Deris begitu gembira dengan kehadiran laron-laron pada malam hari itu. Dengan berbekalkan toples kue coklat, Deris mengambil satu per satu laron yang sedang merambat di tembok atau yang hinggap di tubuhnya. Untuk menangkap laron yang sedang terbang, Deris sudah menyiapkan kantong kresek yang kedua pegangannya ditarik setengah berlari sehingga kresek berukuran sedang itu menggembung dan menjaring laron-laron yang sedang terbang di hadapannya.
Sebenarnya yang menjadi sangat menarik bagi Deris malam itu di samping menangkap laron sebanyak-banyaknya adalah sensasi dikerubungi laron dan pemandangan laron berterbangan memenuhi ruangan yang siangnya dipakai ayahnya bekerja sebagai kepala Kantor Pos di Desa Kidungmulya.
Ritual pertama yang ia lakukan sebelum menangkap laron adalah berlari menerjang kawanan laron yang beterbangan berputar-putar mengitari cahaya lampu terang yang menempel di langit-langit rumah berwarna putih. Deris seolah masuk ke alam lain yang penuh kesukacitaan. Deris mengangkat kedua tangannya setinggi bahu dan meluruskannya seolah memberikan tubuhnya untuk dihinggapi ribuan laron yang hadir malam itu.
“Ayo Deris kita mulai tangkapi laronnya” Seru Gilang
Seolah tak mendengarkan apa-apa, Deris masih meneruskan kekhidmatan ritualnya. Senyumnya terus mengembang sambil agak menyipitkan matanya karena banyak laron terbang menerpa wajahnya. Hampir seluruh baju Derys dipenuhi dengan laron. Dia tak menghiraukan ajakan Gilang. Ia ingin untuk sementara waktu benar-benar menikmati suasana yang indah baginya ini.
Beberapa saat setelah itu Deris memutar tubuhnya dari perlahan menuju agak cepat sehingga laron yang mengerubungi tubuhnya terlempar dan berhambur beterbangan. Selanjutnya Deris langsung mengambil toples kue coklat yang sudah dikosongi dalamnya untuk tempat laron dan segera menyusul Gilang yang sedari tadi sudah mulai memenuhi botol air mineralnya dengan laron.
“Gilang jangan habiskan semuanya, sisakan untukku!” tukas Deris.
“Masih banyak Der, tenang saja. Belum datang semuanya” kilah Gilang sambil tetap berkonsentrasi pada laron-laron tanpa melihat ke Deris.
Tak lama kemudian datanglah Marina, Evelyn, dan Ranni. Mereka masih membawa tas karena habis pulang dari les di rumah bu guru Sonya.
“Hai Deris, Gilang,” sapa Marina di depan pintu sambil mengibas-ngibaskan tangannya untuk menampik laron yang datang ke arahnya.
“Hai Marina… Evelyn, Rani…” jawab Gilang dengan girang.
“Kamu tidak ikut les ya ini tadi?” tanya Rani.
“Oh ini tadi aku sudah mau berangkat, tapi diajak Deris untuk menangkap laron hehe…” jawab Gilang polos sambil meringis dan melirik Deris.
“Oh tidak-tidak! Aku hanya bilang akan ada banyak laron hari ini. Sangat menyenangkan kalau malam ini berburu laron” sanggah Deris.
“Ah itu kan sama saja mengajak” sela Gilang sambil tersenyum.
“Ah tidak-tidak! Hei!” seru Deris sambil mendorong lengan Gilang
“Eh sudah-sudah. Kalian sama saja. Bilang saja kalau malas belajar” Tukas Rani
“Ah tidak apa-apa kan mereka juga belajar. Belajar menangkap binatang” ucap Evelyn sambil tersenyum.
“Memang tadi banyak yang datang?” Tanya Deris.
“Semua datang hanya kalian berdua yang tidak masuk”
“Oh iya kita ke sini hanya mengingatkan saja kalau besok ada tugas pelajaran Bahasa Indonesia”
“Oh iya besok ya” kata Gilang sambil garuk-garuk kepala
“Iya, mau kapan?” timpal Marina sambil memutar bola mata.
“Sudah menyiapkan kan apa yang diceritakan besok kah?”
“Mmmm…. gimana Ris?” Tanya Gilang kepada Deris.
“Ini…” jawab Deris seraya mengangkat tangannya yang memegang seekor laron sembari memamerkan senyum lebarnya.
“Terserah kamu sudah. Yuk kita pulang!” ajak Marina kepada Evelyn dan Ranni. Mereka pun segera bergegas pulang. Sementara Deris dan Gilang kembali kepada kekhusukannya lagi memenuhi toplesnya dengan laron.
***
Keesokan harinya ketika pelajaran Bahasa Indonesia, Deris dengan percaya diri maju ke depan setelah namanya dipanggil Bu Rina untuk maju ke depan.
“Deris….”
“Iya bu…”
“Apa yang akan kamu ceritakan kepada teman-teman?”
“Mmm… tentang… sebentar bu, saya ambil toples saya di bawah meja”
Deris segera berlari menuju bangkunya dan meraih toples yang hampir penuh oleh laron yang sebagian besar sudah dicabuti sayapnya atau memang rontok dengan sendirinya.
“Ini bu….”
“Apa itu? Laron?” tanya Bu Rina sambil menarik kedua ujung bibirnya ke bawah karena merasa jijik.
“Iya bu, saya mau bercerita tentang laron” jawab Deris dengan meyakinkan.
“Baik. Silahkan…” jawab bu Rita sambil menunjuk tangannya ke sisi tengah depan kelas.
“Iya bu”
Sejenak Deris mengatur sikap berdirinya agar lebih tegak.
“Laron…. Laron adalah binatang yang unik. Setelah hujan deras di siang hari mereka sering mendatangi rumahku. Kadang sedikit, kadang juga banyak. Aku senang ketika rumahku dipenuhi oleh laron. Ada yang terbang berputar-putar, ada juga yang tak bersayap dan berjalan berbaris. Laron bersayap selalu bergerak menuju tempat yang terang. Aku selalu senang ketika laron-laron itu mendarat dan merayap di kepala atau bajuku. Aku suka mengumpulkan mereka ke dalam satu wadah. Aku biasanya menangkap laron dengan temanku. Kita adu ketangkasan siapa yang menangkap laron paling banyak. Dan keesokan harinya aku melepaskan mereka agar kembali masuk ke dalam tanah…..”
“Tapi kamu tidak memakannya kan?” tanya Dony yang mengundang gelak tawa teman sekelas.
“Pernah sih. Dulu. Digoreng garing dan juga pernah ibuku membuatkan rempeyek laron. Tapi memang rasanya kurang enak. Akhirnya aku pusing dan muntah-muntah.”
“Lalu apakah tidak masuknya Gilang hari ini karena sakit akibat makan laron?” tanya Yusi curiga.
“Mmm…aku tidak tahu. Tapi memang tadi malam kita iseng untuk merasakan bagaimana rasanya memakan laron mentah. Aku memakan tiga, sedangkan gilang lima ekor”
“Hiiiii……” Seru seluruh siswa seolah seperti paduan suara.
“Ya tapi saya belum tahu dia sakit karena makan laron mentah kah atau karena penyebab lainnya,” timpal Deris.
“Makanya jadi anak jangan aneh-aneh!” celetuk Joni sambil cengengesan.
“Lalu kapan mau kau lepaskan laron-laron di toples itu?” Tanya Bu Rina sambil mengerutkan wajahnya.
“ Aku lepaskan habis ini di persawahan belakang sekolah bu,” jawaban Deris itu berbarengan dengan bel tanda pelajaran telah usai.
Sesuai janjinya, Deris membuang semua laronnya di sawah belakang sekolah. Setelah itu Deris mencuci toples yang berisi rontokan sayap laron di kran depan toilet sekolah.
Hari ini juga merupakan hari terakhir Deris sekolah di SD Negeri 3 Argomulyo. ia berpamitan kepada guru dan teman-temannya setelah bel akhir pulang sekolah berbunyi. Ini merupakan pengalaman pertama dalam hidupnya tentang beratnya berpisah dengan orang-orang terdekat.
***
Hari ini genap satu tahun Deris pindah rumah bersama keluarganya karena ayahnya pindah dinas ke Kota. Sambil duduk di ruang tamu setelah mengerjakan tugas dan belajar malak, Deris teringat suasana riang di Desa Kidungmulya ketika seekor laron hinggap di bukunya. Laron itu memantik ingatan-ingatannya ke sebuah tempat ia dibesarkan hingga kelas 4 SD.
Deris memungut laron itu dan mendekatkan ke wajahnya. Seketika bayangan tentang keceriaan dan kegembiraan malam hari menangkap laron bersama Gilang dan teman-teman lainnya datang. Suasana SD Negeri 3 Argomulyo yang nyaman dan asri dan juga susasana jalanan Desa Kidungmulya yang lengang dan rumah-rumah warga yang masih jarang. Pepohonan rindang dan juga suara tonggeret yang khas di tengah hari.
Dalam lamunan sepi yang menghanyutkan di ruang tamu, perlahan laron yang datang menghampiri Deris semakin banyak. Semuanya merubung Deris dari kaki, perut, hingga kepalanya. Deris memejamkan mata sambil tersenyum sebelum akhirnya lenyap bersama laron-laron itu di tengah malam. (*)