Jangan Membunuh Anak Kecil Itu, Mari Kita Sembuh
Jangan Membunuh Anak Kecil Itu, Mari Kita Sembuh

Pagi- pagi yang menjulang, di balik pasar yang ramai orang berlalu- lalang, entah tidak tahu mengapa, ada seseorang menitipkanku anak kecil yang lugu. Umurnya sekitar 7 tahunan. Ia sudah fasih bercakap- cakap dengan lancar, mengucapkan kata- kata yang sederhana, tapi memiliki banyak makna. Kata seseorang yang menitipkanku, ia bilang jaga anak kecil ini jangan biarkan dia sendirian. Atau jangan sampai engkau membunuhnya.

Kaget dengan pertanyaan itu, aku pun pemuda lugu, juga bukan psychopath, mengapa seseorang itu, menitipkan dia kepadaku, lalu meninggalkanku dengan sekejap mata. Ada yang aneh perihal perkataan, hidupku memang hari- hari ini sangat melelahkan, bayangkan saja jam tujuh pagi sampai jam 4 sore, aku pergi ke tempat pekerjaan untuk menjalani kerja seperti biasanya. Aku hari- hari ini dituntut oleh bossku untuk mengejar target, kemudian memasarkan produk, hidup di dalam tekanan adalah hal yang kurang mengenakan. Tapi aku terbiasa melakukan hal ini, sampai- sampai itulah kehidupanku.

Tetapi hari ini pekerjaanku sementara aku tunda, karena ada kejadian aneh, tiba- tiba orang asing menitipkan anak ini untuk dijaga. Anak kecil ini adalah anak periang, ia selalu bertanya- tanya kepadaku, dan anak ini adalah anak yang ceria, penuh dengan tawa, ia mengamati alam dengan bahagia. “Kak, itu awan cerah ya?, kalau awanya cerah cocok deh kalau, kakak beliin aku es krim”. Aku beranjak menuruti kemauannya, sambil ku pegang tanganku yang kecil, dan lucu, di jalan ia selalu bernyanyi- nyanyi.

Dalam perjalanan menuju Alfamart, untuk membeli es terdekat, ia selalu bertanya- tanya, “Apa itu uang Kak, mengapa manusia selalu menghamburkan uang?” Dan aku menjawab “Uang adalah alat transaksi, kita tidak menghamburkan, cuma terkadang kita tidak tahu mana kebutuhan dan keinginan, yang kadang kita belanja dengan sesuka hati.” Kemudian anak kecil itu menjawab “Bukankah uang itu hanyalah mainan dalam duniaku, mengapa banyak orang mencari uang.” Jawaban itu sontak membuatku terdiam kaku, kemudian dia bertanya lagi “kalau waktu apa itu waktu Kak?, Mengapa orang dewasa suka tidak menghargai waktu, justru menuduh aku (anak kecil) yang tak kenal waktu, main tidak pulang?”.

Pertanyaan itu membuatku terdiam hening juga , aku tidak bisa menjawabnya, es krim kuberikan pada anak itu, “Inilah waktu, saat kita makan esk krim bersama..” “Oh ya Dek namamu siapa?” kutanya berjalan bersama berjalan ke arah taman anak- anak. Pertanyaan mengenai waktu, terus membayangi ku, aku pun tidak berani menjawab, sedangkan anak itu kembali bertanya lagi, “Apa itu cinta Kak?, Apakah kakak pernah mencintai?”.

“Hmm pernah, tapi entah kapan, sudah lama sepertinya, tapi kakak mau fokus kerja dulu.” Aku bergumam, mengapa ia bertanya itu kepadaku, seolah- olah jiwa jombloku disindir olehnya, dan tergugah kembali untuk mencintai lagi. “Oke Kak, aku bertanya kembali,” sambil menjilati es krimnya dengan wajah lugu.

Anak kecil itu tidak menjawab namanya siapa, tapi ia bercerita ia dari negeri jauh, di mana orang dewasa terkadang tidak mengenalinya. “Tidak jadi bertanya, eh Kak aku mau bercerita saja, aku suka main layang- layang, main petak umpet, kelereng, sering pergi ke sawah mencari belut dengan teman- temanku, kata orang dewasa, anak kecil main saja tidak mengerti waktu. Tapi bagiku waktu itu tidak ada, aku suka mengagumi diriku, bernyanyi ketika senja, aku suka keramaian dan kesendirian, kalau ramai aku suka bermain dengan temanku, kalau sendirian aku suka berimajinasi. Sayang orang dewasa tidak mengerti itu ya Kak!”

“Hmm, semua ada bagusnya kan, orang dewasa itu banyak kerjanya sedikit untuk menghargai dirinya Dek.”.

“Tetapi orang dewasa itu membosankan, sering suka menilai, suka marah- marah tidak jelas, suka takut- takut tidak jelas. Aku sering mencari kesenangan bukan untuk bahagia Kak, hanya untuk mengisi waktu.”

Kemudian aku terdiam kembali, sesampainya di taman anak- anak, anak kecil itu, asyik dengan es krimnya yang dijadikan sebagai pesawat- pesawatan. Aku berdiri kemudian berpikir kembali apa yang dikatakan anak tersebut, hendak membelikan jajan yang ada di dekat taman itu. Aku lupa dengan wasiat, seorang berjubah yang menitipkan anak itu kepadaku. Jangan meninggalkan anak itu sendirian.

Sadar akan wasiat itu, dari arah jauh, aku melihat anak itu, diangkat dan digendong oleh sosok hitam, yang bermuka datar, aku berlari kencang menuju ke arahnya. Anehnya anak itu yang semula ceria, murung dengan sendirinya, aku bergegas mengejarnya, “Dek.. kamu mau ke mana, jangan ikutin dia, dia siapa”

Terdengar suaranya yang menangis terisak- isak, yang semakin keras. Sontak saja aku ingin mengejarnya, tapi sosok hitam itu berjalan lebih cepat, napasku terengah- engah aku kehilangan jejaknya, Anak kecil itu menghilang, langit seketika menjadi aneh, berwarna hitam, asap muncul di dekatku, kota- kota terbakar di mana- mana, jalanan banyak tabrakan, darah berceceran, aku yang takut berusaha lari dari kenyataan itu.

Manusia saling membunuh di pinggir jalan, terdengar suara bom, peluru dimana- mana. Aku tetap memanggil adek itu. “Dek kamu di mana, kamu di mana, tanpamu duniaku hampa kosong, barangkali menjadi dirimu adalah benar, menjadi anak kecil, bukan menjadi kekanak-kanakan. Barangkali menjadi dirimu adalah bermain, menikmati penderitaan dengan kesenangan untuk bermain, tidak perlu repot untuk memikirkan hal besar atau hal kecil yang kompleks, kau lugu, aku merindukanmu Dek.. dimana waktu hanyalah permainan.”

Kota-kota sudah menjadi hancur kacau, banyak lumpur minyak muncul di sawah, hutan- hutan gundul ditebang, kota- kota panas terbakar, desa- desa banjir. Semua manusia saling mengutuk, menjadi hantu dengan kepala binatang. sedangkan tadi menurutku baik- baik saja. Aku berlarian mencarinya kesana kemari, memanggilnya, “Dekk.. kamu di mana, ayo kembali..”

Kemudian ketika aku terus berjalan, terdengar suara tangisan kembali terdengar di sudut pinggiran kota yang gelap tanpa alat penerang, banyak sampah- sampah di sekitarnya. Aku berlari ke arah situ, ku menengok, ada anak kecil terdiam, linglung sambil menangis, ia mengatakan “Aku sendirian.. Aku sendirian.., aku dibuang, banyak hantu- hantu menakutkan.” Tanpa lama- lama aku meraih tangannya dengan perlahan, dan memeluknya, dan aku mengatakan, “ayo kembali, aku akan mengantarkanmu pulang, kita istirahat di sana.” Ia menggelengkan kepalanya, dia berkata “aku siapa, di mana orang tuaku, aku berjalan sendirian, aku takut.”

Ketika anak kecil itu ku gendong di punggungku, anak kecil itu tiba- tiba berubah menjadi balin yang mengempis dengan sendirinya, berubah menjadi air yang membasahi tubuhku, dengan aroma- aroma kesedihan, kekecewaan, kekesalan. Saat itu juga, entah mengapa, perasaanku berubah seketika, dunia menuntutku ke sana ke mari, seperti tidak mau mengakui aku yang kecil.

Dalam perjalanan aku tetap menggendongnya sampai akhirnya, aku terjatuh tersungkur, menghela napasku yang berat.

Kata- kataku lirih seperti tidak ada daya “Adek.. di mana?, Aku rindu pertanyaanmu..” Badanku menjadi lemas tidak berdaya, semua kejadian memeras energiku, aku terjatuh dan tersungkur mataku terpejam.

Tik.. tik.. suara air impus menetes, ada seseorang terbujur lemah, ia bernama Nathan. Berita Televisi

mengabarkan ada seorang pemuda yang hampir bunuh diri dari lantai tiga di kosnya, walaupun ia sudah jatuh. Tuhan masih menyelamatkannya, dengan cedera yang parah, ia kini di rumah sakit, karena aktivitasnya yang tidak teratur, makan yang tidak cukup, pikiran yang entah berantah. Dan tuntutan yang tidak seberapa dengan penghasilanya. Nathan semingguan ini dikabarkan dari masyarakat sekitar kosnya, sering murung, sering menyendiri, dan merenung. Ia seorang yang jauh dari keluarganya, ia hanya punya ibu dan adiknya semata wayang. Ia kini harus bekerja keras, sampai lupa dengan kesehatan jiwanya. Sementara dirumah sakit itu adiknya yang kecil menemani dia, sambil bermain. “Mas.. sudah sedikit sadar Buk,” ia berlari mencari orang tua Nathan di ruangan luar.

Sementara Nathan hanya terdiam, matanya melihat ke sana ke mari, ia tidak bisa berbicara, ia bergumam dalam hati, “Tuhan Maafkanlah aku, kau memberiku kesempatan lagi, aku telah menyia nyiakan jiwa (anak kecil) itu.”

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here