Pada masanya, Siantar Rap Foundation (SRF) pernah menjadi salah satu bagian dari ekosistem musik tradisi yang punya pengaruh dalam kehidupan budaya anak-anak muda daerah dan kota, di sudut-sudut bumi yang punya anak muda Batak. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya unggahan video Tiktok yang memakai lagu-lagu SRF sebagai musik latarnya, seperti “Boru Ni Raja”, “Sik Sik Sibatumanikam”, “Sapele Sapele”, dan “Dainang”.
Tahun 2014, ketika saya masih berseragam putih biru, menjadi masa awal mendengar musik SRF. Saya lupa bagaimana kisah pertemuan itu, namun sebagai anak muda yang lahir di perkotaan, dengan keluarga yang tidak terlalu masif untuk mempopulerkan budaya daerah, bahkan lingkungan pun jauh dari aktivitas kebudayaan, kehadiran SRF bak penyelamat dari kehilangan identitas diri. Mereka adalah grup musik hiphop alternatif asal Pematang Siantar, Sumatera Utara, yang punya kekuatan pada musik akulturasinya yang mencampurkan elemen musik elektronik dengan instrumen tradisi seperti taganing, suling bambu, hasapi, dan diikuti rapnya yang menyelipkan bahasa daerah.
Akulturasi menjadi kata kunci keberhasilan proses kreatif mereka. Disaat anak muda lebih punya kedekatan dengan gaya hidup modern dibandingkan sisi kedaerahannya, karena dipengaruhi oleh budaya populer salah satunya adalah musik, mereka memanfaatkan kesempatan itu untuk mencatat lanskap kehidupan dan memamerkan kebudayaan Batak melalui lagu-lagu yang menjadi dokumentasi, atau sebagai sebuah arsip yang digunakan untuk keberlanjutan belajar mengenal budaya dan silsilah serta dinamika yang ada di dalamnya.
Hal ini juga mengingatkan saya pada perkataan Resmadi (2018) dalam bukunya yang berjudul “Jurnalisme Musik Dan Selingkar Wilayahnya”, bahwa rasanya menjadi sangat beralasan melihat hubungan musik dan anak muda, karena musik adalah salah satu ekspresi kreatif yang banyak dilakukan oleh anak muda.
Lalu pada malam kekalahan Indonesia melawan China di Kualifikasi Piala Dunia (Selasa, 15/10/2024), saya tak ingin murung dan berusaha mencoba good mood dengan memutar kembali album lama mereka yang ternyata membangkitkan core memory di masa-masa remaja. Tepat delapan tahun yang lalu, ketika di kota Hujan tempat saya tinggal, maupun saat dalam perjalanan pulang kampung menuju Tebing Tinggi dan Pakkat (sebuah kecamatan di provinsi Sumut), album Tobanese menjadi salah satu yang sering saya putar, dan album ini adalah andalan saya ketika sedang menghabiskan waktu.
Lagu-lagu di dalamnya yang masuk ke dalam daftar favorit saya adalah “Boru Ni Raja” yang isinya tentang sebuah pesan atau ajakan untuk mengingat konsep pernikahan Batak, yakni lelaki Batak seharusnya meminang perempuan Batak, ataupun sebaliknya, karena hal itu berkaitan dengan nilai-nilai luhur. Walaupun sebenarnya di era modern saat ini, khususnya di lingkungan perkotaan, pemikiran tersebut sudah mulai luntur. Misalnya, yang tadinya diharuskan menjadi dianjurkan, tergantung kesepakatan masing-masing keluarga.
Teringat ketika saya bernegosiasi kepada orang tua tentang hubungan percintaan yang akan saya jalani di masa yang akan datang. Mereka merespon dengan sebuah rekomendasi yang disertai penjelasan berdasarkan testimoni mereka. Hal itu membuat fleksibilitas menjadi terasa. Tidak lagi kaku seperti jaman orang tua dulu, ataupun tidak menjadi sebuah kekang. Dan justru respon tersebut yang bikin saya mengalami keterbukaan dalam menanggapi budaya ini. Namun perbincangan tersebut tidaklah serius. Akhirannya bergantung begitu saja, karena saya hanya iseng melontar topik. Saya pun tidak menyiapkan jawaban-jawaban pamungkas untuk memenangkan perbincangannya. Lalu dari perbincangan itulah saya mendapatkan konsep pernikahan batak ini punya beberapa alasan penting untuk dipertimbangkan.
Pertama, sebagai cara untuk melestarikan silsilah keluarga. Misalnya, marga atau nama famili dalam budaya Batak sangat penting karena diwariskan secara patrilineal (melalui garis keturunan laki-laki) dengan cara dinikahkan dengan sesama Batak, sehingga marga dan garis keturunan dapat dipertahankan. Pernikahan antar sesama Batak juga punya kepentingan untuk memudahkan dalam menjalankan adat istiadat, terutama terkait dengan upacara adat pernikahan dan hubungan kekerabatan setelah menikah.
Kemudian konsep tersebut juga menjadi alternatif untuk mencapai keakraban. Ketika menikahi yang sesama suku, maka kemungkinan besar tidak lagi mempusingi tentang perbedaan kebudayaan dalam menjalani kehidupan di lingkungan domestik atau umum. Kedua pasangan tentunya sudah saling memahami kultur dalam Batak, kemudian bagaimana treatment kepada pasangan dan anak-anak, dan bermacam-macam tantangan lainnya–karena sebelumnya sudah tercermin dari kehidupan ayah dan ibu. Tentu mengenai treatment ini harus tetap dibarengi dengan belajar memahami generasi–misalnya orang tua dan anak–agar relevansi bisa tetap berjalan beriringan dengan pelestarian budaya.
Berikutnya, lagu “Hapogosonta” menjadi urutan kedua dalam deret favorit saya. Dan saya akui bahwa lagu dengan tema keluarga tak pernah gagal menyentuh sisi sensitivitas manusia. Mendengarkan lagu macam ini selalu berhasil meruntuhkan tembok kekerasan hati dan menghasilkan perenungan mendalam yang bahkan bisa dihiasi tangisan. Lagu tersebut mengambil perspektif sang anak yang memohon doa agar dapat membalas segala usaha-usaha orang tua dengan cara menyenangkan hati mereka. Suasana tersebut digambarkan dengan musik yang sederhana, menampilkan suara gitar akustik pada intronya, kemudian digawangi oleh alunan musik trap yang bercampur dengan permainan taganing, hasapi, dan ambience, sehingga menciptakan suasana yang relaks.
Setelah menikmatinya dengan khusyuk, saya jadi teringat kembali bagaimana usaha orang tua di lingkungan kota yang keras, harus bermandikan keringat, mengalami tumit yang pecah-pecah, tangan yang tak mulus lagi, demi membuat anak-anaknya mencapai pendidikan tinggi. Sesekali juga kedapatan mereka sedang dalam kondisi wajah yang lelah, kaki yang selalu dipijat tiap malam, hingga kedapatan melihat mereka terlelap dalam tidur yang mendengkur. Semua demi anak. Itulah sihir dari si lagu pembangkit core memory, “Hapogosanta” (“kemiskinan kita”).
Kemudian “Dalihan Na Tolu” menjadi urutan terakhir yang cukup berdampak pada cara pandang saya dalam melihat nilai-nilai kebudayaan Batak. Secara sadar saya mengingat bahwa orang tua pernah memberitahukan perihal satu konsep filosofi yang menjadi konstruksi sosial yang harus dijalani oleh warga Batak. Namun saat itu saya masih hah heh hoh. Saya mulai mengenal konsep tersebut, ketika mendengarkan lagu ini. Bahwa konsep filosofinya dinamakan Dalihan Na Tolu yang artinya “tungku yang berkaki tiga”. Ini semacam pancasila, namun hanya terdiri dari tiga saja. Bunyinya seperti pada lirik awal kalimat dalam lagu ini yang mengatakan somba marhula-hula / elek hita marboru / hita sabutuha manat mardongan tubu.
Somba Marhula-Hula punya arti sebagai pengingat untuk menghormati pihak istri yang ditandai sebagai sumber berkat, yaitu keturunan. Keturunan diperoleh dari seorang istri yang berasal dari hula-hula (kelompok marga istri). Singkatnya, menjadi sebuah kewajiban bagi suami untuk menghormati hula-hula karena tanpa hula-hula maka tak ada istri, dan kalau tak ada istri maka tak ada keturunan.
Elek Marboru menjadi penyeimbang dari yang sudah dijelaskan di atas. Jika sebelumnya sang suami diwajibkan untuk menghormati hula-hula (pihak istri), maka dalam Elek Marboru, hula-hula diwajibkan untuk punya sikap lembut, dan menyayangi menantu laki-laki dan anak-anaknya (sebagai Boru).
Lalu yang terakhir, Manat Mardongan Tubu menjadi pelengkap dari keduanya. Kehadiran kaki ketiga ini menekankan kepada hubungan saudara sedarah dan semarga yang harus saling tolong menolong dengan segala macam cara, agar tali persaudaraan tidak terputus. Karena hubungan persaudaraan inilah yang paling rentan terjadi perselisihan. Dalam lagu tertulis sebuah pengandaian bahwa ‘kayu yang berdekatan akan saling bergesekan’. Artinya, dalam lingkungan keluarga, potensi terjadinya perpecahan juga ada di antara kakak-beradik. Kemudian pengandaian itu diperlengkapi dengan lirik yang menghimbau begitu dekat semarga // cegah konflik kepentingan.
Akhirnya proses mendengarkan itu membawa saya kepada sebuah keberlanjutan. Ada rasa penasaran yang memicu daya tarik untuk mulai mempertanyakan apa itu marga? Siapa nenek moyang saya? Dimana mereka tinggal? Bagaimana nama famili bisa mempengaruhi kehidupan bermasyarakat? Sampai akhirnya lebih dalam lagi kepada pemikiran bagaimana aturan adat relevan dengan kehidupan sehari-hari?
Kemudian perjalanan mendengarkan itu juga menyadarkan saya untuk jangan pernah malu bahkan lupa dengan budaya dan silsilah kita, karena bisa berefek kepada kebudayaan yang bisa hilang kalau tak dilestarikan. Atau bisa juga diakuisisi oleh Upin Ipin. Jangan sampai. Barangkali kalau kita lestarikan budaya dan mengingat tentang silsilah, maka generasi berikutnya tidak mengalami kehilangan identitas. Dan ini juga sebuah keuntungan apabila keturunan kita di naturalisasi jadi pemain timnas.
Melalui sebuah lagu atau album penuh yang diciptakan untuk membawa narasi yang bertema kehidupan sosial, politik, dan budaya, dapat menciptakan ekosistem musik yang sehat, berperikemanusiaan, dan berilmu pengetahuan.