Bibliosida: Mengapa Buku-Buku Dibakar? Mengapa Benda Mati Itu Dihukum?
Bibliosida: Mengapa Buku-Buku Dibakar? Mengapa Benda Mati Itu Dihukum?

Suatu ketika Jorge Luis Borges mengatakan satu hal penting tentang buku: “Buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi.” Dari segala aktivitas kebudayaan manusia, buku adalah hal yang sangat istiewa, karena ia merupakan perangkat tak tertandingi dalam pengorganisasian sosial dan penyebaran ingatan. Itulah mengapa buku menjadi bagian tak terpisahkan dari perjalanan, juga sejarah, umat manusia. Namun, dalam sejarah panjang umat manusia, beberapa buku-buku ditakuti dan beberapa lainnya berusaha dimusnahkan.

Pada dasarnya, pembakaran buku bukanlah sekadar kertas terbakar yang kemudian jadi abu, melainkan yang dihancurkan adalah ingatan dan sejarah—dan pemusnahan buku paling sering dimotivasi oleh alasan politik atau agama. Orang-orang yang menurut kekuasaan atau kelompok tertentu tercela, buku mereka akan dilarang, dan paling buruk dibakar. Kekuasaan yang totaliter melihat buku seperti melihat moncong senapan.

Demikianlah bibliosida: upaya membasmi, baik dilakukan secara langsung (pembakaran) maupun tidak langsung (pelarangan), buku-buku yang mengancam dan berpotensi menguasai atau mengungguli buku maupun ingatan lain. Satu hal penting lain: jika kita tidak membaca, kita juga berpartisipasi dalam bibliosida. Kita memang tidak membakar buku-buku, tapi tidak membaca juga berarti tidak merawat sejarah dan pengetahuan dan itu tidak lebih baik dari membakar buku-buku. Buku-buku memang mudah hancur dan terbakar, tetapi ada bahaya lain yang lebih menakutkan: ketiadaan minat membaca.

Repertoar Peristiwa Pembakaran Buku

Kala itu, sekitar 1595 SM, perpustakaan Babilonia sangat ramai kegiatan dan dipenuhi puluhan ribu tablet-tablet. Di perpustakaan kuna ini pula terdapat satu naskah epik yang juga kita kenal sampai hari ini, yakni Epos Gilgamesh, puisi epik yang bercerita tentang perjalanan panjang dan penuh marabahaya Gilgamesh untuk mengungkap dan menemukan rahasia kehidupan abadi. Namun, pada 689 SM, pasukan Sanherib menyerbu Babilonia, peperangan itu menyebabkan Perpustakaan Babilonia runtuh, dan ribuan tablet hancur.

Dalam usahanya menerapkan keseragaman, Shih Huang Ti, penguasa imperium Tiongkok pada 215 SM, menjadi salah satu penghancur terbesar sepanjang sejarah. Kengerian itu terjadi pada 213 SM, ketika Shih Huang Ti menyetujui pembakaran ribuan buku. Karena kebijakannya, para aparat Shih Huang Ti mendatangi rumah-rumah untuk menyita buku, lalu dibakar ke dalam api unggun. Tak hanya buku, lebih dari 400 cendekiawan Tiongkok masa itu yang tak patuh pada titah raja dikubur hidup-hidup, dan keluarga mereka dikucilkan.

Perpustakaan Alexandria terletak di kompleks istana, di dalamnya terdapat balairung, juga ampiteater lengkap dengan kursi-kursi, dan rumah besar untuk makan.  Dinding-dindingnya berlukiskan simbol-simbol alegoris, di dalamnya penuh dengan lorong dan selasar, dan kebun binatang terhubung langsung dengan perpustakaan. Peristiwa pertama yang menjadi kemunduran perpustakaan Alexandria terjadi pada 48 SM, ketika Yulius Caesar dikepung oleh pasukan Romawi dan terdesak, ia membakar kapal-kapal mereka sendiri untuk menahan armada musuh. Nahasnya, api menjalar ke dermaga, dan 40.000 buku hangus. Puncaknya, karena beberapa peristiwa, seperti kematian tragis Hypatia dan kematian beberapa pustakawan, pada akhirnya perpustakaan Alexandria yang mempunyai koleksi 700.000 gulungan papirus itu runtuh pada 412 Masehi.

Pada 1257, Hulagu Khan, cucu Genghis Khan, mengulangi kebengisan masa lalu kakeknya di Baghdad. Persisnya pada 15 November 1257, pasukannya menyeberang lewat Tigris, menyerang dengan membabi-buta, dan menyebabkan desa-desa di pinggir Baghdad jadi remuk. Dalam empat jam pertempuran, 12.000 orang tewas. Setelah tiga bulan peperangan, pada 4 Februari 1258, pertahanan Baghdad rubuh. Pasukan Hulagu mengambil alih kota dengan 500.000 mayat bergelimpangan di jalan-jalan. Kemenangan pasukan Mongol ini menyebabkan ribuan judul naskah di perpustakaan, bersama ribuan mayat-mayat rakyat Baghdad, dibawa ke muara sungai Tigris. Sungai Tigris jadi abu-abu bercampur merah darah,

Selama Revolusi Prancis yang dimulai sejak tahun 1789, perpustakaan tak luput dari amuk revolusi. Di Paris, misalnya, lebih dari 8.000 buku dirusak; di wilayah lain di Prancis, lebih dari empat juta buku hancur, dan 26.000 di antaranya adalah manuskrip kuno. Tiga tahun setelah dimulainya revolusi, pada 17 Juni 1792, ratusan buku dan pamflet dibakar dan jadi abu di depan Place Vendome. Revolusi Prancis yang berhasil menumbangkan rezim feodal itu juga punya sisi gelap; bukan hanya rezim feodal, jutaan buku juga ikut hancur.

Di antara dua malam 23 Mei dan 24 Mei pada tahun 1871 yang fatal itu, api mengamuk di perpustakaan Louvre, Paris. Terbakarnya perpustakaan Louvre dengan kekayaan literatur yang teramat sangat itu membuat Prancis mursal, dan dunia ikut terpukul. Pada 23 Mei 1871 yang sama, Istana Kerajaan yang menjadi tempat Dewan Negara bertugas, dibakar dan naskah-naskah jadi hangus. Emile Zola menulis dengan panik dan terbata-bata di hadapan Istana Kerajaan yang sedang dijilat api itu: “Api besar sekali, meraksasa, sangat mengerikan, bongkahan batu besar, serambi lantai dua, memuntahkan api.” Komune Paris 1871 membuat jalan-jalan tak lagi tertib, negara limbung dan perpustakaan dijilat-jilat amuk api.

Pada Mei 1933, setelah Hitler naik menjadi pemimpin tertinggi Jerman, seluruh jejak-jejak Yahudi dibersihkan dari kebudayaan dan literatur Jerman. Skalanya seantero negeri, pembakaran serentak terjadi di kota-kota Jerman. Di Frankfurt, buku-buku diangkut dengan truk, para mahasiswa berdiri memanjang dan melempar dari satu tangan ke tangan lain sampai ke tempat pembakaran. Di Berlin, ratusan orang berkumpul menyaksikan pembakaran buku-buku, dengan tawa dan tangan kanan terangkat 45 derajat. Setelah Nazi menguasai separuh Eropa, amuk Hitler terhadap kebudayaan Yahudi tetap berlanjut. Ratusan sinagog beserta perpustakaannya hancur, dan jutaan buku tak luput dari pembakaran. Majalah Times menyebut tindakan keji ini sebagai bibliocaust.

Pada 25 Agustus 1992, Perpustakaan Nasional Bosnia-Herzegovina di Sarajevo, yang dibuka sejak 1986, dibombardir artileri sejak pukul 10:30 malam. Perpustakaan yang membawa nilai budaya dan pengetahuan itu terbakar, malam itu kertas dan sejarah jadi abu. Di malam itu manusia dan peluru-peluru berperang melawan kertas-kertas dan tembok-tembok.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here