Tok, tok, tok “suara pintu”.
“Nak, ayo bangun. Bersiaplah pergi ke Sekolah,” perintahnya.
Itulah suara Mama yang memerintahku untuk lekas mandi dan pergi ke sekolah. Selain itu, roti dan susu sudah dihidangkan di atas meja.
Sebelum, pergi Mama tak pernah lupa untuk menciumku. Katanya sih sebagai simbol doa darinya.
Sementara itu, Ayah bertugas mengantarku menggunakan motor bututnya. Inilah kehidupan pagi hari sebelum dan ketika berangkat ke sekolah.
Sesampainya di sekolah. “Fri!”
Suara tidak asing terdengar menyebut namaku. Tak lain tak bukan ialah Pak Andi, tukang kebun sekolah kami.
Beliau orang yang baik dan ramah. Hampir seluruh siswa yang belajar di SMA Ibrahimy ia kenal hingga mengetahui alamat rumah mereka.
Pak Andi lebih rajin dibanding kami. Ia pernah bercerita bahwa pukul 05.30 WIB sudah berangkat ke sekolah. Bahkan, kadang kala ketika pratikum soal tumbuhan, ia sering menggantikan guru di sekolah untuk menerangkan soal tumbuhan.
Selian itu, ia lihai dalam mengajarkan kami. Semua tumbuhan berserta nama ilmiah, kegunaan, hingga sejarahnya pun Pak Andi kuasai. Padahal, Pak Andi bukan lulusan sarjana, namun ia amat mengerti.
Tentu, karena hobi membaca yang membuat Pak Andi menjadi seorang kutu buku hingga ia mengerti banyak hal. Sekilas aku jadi teringat adagium yang berbunyi “rajin pangkal pandai”.
“Iya, Pak Andi. Selamat Pagi,” sapaku. Sambil menyapa, aku menghampirinya.
Aku berniat untuk meminta bunga mawar kesukaanku. Ketika aku menghampirinya, Pak Andi sedang membersihakan rumput teki di sekitar bunga mawar.
“Pak, apa boleh aku minta bunga mawar merah-indah itu?” tanyaku. Ia tersenyum, karena itulah ciri khasnya.
“Tentu boleh, Frida. Kamu ingin minta berapa batang?”
“Tiga batang sudah cukup, pak Andi.”
“Baiklah, Frida. Ini kuberikan untukmu. Nama ilmiahnya Rosa centifoliamaaf. Nama yang cantik bukan? Hati-hati terkena durinya!”
“Iya, terima kasih Bapak”.
“Sama-sama, Fri. Mengapa kamu suka dengan bunga mawar?”
“Bunganya indah dan harum, Pak.”
“Ya, seperti itulah keinginan semua orang ketika mengenal orang, fri. Bunga itu memang cantik. Bukan hanya itu, harumnya mengundang serangga untuk menghampirinya.
Selanjutnya, serangga itu menghisap madu dari bunga tersebut hingga tercipta sebuah hubungan mutualisme. Kamu tau kan hubungan simbosis tersebut? Saling membutuhkan satu sama lainnya.
Bahkan, hubungan itu yang selalu diharapkan oleh manusia. Kalau katanya bapak Presiden yang keempat, ‘Paling utama dalam pertemanan adalah mutualisme’”.
Aku membisu tak dapat menimpali nasehat itu. Padahal hanya sekedar bunga, namun ia memiliki makna yang begitu indah.
Tiba-tiba aku memikirkan, seandainya setiap materi yang diajarkan di sekolah selalu dibumbui seperti gaya Pak Andi menerangkan.
Sungguh, tak perlu ada materi budi pekerti. Sebab, itu hanya sekadar teori yang kadang kala tak dipraktikkan.
“Kenapa kamu bengong, Fri?”
“Tidak apa-apa, Pak. Saya boleh tanya ke Pak Andi?”
“Silahkan, Nona. Yang penting tidak soal matematik,” ledeknya.
Kita tertawa, hingga mengundang tatapan siswa yang baru datang ke sekolah.
“Mengapa Bapak memilih menjadi tukang kebun? Bukankah Bapak itu pintar, bahkan kadang kala bisa melampaui guru, apalagi soal tumbuhan?”
“Begini, Fri (dengan senyuman). Saya ini, hanya lulusan SMA, mana mungkin berguna di negeri ini. Ketika masih muda ingin sekali melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tapi, sayang. Saya bukan orang kaya. Bahkan, untuk makan saja saya harus membantu orang tua berjualan kerupuk di sekitar pasar rumah saya.”
“Bukankan ada beasiswa. Mengapa tidak mencari beasiswa?”
“Dulu tidak ada, Fri. Sekitar tahun 1980-an itu kalau tidak salah sulit sekali mendapat beasiswa. Kalau orang tuanya tidak golongan kuning.”
“Maksud Bapak?”
“Nantilah. Kamu pasti akan mengetahuinya ketika kamu kuliah.”
“Kalau begitu Pak, Mengapa Bapak memilih mejadi tukang kebun dibanding lainnya?”
“Iya, Fri. Menjadi tukang kebun bukan soal keren atau tidak. Tapi, soal “rasa”. Ketika merawat tumbuhan, apalagi ia tumbuh dan berbuah atau bahkan bermekaran, itu rasanya nikmat, Fri.
Lagi-lagi seperti manusia. Tugas manusia hanya satu sebenarnya, “saling”. Maksudnya, saling menolong, saling memberi, saling percaya, dan saling merawat. Kata agamaku seperti itu, Fri.”
“Lalu, Pak?”
“Menjadi tukang kebun itu sama halnya merawat hubungan dengan alam. Bahkan, nantinya juga berimbas pada manusia. Misalnya, tadi kamu minta bunga mawar.
Bukankah bunga mawar itu dari alam? Lalu, saya ditugaskan oleh alam melalui Kepala Sekolah untuk merawatnya. Ketika ia mekar, membuat manusia bahagia karena keindahannya.”
Kringgggggggggg (Suara bel)
“Aduh, bel sudah bunyi, Pak. Saya belum puas. Semoga esok bisa kembali bercerita tentang bunga mawar dan Pak Andi, ya.”
“Baik, Fri”
“Dahhh, Pak”