“Angka-angka ini milik siapa, ya?” Tanya Ika pada Alwi.
“Entah,” jawab suaminya itu dengan tak acuh. “Cuma kamu yang sibuk mengurusi angka-angka di sana.”
Ika menatap dalam matanya — ia tahu benar tabiat suaminya: Alwi akan memalingkan wajah, baik menunduk atau melihat ke arah lain yang bukan ke arah lawan bicaranya jika ia sedang menghindar atau mencari cara keluar dari satu obrolan yang membuatnya tak nyaman.
“Kamu tahu, berat badanku tak pernah menyentuh angka 55 kilo. Ini angka yang kelewat tinggi,” jelas Ika. “Begini, jika angka ini adalah berat badanmu, rasanya kamu tak pernah segemuk ini, dan sebaliknya aku tak pernah sekurus itu.”
Sambil berjalan ke kamar Alwi meminta Ika menyudahi perdebatan tak perlu itu, “Ayolah, mungkin saja benda itu rusak. Lagi pula cara kerjanya memang aneh. Mungkin kita berdua yang tak paham dengan kecanggihannya.”
Ika terdiam di depan timbangan itu, tahu ada yang ganjil di antara mereka berdua.
Sekitar sebulan lalu, Ika yang tak percaya diri dengan bobot tubuhnya yang kerap naik-turun, mengajak Alwi untuk pergi ke toko perabotan rumah tangga terdekat untuk membeli timbangan yang lebih canggih.
Meski enggan, Alwi menurut belaka. Sesekali memang lelaki itu melempar tanya apa pentingnya memiliki timbangan keluaran terbaru, ia bahkan tak tahu apa bedanya timbangan yang sudah mereka miliki di rumah — yang berada tepat di bawah wastafel yang berada di samping pintu kamar mandi — dengan timbangan baru yang hendak dibeli oleh Ika.
“Toh keduanya sama saja,” ujar Alwi seusai keduanya sampai di rumah. “Sama-sama menunjukan angka dari bobot tubuh kita.”
Istrinya paham kalau Alwi adalah sosok yang gagap teknologi. Suaminya itu bahkan tak pernah mengerti apa maksud dari kata “pintar” yang disematkan di nama tiap gawai yang rilis belakangan.
“Memang kelihatannya sama, tapi teknologinya berbeda,” jelas Ika dengan sabar.
“Misalnya apa?” Tanya Alwi menantang.
“Misalnya — ” Ika terdiam sesaat, memilih kalimat yang lebih mudah dipahami suaminya. “Pokoknya, begini: timbangan ini bisa memantau berapa rata-rata bobot yang berubah pada seseorang.”
Mendengar penjelasan itu Alwi berdecak, “Ah, aku tak perlu mendengar lebih jauh. Maksudku, penjelasannya pasti akan lebih rumit daripada itu, bukan?”
Dan begitulah, timbangan pintar itu berada di salah satu sudut ruangan, bersembunyi di balik kegiatan lalu-lalang setelah dan sebelum ke kamar mandi.
***
Ika kerap menimbang bobot tubuhnya sebelum dan sesudah dari kamar mandi. Hal ini ia lakukan karena ia pernah membaca di suatu media online bahwa bobot tubuh manusia juga dipengaruhi oleh gaya gravitasi bulan di malam hari, kondisi perut sebelum dan sesudah buang air, juga hal-hal lain yang belum terbukti kebenarannya. Obsesi Ika untuk mencapai bobot tubuh yang ideal membuatnya tutup mata pada faktor-faktor yang lebih konkret, misalnya, timbangan yang tidak dikalibrasi dengan baik atau timbangan yang cukup aus sehingga tidak mencapai akurasi yang maksimal.
Pekerjaannya sebagai seorang penyelia di perusahaan kuliner juga memengaruhi bobot tubuh Ika dalam beberapa aspek. Asupan gula yang masuk tak terkontrol justru membuat obsesinya pada bobot tubuh yang ideal menjadi semacam lingkaran setan: ia sepenuhnya sadar gula memaksa bobot tubuhnya meninggi, sedang kepalanya ingin bobot tubuh yang rendah.
“Lupakan saja. Kamu tak perlu mengejar angka-angka ideal itu. Maksudku, itu, kan, konstruksi sosial saja. Standar kecantikan yang penuh kebohongan,” Alwi memecah keheningan malam.
“Iya, ya? Tapi… kurasa, ini bukan bobot yang cocok. Kamu bahkan sudah tak menyentuhku lagi selama beberapa bulan belakangan.”
Sudah beberapa waktu memang Alwi enggan senggama dengan istrinya. Tiap kali mereka memiliki waktu luang, Alwi akan menghindar dengan mengatakan: “Aku perlu istirahat, kamu tahu bagaimana pekerjaanku belakangan, bukan?”.
Istrinya tahu belaka hal itu adalah alasan yang terlalu dibuat-buat, sebab sebagai seorang penulis sebenarnya Alwi tak punya banyak kesibukan yang berarti. Namun istrinya memilih menuruti apa yang dikatakan suaminya — ia enggan berdebat, paling tidak, sebelum tidur.
Hari-hari berjalan sebagaimana mestinya. Alwi mengurusi rumah selagi istrinya bekerja. Sesekali ia pergi ke toko kelontong terdekat untuk membeli cemilan dari uang digital yang dikirim istrinya di jam makan siang dengan catatan tertulis, “semangat menulisnya.”
Di hari-hari lain, ketika istrinya terpaksa lembur, ia akan menghilang dari komunikasi via pesan telepon yang intens dengan istrinya. Di saat-saat seperti itulah Alwi mengundang wanita lain ke rumahnya, dan kemudian bersenggama di kamar yang sama tempat ia dan Ika tidur setiap malam.
“Aku harus pergi ke kamar mandi,” ucap wanita itu suatu kali usai senggama di tengah hari.
“Ya, aku perlu membereskan kamar ini sebelum istriku kembali,” jawab Alwi sambil mengenakan kembali pakaian yang tergeletak di kasur. “Kau harus segera pulang sebelum pukul tiga sore.”
Wanita itu mengangguk lalu menghilang ke balik pintu. Alwi tak pernah mengikuti rangkaian kegiatan pasca hubungan badan dengan wanita itu, itu sebab ia tak pernah benar-benar tahu apa yang dilakukan wanita tersebut setelah urusannya di kamar mandi selesai.
Mereka kerap berpisah tanpa ada sedikit pun romansa yang terpercik dalam interaksi keduanya.
“Aku langsung pulang,” ujar wanita itu datar setelah merapikan diri di kamar mandi.
Dengan suara yang agak malas Alwi biasanya menjawab, “Ya, oke,” diiringi anggukan kecil. Segera wanita itu bergegas dengan mandiri menuju pintu utama, keluar, dan menutup pagar tanpa meninggalkan sedikit pun jejak yang bisa dilacak.
***
Melihat Alwi duduk di pinggir kasur dengan wajah cemas menimbulkan pertanyaan lain di benak Ika. Ia tahu ada hal yang mencurigakan, meski sejujurnya ia tak mampu meyakinkan diri jika hal itu adalah kebenaran.
“Kita mesti bicara,” ucap Ika setelah ia duduk tepat di samping suaminya.
“Ada apa?” Tanya Alwi dengan gestur yang serupa ketika ia dihadapkan pada situasi tak nyaman.
“Kau tahu, aku menyadari beberapa hal.”
“Misalnya?”
“Angka-angka yang tercatat di riwayat timbangan itu, kau tahu, bukan milikku,” terang Ika.
“Benar kah? Aku tak yakin itu apa.”
“Begini,” sambung Ika dengan ragu. “Pernah kah ada orang lain yang ke rumah ini?”
“Tentu. Maksudku, kita kerap menerima tamu; bukan?”
“Bukan. Maksudku, tepatnya, ketika aku tak di rumah,” jelas Ika dengan tegas.
Alwi hanya terdiam, ia enggan membuka suara karena tahu satu jawaban bisa menentukan nasibnya — juga nasib rumah tangganya.
Ika dengan suara yang cukup menekan menambahkan, “Kupikir, kamu hanya perlu jujur.”
Sadar ia tak memiliki ruang untuk membela diri, dengan wajah tertunduk lesu — seperti mengais iba alih-alih menyesal — Alwi bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?”
Ika bergegas keluar dari kamar, dan segera kembali membawa timbangan pintar itu.
“Angka-angka itu tercatat di riwayat dengan cukup panjang. Melihat tanggal dan selisih dari tiap riwayat timbangan, aku menebak orang itu singgah ke rumah ini cukup sering,” terang Ika sambil menaruh timbangan yang dimaksudnya di hadapan Alwi.
Alwi hanya terdiam. Ruang geraknya terbatas, ia tahu maaf tak akan menyelesaikan apa-apa — dan yang paling buruk dari melakukan kesalahan adalah mengakuinya, terlebih meminta pengampunan atasnya.
Pada akhirnya Ika hanya mampu tersenyum. Ia rapikan barang-barang ke dalam sebuah koper, dan mengucapkan selamat tinggal pada Alwi sambil memeluk timbangan pintar itu.
“Aku tak mengira kalau timbangan ini akan jauh lebih pintar ketimbang dirimu. Pada akhirnya timbangan ini milikku sendiri,” ucap Ika untuk terakhir kalinya.