Pemukiman Lari, yang berada di bawah bayang-bayang hutan Aberdares di bagian utara distrik Kiambu, merupakan daerah paling berdarah-darah selama perang Mau Mau. Pada awal tahun 1950, Lari tak jauh berbeda dengan pedesaan-pedesaan lain yang ditinggali masyarakat Kikuyu. Pemukim petani lokal tersebar di sepanjang puncak-puncak bukit, dan mereka berkumpul di pinggiran rawa-rawa tinggi. Dinding rumah para petani itu dibuat menggunakan tanah liat dengan atap yang terbuat dari logam yang bergelombang. Di Lari, setiap istri dan anak-anak mempunyai gubuknya masing-masing, dan gubuk-gubuk para keluarga itu berkumpul di dalam sebuah wilayah kecil yang dikelilingi pagar. Meski tanah Lari tak sesubur di Kiambu, air di sana sangat melimpah dan sangat mendukung aktivitas perkebunan. Ditambah di dekat desa ada sebuah padang rumput yang bagus untuk memberi makan ternak, dan untuk memasak, masyarakat mengambil kayu bakar di tepian hutan.
Lari juga sebuah wilayah ketika kekayaan dan kemiskinan tak lagi punya batas tegas. Beberapa petinggi petani mengontrol lahan yang begitu luas dan membuat mereka menjadi petani yang makmur. Para petinggi itu meninggalkan cara-cara pertanian tradisional Kenya dan mulai menggunakan alat-alat pertanian (semi-)modern. Mereka adalah pelopor, apa yang disebut kolonial, pertanian progresif orang-orang Afrika. Kontrol tanah yang begitu luas oleh segelintir orang ini, membuat wilayah Kiambu mengalami kelangkaan lahan. Mereka yang di bawah strata sosial hanya menjadi buruh tani yang bayarannya hanya bisa hidup hari per hari.
Perempuan-perempuan di Lari bekerja di sektor ekonomi domestik, yakni merawat kebun-kebun keluarga. Setiap perempuan Kikuyu yang menikah dengan laki-laki yang memiliki tanah, tentu jumlahnya jauh lebih sedikit, akan mengelolanya untuk menanam sayur mayur dan jagung sebagai bahan pangan. Mereka yang tak menikah dengan seorang laki-laki tuan tanah akan mengembara ke kota-kota, misalnya ke Nairobi, untuk mencari peruntungan ekonomi. Di sisi lain, perempuan Lari juga berada di bawah kultur patriarki Kikuyu. Setiap laki-laki di Lari—terutama yang memiliki lahan—berhak poligami; rata-rata, mereka menikah dengan dua atau tiga perempuan. Namun, bagi laki-laki yang tak memiliki tanah, jumlahnya tentu jauh lebih banyak, akan dikucilkan dan dipandang sinis. Hal ini diperparah dengan kedatangan para pendatang dari wilayah lain Kiambu ke Desa Lari.
Pada tahun 1939, imigran pertama tiba di Lari, dan yang terakhir tiba sepuluh tahun kemudian. Para imigran itu berasal dari Tigoni, wilayah selatan Kiambu, karena diusir dari tanah moyangnya sendiri atas perintah pemerintah kolonial Inggris. Imigran-imigran ini, dengan kondisi yang begitu buruk, memperparah keadaan di Lari dan kelangkaan lahan makin menjadi-jadi. Kelangkaan dan pembagian lahan yang tak adil ini menjadi faktor kunci gejolak di dalam masyarakat Kikuyu. Setiap laki-laki di Kikuyu cemas tak memiliki lahan, dan ketakutan itu mengendap menjadi bayang-bayang bawah sadar kolektif. Hingga tahun 1950, Lari benar-benar menjadi tempat yang murung dan jauh dari suasana riang.
Meski tahu jika di Lari tak lagi tersedia tanah untuk ditinggali, ratusan orang yang diusir oleh kolonial itu tetap nekat tinggal di Lari. Wilayah itu mulai diisi orang-orang yang tak punya tanah dan ratusan imigran itu memenuhi bar-bar serta rumah-rumah makan. Mereka berkumpul seperti sepasukan jiwa-jiwa yang datang dari alam lain dengan wajah linglung dan tubuh yang sempoyongan. Desa Lari, yang terletak di tepi jurang curam yang membentang dari Kiambu hingga ke pertanian Lembah Rift di Naivasha dan Nakuru itu, benar-benar tak ada sisa lagi tanah untuk dimiliki para pendatang.
Pendatang yang pada akhirnya bertempat tinggal di Lari, rata-rata menghuni lembah dan lereng-lereng, mendapat perlakuan sosial yang berbeda dan anak-anak tidak mendapat akses pendidikan formal. Sekolah menjadi sesuatu yang tak mudah digapai bagi mereka yang tinggal di Lembah Rift. Misionaris Kristen juga tak memiliki dampak besar bagi bekas pendatang yang tinggal di lembah Lari, hal ini menyebabkan mereka tetap berada dalam pelukan agama pagan.
Pada malam 20 Oktober 1952, Kenya dilanda keadaan darurat dan dunia kecil Lari tak bisa menghindar dari bayang maut yang datang dari arah selatan. Pemberontakan Mau Mau melawan penjajahan Inggris sah dimulai. Perang akhirnya dimulai pertama kali pada malam di bawah langit Kenya 20 Oktober 1952 itu.
Pada tahun 1952, bekas pendatang yang tinggal di Lari dan petani asli yang tak memiliki tanah, diketahui didukung penuh oleh gerilyawan Mau Mau. Kepala desa Lari, Makimei, dikenal sebagai orang yang tak segan melakukan kekerasan terhadap apa pun yang berbau Mau Mau. Perlakuannya kasar, tetapi pemerintah kolonial menganggap Makimei sebagai orang yang dapat diandalkan dan sekutu kuat di masa-masa genting. Makimei juga seorang pemimpin yang mengorganisasi Kikuyu Home Guard, semacam jagawana desa, untuk mempertahankan wilayah Lari dari serangan Mau Mau. Tentu saja kelompok Mau Mau tak suka, kepalanya diincar, dan Makimei akhirnya tewas bahkan sebelum keadaan darurat pada 20 Oktober 1952. Dan pada Desember 1952, Inggris memberikan restu kepada Home Guard dan mempersilahkan mereka merekrut sebanyak-banyaknya orang. Jumlah pasukan Home Guard meningkat tajam dan menjelma tidak hanya sebagai garda jagawana bersenjata, tapi sudah bermetamorfosa menjadi milisi formal di bawah komando polisi dan tentara untuk melawan pemberontakan Mau Mau.
Setiap petang hingga malam, Home Guard bertugas berpatroli menyusuri perbatasan Lari. Mereka berjaga-jaga dan was-was ada serangan serba mendadak dari gerilyawan Mau Mau. Pada jam delapan malam pada 26 Maret 1953, patroli Home Guard dipanggil untuk menyelidiki seonggok tubuh mati di wilayah Headman Wainaini, tiga mil di selatan perbatasan Lari. Ketika mereka tiba di lokasi kejadian, mereka menemukan sisa-sisa jasad loyalis lokal yang dimutilasi, dan potongan tubuh itu dipaku ke pohon-pohon di sepanjang jalan setapak. Tubuh yang terpaku itu adalah simbol bahwa pemberontakan Mau Mau di Lari akhirnya sah dimulai.
Sewaktu Home Guard sibuk mengidentifikasi tubuh mati yang termutilasi hari sebelumnya, ratusan simpatisan Mau Mau telah berkumpul di beberapa titik pertemuan yang telah ditentukan di sekitar desa Lari. Terbagi dalam lima atau enam kelompok yang masing-masing berisi ratusan orang atau lebih, mulai menyerang target-target yang telah ditentukan. Kepala mereka ditutup semacam topeng kupluk untuk menutupi identitas, bersenjata panga (semacam parang), pedang, tombak, pisau, dan kapak. Beberapa orang membawa obor dan mulai menyerang rumah-rumah yang tak mendapat perlindungan Home Guard. Gerilyawan Mau Mau itu juga membawa tali, lalu mulai mengikat rumah agar pintu-pintu tertutup dan jalan keluar tak lagi ada. Rumah-rumah dibakar menggunakan jerami pada malam pekat 26 Maret 1953 dan Lari jadi berapi-api. Beberapa orang berusaha keluar dari jendela tapi dicegat dan dimasukkan kembali ke dalam rumah api. Segala manusia yang berada di dalam rumah tak bisa lolos dari amuk gerilyawan yang kalap itu.
Ketika Home Guard tiba di Lari setelah mengidentifikasi tubuh mati yang termutilasi itu, serangan Mau Mau sudah mau berakhir. Mereka mengejar para penyerang, tapi telat menyelamatkan para korban. Persis pada jam 10 malam, 120 mayat tergeletak tak bernyawa, lainnya terluka parah, di reruntuhan lima belas rumah gosong yang masih mengepulkan asap. Seluruh korban yang menjadi target penyerangan Mau Mau adalah keluarga dari pimpinan lokal, mantan pemimpin lokal, kepala suku, anggota dewan, dan Home Guard. Penyerangan itu mempunyai target khusus dan serba terencana, yakni menghukum siapa saja yang mendukung kolonialisme Inggris.
Sekali lagi, penyerangan ini dilakukan dengan strategi matang dan serba terencana. Pemberontakan dirancang dengan ketelitian tinggi; dan gerilyawan Mau Mau memastikan bahwa desa-desa yang setia di sekitar Lari tak memperbolehkan satu pun orang yang mendukung Inggris lolos dan melapor pada pasukan kolonial. Sejak peristiwa itu, Kenya dihantui rasa cemas dan was-was yang mendalam.
Setelah kabar desa Lari diserang gerilyawan Mau Mau sampai ke telinga kolonial, Inggris murka dan akhirnya mengirim kampanye militer besar-besaran. Taktik dirancang, strategi pembalasan disusun; agenda penyiksaan mulai tersusun, kamp konsentrasi mulai dibangun. Segala yang dicurigai sebagai pendukung Mau Mau kena siksa.
Operasi militer ini melibatkan ribuan tentara Inggris dan pasukan Kenya African Rifles, juga didukung oleh polisi kolonial dan tentara pribumi yang bersekutu dengan pemerintah kolonial. Pertama-tama, satuan skuadron raksasa itu mulai menyisir daerah-daerah yang dicurigai sebagai markas Mau Mau—terutama di wilayah Hutan Aberdares dan Mau. Para polisi dan tentara berhak melakukan apa pun untuk menumpas gerilyawan Mau Mau, bahkan diizinkan untuk mendatangkan maut.
Siapa pun yang dicurigai sebagai simpatisan Mau Mau, akan dieksekusi tanpa pengadilan sama sekali. Para polisi, tentara, dan masyarakat lokal yang mendukung kolonial mulai membakar desa-desa yang dicurigai mendukung pemberontakan Mau Mau. Warga sipil yang polos dan tak mengetahui apa yang sedang terjadi, juga diperlakukan dengan sangat buruk: mereka ditangkap, dan yang paling buruk dibunuh hanya karena diduga membantu para pemberontak. Mereka yang tidak dibunuh mulai disiksa dan dibawa ke pusat-pusat kamp konsentrasi. Dari Desa Lari, sebagai kampanye penumpasan pemberontakan Mau Mau, pada akhirnya, penyisiran diperluas ke seluruh bagian Kenya.
Di seluruh wilayah Kikuyu berdiri kamp-kamp konsentrasi. 100.000 hingga 150.000 masyarakat Kikuyu ditahan bahkan tanpa bukti yang kuat. Kamp konsentrasi di Kenya ini, lazimnya kamp-kamp konsentrasi lain, begitu buruk sebagai tempat untuk hidup: kelaparan, kerja paksa, sanitasi yang kumuh sekali, dan barangsiapa yang tak patuh akan dipentung atau dicambuk. Untuk mendapatkan informasi perihal gerilyawan Mau Mau, Inggris menggunakan penyiksaan yang bengis sekali di kamp konsentrasi.
Inggris mementung dengan tongkat atau senjata tumpul. Atau, jika tetap bebal, akan terjadi penyiksaan seksual baik laki-laki atau perempuan. Atau, jika tetap bebal juga, mereka akan digantung, yang disebut juga sebagai teknik gantung, yang membuat korban hampir mati lemas. Atau, jika tetap bergeming, korban dipaksa minum air atau pasir dalam jumlah besar hingga hampir mati lemas. Atau, jika tetap tak membocorkan informasi, sebagian tubuh akan dimutilasi, di mana jari-jari atau anggota tubuh lain dipotong atau dilukai untuk menimbulkan rasa sakit tak terperi. Inggris ingin memberi contoh bahwa orang-orang yang tak patuh dan ingin merdeka akan diganjar dan dihantar ke ujung maut.
Sebagai kebijakan tambahan terhadap kamp konsentrasi, Inggris juga mendirikan apa yang disebut sebagai “desa pengamanan” (protected villages) untuk memisahkan warga sipil Kikuyu dari pemberontak Mau Mau. Satu juta orang Kikuyu dipindah paksa ke dalam desa pengamanan yang dibentengi oleh kawat berduri dan jagaan ketat tentara kolonial. Meskipun hal ini merupakan upaya perlindungan, penduduk di desa-desa perlindungan hidup dalam kondisi terisolasi tanpa akses sedikit pun ke kebun-kebun yang mereka miliki.
Inggris juga mendirikan pengadilan super kilat untuk menentukan apakah seseorang benar-benar pemberontak atau bukan. Dalam prosesnya, yang terjadi hanyalah sidang formal, main tebang dan tidak ada sosok yang disebut keadilan. Terdakwa harus berujung maut tanpa bukti yang memadai, dan sekitar 1090 masyarakat Kikuyu dieksekusi di bawah mandat Britania.
Pada 1956, Dedan Kimathi, pemimpin yang paling dihormati dalam gerakan Mau Mau, ditangkap dan dieksekusi. Sejak Kimathi tewas, pemberontakan Mau Mau telah berada di ujung fase aktif pemberontakan, dan Kenya harus tunduk pada kolonialisme Inggris. Meskipun Mau Mau kalah, tapi pemberontakan itu menjadi katalisator penting bagi kemerdekaan Kenya. Puncaknya pada 1963, Kenya merdeka dari penjara kolonial Inggris.
Pada tahun 2013, satu dekade silam, Inggris akhirnya mengakui kekejaman yang dilakukan pasukannya selama operasi penumpasan pemberontakan Mau Mau. Namun, luka sejarah itu tak hanya bisa diselesaikan melalui pengakuan dan permintaan maaf.
Di Lari, aroma maut memang berembus dari arah selatan. Namun di Afrika, aroma maut berembus begitu kuat dari Barat.
Bahan Bacaan
David Anderson. Histories of the Hanged: The Dirty War in Kenya and the End of Empire. New York: W.W. Norton & Company. (2005).