir untuk mengakhiri hidup. Sebaliknya, mungkin hari ini kita sedang sedih dan merasa dunia sudah kiamat, tetapi besok kita bisa dipeluk kebahagiaan sampai lupa adanya surga. Itulah gambaran sederhana dari pengaruh hidup dinamis yang saya tahu.
Mengetahui bahwa kehidupan dinamis ini juga memberikan perasaan dinamis pula, lantas apa akhirnya yang menjadi tujuan kita hidup? Mendapat kebahagiaan dan ketenangan adalah jawaban yang sebelumnya ingin saya lontarkan. Namun, kembali perlu kita ketahui bahwa tidak mungkin ada manusia ingin melepas rasa bahagia dan tenang yang mereka miliki di setiap harinya. Mereka selalu dipaksa untuk merasakan segala bentuk perasaan yang diakibatkan oleh kehidupan dinamis tersebut. Hal itu pula yang membuat kita disebut manusia kan? Lewat pemahaman sederhana itu, saya menganggap tujuan akhir saya bukanlah sebuah kebahagiaan dan ketenangan, lalu apa?
Saya atau kita semua mungkin juga pernah merasakan fase bahwa kehidupan kita sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Tentu saja itu adalah wujud nyata dari tercapainya tujuan akan kebahagiaan. Namun, perlu disadari bahwa terdapat fase relapse dalam setiap perasaan bahagia. Relapse dapat diartikan secara sederhana sebagai kekambuhan sebuah gejala saat seseorang hampir pulih. Istilah ini sudah banyak beredar di internet lewat ulasan buku Regis Machdy berjudul Loving the Wounded Soul yang terbit tahun 2019. Lewat pengenalan istilah itu, saya mengajak kita semua berangkat ke dalam pengalaman pribadi saya mengenai relapse dan kehidupan dinamis.
Tidak banyak atau bahkan hampir tidak ada orang terdekat saya yang mengetahui jika saya pernah menjadi korban bully sekaligus pelecehan oleh sesama jenis. Tidak ada yang bisa menggambarkan perasaan hancur saya saat itu. Dampak yang ditimbulkan saat itu sangatlah besar, salah satu dampaknya adalah hilangnya rasa percaya diri saya selama bertahun-tahun. Perasaan itu semakin terealisasikan ketika saya memutuskan menghapus foto diri yang telah terunggah di media sosial pribadi saya dan tidak memiliki keberanian lagi untuk tampil atau berinteraksi dengan banyak orang. Semenjak itu pula saya sering mengalami tremor, mulai dari badan hingga suara. Keadaan saya begitu buruk disertai kebingungan untuk mengatasinya.
Singkatnya, saya berhasil melewati fase mengerikan itu dengan berbekal daya ingat saya terhadap pesan singkat orang tua saya setiap kali kami tertimpa masalah, yaitu “jalanin aja.” Pesan singkat itu membuat saya memanfaatkan apa yang kehidupan dinamis ini berikan, yaitu kondisi dan perasaan yang juga dinamis. Di hari saya merasakan pergolakan mental, saya merasa tidak punya pilihan lain selain tetap menjalankan hidup seperti biasa. Kebiasaan itu akhirnya membuat saya terus menjalani hari neraka hingga menemukan hari baik seperti saat salah satu keinginan saya tercapai, keluarga saya yang diberikan rezeki berlimpah, dan beberapa kabar baik lain saat itu.
Ketika saya bisa berada di titik merasakan bahwa hidup saya sudah lebih baik dari sebelumnya, kenyataan pahit harus saya telan kembali karena fase relapse kembali muncul di hari-hari yang tidak pernah saya sangka. Saya menemukan peristiwa pemicu yang membuat saya kembali mengalami trauma atau pergolakan mental, yaitu saat seseorang melayangkan hinaan kepada fisik saya dan melontarkan candaan bahwa saya adalah seorang laki-laki penyuka sesama jenis. Sebagai orang yang sudah lebih dewasa dari sebelumnya, saya bisa melewati pergolakan mental itu dengan cepat. Masih dengan metode yang sama, yaitu tetap menjalani hidup dan berusaha berdamai dengan kepahitan itu, sampai akhirnya hidup saya masih berjalan dan sudah hampir bertahun-tahun saya tidak pernah merasakan trauma atas peristiwa itu lagi. Bahkan, saya sekarang sudah menjadi orang yang tertawanya paling keras di saat candaan sejenis itu berkumandang, atau lebih tepatnya bisa dibilang sudah berdamai.
Lewat beberapa pengalaman itu, saya tidak mengatakan bahwa kita hanya harus menunggu sebuah kabar baik di tengah perasaan atau mental yang hancur. Perasaan sedih dan hancur itu akan menjadi fase terlewati seiring berjalannya hidup. Kita akan menemukan berbagai peristiwa yang menjadi alasan kita terpuruk, sebaliknya, kita juga akan menemukan berbagai peristiwa yang menjadi alasan kita bangkit. Pastinya, tidak bisa dilupakan bahwa fase relapse juga akan selalu ada.
Terkadang perlu dipahami pula, ketika saya bisa melewati masalah dan kondisi mental yang buruk, tidak sepenuhnya dikarenakan saya kuat atau hebat. Saya hanya orang biasa yang tidak punya pilihan selain menjalani kehidupan ini. Menjalani tiap detik hidup saya dengan permasalahan mental saat itu memang sangat menyakitkan, tapi siapa yang bisa memastikan kalau menyerah dengan hidup bisa membuat saya merasa lebih baik? Sebab itulah, kembali saya kutip dua kata sederhana yang ada di tiap langkah saya, “jalanin aja.”
Kembali kepada pertanyaan apa tujuan akhir yang saya tetapkan ketika saya mengetahui bahwa hidup ini dinamis beserta kenyataan bahwa fase relapse itu nyata? Jawabannya adalah melakukan yang terbaik saat berada di kondisi terbaik dan mencoba bertahan saat ada di kondisi terburuk. Kita akan bersyukur dengan segala hal kecil yang membuat kita bahagia karena kita pernah merasakan kesedihan, dan kita tidak akan terbutakan dengan kebahagiaan karena kita tahu perasaan sedih akan kembali datang. Siklus itu akan membuat kita terbentuk menjadi pribadi yang kuat dan pastinya lebih baik. Pada akhirnya, dengan memahami segala aspek kehidupan yang dinamis, hidup bisa lebih dinikmati.