Love is a Choice, sebuah novel yang ditulis oleh Wahyu Hartikasari. Pertama kali mendengar judul novel tersebut apa yang terlintas di kepala kalian? Sebuah cerita romansa picisan yang berkaitan dengan cinta segitiga atau sebuah novel yang menceritakan pilihan menuju cinta?
Saat mendengar judul buku tersebut saya mencoba menerka-nerka apa isi dari buku itu. Mungkin sebuah cerita romansa yang diceritakan dengan problema yang membuat si tokoh itu harus memilih. Namun, saya rasa tidak begitu.
Rasa penasaran itu semakin muncul setelah saya membaca penjelasan singkat yang berada di belakang buku bertuliskan “Suatu karya yang menanamkan arti kepercayaan dalam suatu hubungan serta membuat pembaca mengetahui tentang kekerasan verbal yang bisa menyebabkan trauma. Emosi dari cerita ini begitu kuat sampai ikut terbawa perasaan saat membacanya.”
Buku tersebut nyatanya mengangkat isu tak biasa, di mana dampak dari kekerasan verbal ini nyatanya punya efek domino bagi penderita. Dari tulisan tersebut semakin membuat saya penasaran apakah yang sebenarnya dialami sang tokoh hingga punya trauma sebesar itu.
Setelah menyelesaikan membaca buku tersebut kurang dari satu minggu, saya hampir tidak bisa menggambarkan isi dari novel tersebut, hanya satu kata “waaah gila kok bisa” kalimat yang terucap setelah menyelesaikan membaca buku itu. Benar-benar dibuat terpukau dengan tema yang amat jarang saya temui pada cerita romansa pada umumnya.
Ternyata novel ini jauh dari bayangan saya, memang cerita romansa seperti yang saya bayangkan namun di balik itu buku ini menceritakan bagaimana si tokoh menjalani hidupnya dengan penuh trauma. Tentang isu mental health yang kini banyak digaungkan oleh banyak orang, sehingga bagi saya novel ini sangat menarik untuk diulas.
Novel ini bercerita tentang perempuan yang menyimpan traumanya akibat trauma dari kekerasan verbal yang dialaminya sedari kecil. Diperankan oleh Nala sebagai karakter utama, Aksa, Rima, Gunawan dan tokoh pendukung lainnya. Cerita ini semakin kompleks dengan penggambaran karakter yang memiliki sifat berbeda-beda.
Dibuka dengan keseharian Nala yang hidup berjauhan dari orang tuanya. Hidup yang dijalaninya bisa dibilang normal, bekerja dan bersosialisasi layaknya orang pada umumnya, namun di hati kecil Nala menyimpan sebuah rasa kesepian. Sampai suatu hari Nala harus kembali ke rumah karena perintah sang Ayah. Semuanya nyatanya masih sama, mereka tetap mengabaikan Nala yang membuat perasaan trauma itu kembali muncul.
Sejak kembali ke rumah ayahnya, tak ada lagi kehidupan normal seperti yang diharapkan. Mereka saling hidup masing-masing meskipun berlabel keluarga. Bukan hanya itu kerap kali mendapatkan kekerasan verbal juga semakin membuat korban merasa terintimidasi. Orang yang katanya keluarga itu tanpa Nala semakin terpuruk.
Sangat jelas di sini banyak yang masih belum peduli akan mental health, bahkan tak jarang orang-orang kerap menganggap orang yang memiliki gangguan itu bermental lemah. Apa yang terjadi jika hal itu terus dibiarkan tanpa diberi pertolongan. Bagaimana korban menjalani hidup, memendam keterpurukan dan memutuskan mengakhiri hidupnya. Banyak yang tak peduli, namun hal itu bisa dicegah melalui hal kecil.
Selain itu, novel ini juga menceritakan bagaimana dukungan dari orang-orang di lingkungan itu dapat membantu memulihkan korban dari rasa trauma yang dimilikinya. Mereka tak hanya membuat lingkungan yang nyaman, namun juga memberikan apa yang dibutuhkan sang korban. Memberikan dukungan dalam bentuk kepercayaan dan rasa nyaman, mampu membuat korban mengalihkan pikiran dari hal negatif.
Ada sebuah kalimat yang sangat melekat untuk saya setelah membaca novel ini “Terkadang Nala bertanya-tanya apa yang telah ia perbuat sampai-sampai Tuhan memberinya jalan hidup seperti ini. Lahir dari keluarga terpandang tetapi dirinya seperti orang asing, tanpa kasih sayang yang ia dapatkan. Saat anak-anak lain mendapatkan pelukan dan ciuman saat meraih prestasi, dirinya hanya mendapatkan ucapan selamat lalu,..” dari kalimat tersebut saya memahami bahwa terkadang tanpa kita sadari orang yang memberikan luka yang begitu hebat adalah keluarga.
Membaca novel ini membuat saya berimajinasi dan berempati terhadap kondisi mental orang lain. Saya belajar cara memberikan pertolongan dan mengatasi trauma. Semua emosi yang dituangkan dalam novel ini—marah, sedih, bahagia, takut, dan jijik—dituliskan dengan sempurna, membuat pembaca benar-benar merasakan setiap momen dalam cerita.
Begitulah sensasi yang saya rasakan saat membaca *Love is a Choice*. Buku ini benar-benar membuka mata dan hati tentang pentingnya dukungan dalam menghadapi trauma. Mungkin, setelah membaca novel ini, kalian juga akan menemukan cerita yang berbeda dan merasakan emosi yang sama seperti yang kurasakan.
Bagusnya lagi novel ini juga membuat kita berimajinasi tentang cerita-cerita yang ditulis, membuat tanda tanya sendiri tentang hal yang terjadi dalam novel tersebut. Kita diajak untuk berempati terhadap kondisi mental orang lain, cara memberikan pertolongan dan mengatasi trauma. Terlebih lagi semua emosi yang dituliskan di novel seperti rasa marah, sedih, bahagia, takut dan jijik ditularkan secara sempurna kepada pembaca. Begitulah sensasi yang saya rasakan saat membaca novel Love is a Choice, mungkin kalian bisa menemukan cerita yang berbeda setelah membaca novel tersebut.