Gas Mustard dan Paru-Paru Koyak di Utara Maroko
Gas Mustard dan Paru-Paru Koyak di Utara Maroko

Rif adalah wilayah pegunungan di bagian utara Maroko, daerah itu kering dan begitu sulit diakses: wilayah Rif  berada di antara Laut Mediterania di sisi utara; Sungai Ourgha di sisi selatan; di sisi timur Sungai Moulouya; dan di sisi barat Laut Atlantik. Wilayah itu dikelilingi tembok air tawar dan air asin, dan membuat wilayah itu, bagi orang yang pertama kali menjenguk, jadi tanah asing yang begitu sulit ditembus. Salah satu suku yang berhasil bertahan di tengah wilayah Rif yang berang itu adalah suku Berber (atau Imazhigen) yang rata-rata beragama Islam Sunni. Namun, Maroko bukan hanya sebidang tanah tandus yang kering dengan angin pasat hangat: di bawah tanahnya yang semi-gersang ada harta karun mineral yang melimpah dan letak geografi Maroko begitu strategis; karena itu, Eropa begitu bergairah terhadap tanah Negeri Maghribi itu.

Jerman, misalnya, punya proyek Drang nach Afrika (Maju terus ke Afrika) dan berusaha mengklaim wilayah Tangiers di ujung barat Maroko. Pada 1911, Berlin mengirim kapal perang ke Teluk Agadir dengan dalih warganya sedang terancam—peristiwa ini juga dikenal sebagai Krisis Agadir. Hal ini membuat para elit Eropa, selain Jerman, mendidih dan gusar; setelah kapal perang Jerman berlabuh di Teluk Agadir, tensi politik Eropa jadi laguh-lagah. Pada akhirnya, agar tak mengutak-atik Maroko, Jerman ditawari wilayah tambahan di Afrika bagian khatulistiwa dan Kongo sebagai imbalan jika menarik klaimnya atas Maroko. Setelah Jerman menerima tawaran tersebut, pada tahun 1912, muncul Perjanjian Fez antara Prancis dan Kesultanan Maroko. Di dalam perjanjian itu, Maroko menjadi protektorat Prancis; alias, meski secara literal merdeka, Maroko menjadi negara yang berada di bawah keputusan-keputusan dan mandat Prancis.

Namun, setelah Perjanjian Fez terdapat perjanjian lain antara Prancis dan Spanyol, yakni Prancis memberikan Spanyol hak kedaulatan mengatur di wilayah utara Maroko. Wilayah yang diberikan kepada Spanyol itu adalah wilayah utara Rif dengan Tetouan sebagai ibukota, dan wilayah Tangiers sebagai zona internasional. Adapun Prancis kebagian wilayah selatan Rif. Pada tahun 1919, tujuh tahun setelah Perjanjian Fez, muncul Perjanjian Versailles yang berisi bahwa Maroko benar-benar berada di bawah perlindungan Prancis dan Spanyol. Hal ini juga berarti sebuah akhir bagi usaha Jerman untuk mengklaim Negeri Maghribi itu.

 

***

Setelah Perjanjian Fez, protektorat Spanyol di Maroko memegang kota-kota kecil di sepanjang Pantai Atlantik: Asilah, Larache, dan Ksar el-Kebir. Spanyol, yang telah kehilangan wilayah jajahan Kuba dan Filipina pada tahun 1898, bermimpi untuk mendapatkan harta baru yang memberikan kesinambungan teritorial dan memperluas wilayah kekuasaan tanah yang masih sempit. Maroko, bagi Spanyol, merupakan target sempurna bagi ekspansi baru di Afrika Utara. Pada tahun 1920, akhirnya ekspansi Spanyol menggunakan aktivitas militer, terutama di wilayah Chefchaouen. Tujuan dikerahkannya militer ini adalah mengambil alih teritori yang dikuasai suku Berber.

Teritori yang dikuasai suku Berber mengandung mineral-mineral dengan nilai ekonomis yang begitu tinggi. Dan, karena hasrat kolonial yang ingin mengambil alih, pembangkangan suku Berber tak bisa dihindari. Militer dikerahkan untuk meredam amuk pemberontak. Operasi militer pada 1920 itu membuat Spanyol membuat rancang pengerahan pasukan yang dinamakan Tercio de Marruecos, atau Legiun Spanyol, di bawah pimpinan Francisco Franco.

Pada mulanya Spanyol begitu mudah menang dan membuat para suku Berber. Hal ini membuat mereka, secara bertahap, terasing dan terusir dari tanah juga sejarahnya sendiri. Hal ini membuat para masyarakat Rif gusar dan kesumat, lalu mulai berserikat dengan satu tokoh penting perlawanan: Abd el-Krim al-Khattabi, seorang natif Rif dan ketua suku Aith Waryaghal. Selain menjadi ketua suku, al-Khattabi juga seorang hakim, jurnalis, seorang guru dan, yang paling penting, tokoh pusat pejuang anti kolonial Maroko sama seperti Emir Abdulkader di Aljazair. Abd el-Krim, bahkan, mempunyai seorang desertir dari Legiun Prancis yang kagum terhadap perjuangan seorang Abd el-Krim al-Khattabi terhadap kolonial Spanyol.

Laki-laki dengan brewok dan kumis lebat di atas mulutnya, dengan topi baret, yang bisa kita lihat di sampul utama majalah Time pada tahun 1952 itu, begitu ingin melihat masyarakatnya tak lagi takluk oleh roda gilas sejarah Eropa; ia ingin masyarakat Maroko otonom dan mendirikan negara modern dengan alam pikir, juga darah, bangsanya sendiri. Seperti beberapa desas-desus yang tersebar, sebuah negara yang dibayangkan Abd el-Krim terinspirasi—dan ketika negara itu belum terwujud—dari gerakan Kemalis; sebuah gerakan politik, ekonomi, dan sosial yang terpengaruh oleh Mustapha Kemal Atatürk yang mencetuskan Republik Turki yang sekuler. Selain itu, ia juga dipengaruhi oleh Rashīd Ridā, seorang ideolog Islam reformis.

Kemenangan yang mudah itu membuat Spanyol optimis, congkak, juga lalai. Persisnya, ketika Pertempuran Annual di Temsamane pada Juli 1921, wilayah di timur laut Maroko, membuat kecongkakan Spanyol jadi luntur. Legiun Negeri Matador itu dipaksa berlutut dan 10.000-16.000 tentara tewas di arsenal pertempuran. Kekalahan ini membuat Spanyol murka dan mengirim pasukan yang jauh lebih besar, 36.000 tentara lengkap dengan peralatan berat. Namun, legiun Spanyol tak bisa bikin takluk pegunungan angker itu: 75% dari 36.000 batalion Spanyol tumpas di gunung-gunung keras yang diapit empat tembok air di utara Maroko itu.

Keberhasilan Abd el-Krim menumpas Legiun Spanyol membuat dirinya mendeklarasikan Republik Rif pada September 1921. Abd el-Krim mendeklarasikan negara yang berbasis pada yurisprudensi Islam di wilayah yang ia kontrol. Desas-desus Abd el-Krim yang ingin membuat sebuah negara modern yang cenderung sekuler dan reformis akhirnya tak terwujud. Ia cenderung ingin membuat sebuah negara dengan sistem salafisme atau kekhalifahan. Ternyata, berbanding terbalik dari desas-desus yang beredar, Abd el-Krim tak mengizinkan negara yang ia dirikan, Republik Rif, sedikit pun beraroma sekuler.

Deklarasi Republik Rif tak bikin Prancis dan Kesultanan Maroko senang. Meski memiliki alasan yang berbeda, akhirnya Prancis dan Kesultanan Maroko menyabotase segala bentuk aktivitas politik dan tak sudi mengakui kedaulatan Republik Rif—juga begitu tak ikhlas menyebut Abd el-Krim sebagai khalifah yang jadi suara langsung kehendak Tuhan. Pada saat yang sama, Abd el-Krim berusaha “menginternasionalisasi” konflik dengan menghimpun kekuatan muslim dan para pejuang anti kolonial untuk mendukung proyek-proyek humanitarian bagi Republik Rif. Namun, usaha Abd el-Krim tak begitu bersambut, usahanya gagal mendapat dukungan internasional—terutama negara-negara muslim.

***

Pada tahun-tahun berikutnya, perang jadi bencana serius bagi Madrid. Karena kekalahan yang begitu besar di wilayah Rif, Spanyol menarik semua pasukan dari gelanggang pada 1924. Meski Spanyol mengalami kekalahan besar di Rif, mereka tetap menguasai kota-kota pesisir seperti Tetouan, Larache, Ksar el-Kebir, Zeluan dan Asilah. Ketika pasukan-pasukan kulit putih Spanyol mundur, Abd el-Krim mulai menyusun strategi dan membuka front kedua.

Ketika Abd el-Krim membuka front kedua, pada saat yang sama di selatan Rif, pasukannya menggerebek militer Prancis. Dan, pada 1925, setahun setelah penggerebekan itu, terjadi mobilisasi besar-besaran operasi militer Abd el-Krim di selatan Rif yang bertujuan untuk mengambil alih wilayah Maroko yang berada di bawah kontrol Prancis. Kekalahan Spanyol di Pegunungan Rif dan penggerebekan kamp militer di selatan yang berusaha untuk merebut kembali wilayah Maroko itu membuat Prancis gusar dan murka.

Wilayah Fez terancam diambil alih dan wilayah bagian yang menjadi protektorat Prancis itu jadi genting. Meja runding antara Abd el-Krim dengan utusan Prancis mengalami jalan buntu. Semuanya jadi serba gawat, dan membuat Prancis mengerahkan 160.000 pasukan—baik tentara kolonial maupun tentara kulit hitam yang telah direkrut oleh Prancis (terutama dari Afrika Utara dan Senegal).

Prancis dan Spanyol akhirnya melahirkan sebuah perjanjian kerja sama militer; dua raksasa Eropa itu kini menjadi aliansi untuk menumpas pembangkangan di pegunungan keras di wilayah utara Maroko itu. Jenderal Residen Prancis di Maroko, Marshal Philippe Petain, mengatakan satu hal gila: “Jangan hanya memikirkan strategi politik.” Petain tak ingin perang diselesaikan di atas meja runding yang penuh siasat. Tujuannya tak lagi ingin mengajari Abd el-Krim pelajaran penting menjadi seorang pemimpin negara; melainkan ingin meruntuhkan segala pembangkangan dalam sekali operasi militer. Benar, dalam sekali jalan Eropa ingin memotong sampai akar dan meruntuhkan pemberontakan sampai ke inti-intinya.

Suatu hari yang mungkin menyala-nyala pada 6 dan 7 September 1925, seratus kapal gabungan Prancis dan Spanyol menurunkan 16.000 manusia lengkap dengan peralatan berat di Teluk Al-Hoceima, persis setelah kapal-kapal melepaskan tembakan artileri. Tak hanya kapal, delapan puluh delapan pesawat tempur mengambang di langit Rif dan menurunkan bom-bom panas agar pasukan yang turun dari Teluk Al-Hoceima gampang menerobos pegunungan Rif yang sulit sekali ditembus itu.

Operasi merebut kembali Maroko ke pangkuan protektorat Barat sah dimulai. Tak kurang dari 600.000 orang ambil bagian melawan 15.000 kombatan pasukan Rif. Pasukan dengan jumlah gigan itu dikerahkan untuk mengambil alih wilayah dan meruntuhkan Republik Rif yang dideklarasikan Abd el-Krim. Peralatan militer Spanyol dan Prancis itu juga didukung dan disuplai oleh Jerman dan Inggris. Selama operasi pendaratan amfibi ini, Spanyol dapat menurunkan sekitar 18.000 orang dan Prancis hingga 20.000 orang. Total pasukan gabungan ini mencapai 120.000 dan 400.000 pasukan tambahan. Pasukan Rif yang hanya sekitar 15.000 itu bukan lawan tanding ratusan ribu kulit putih yang dilengkapi dengan pelor dan monster alutsista Eropa. Benar, di pegunungan Rif yang angker itu, murka dan dendam kesumat Barat berapi-api.

Agar pembangkangan suku Berber bisa tumpas dalam sekali operasi militer, Spanyol menggunakan barang najis yang dilaknat hukum internasional: gas mustard. Spanyol sudah menggunakan gas beracun itu sejak 1924 dan tak berhenti hingga 1926. Serangan gas ini menarget punggung gunung dan desa-desa di wilayah Rif. Gas-gas itu dilontar dari langit dan dijatuhkan di wilayah yang dianggap sebagai pusat pembangkangan. Suara bising pesawat di atas gunung Rif itu laksana bunyi maut. Namun, gas mustard tak meledak, ia hanya berdesis, dan yang keluar hanyalah sebentuk cairan kental yang tampak seperti oli bekas.

Ketika gas mustard itu menyentuh tanah, yang terjadi bukan ledakan, tapi hanya bunyi desis. Jika berada di area jangkau gas mustard, sekitar sepuluh meter kubik, mata mulai berair, mata kehilangan fokus, dan kenyataan jadi goyang. Bau bawang putih yang menyengat akan memenuhi tempat yang dijatuhi gas mustard. Lalu, kabut kuning mulai merayap, mengambang pelan-pelan, dan kenyataan mulai hilang dari garis pandang. Udara jadi berat, kepala sungsang, napas sengal, dan tenggorokan sedikit terasa terbakar. Namun, setelah beberapa saat, baunya mulai hilang, dan awan gas perlahan-lahan lenyap.

Setelah terkena gas mustard seolah-olah tak terjadi apa pun dan jauh dari bayang-bayang maut. Namun, setelah beberapa jam—atau sehari penuh—luka bakar itu akan menyebabkan bintik-bintik merah dan dengan cepat menjadi luka lepuh yang perih sekali. Hidung nyeri dan bengkak, dan saat lepuhan mulai terbentuk di tenggorokan, jalan napas akan tertutup. Dan, tanpa pertolongan medis yang memadai, gas mustard akan membuat orang mati sesak kehabisan udara. Gas mustard ini tak seperti bom yang membuat orang mangkat ke alam seberang dengan cepat; efeknya timbul beberapa jam atau hari, ia pelan-pelan mendatangkan maut. Oleh karena tak manusiawinya gas mustard ini, muncul Protokol Jenewa pada 1925 yang melarang penggunaan gas mustard. Namun, Spanyol tak patuh, mereka tetap melempar gas mustard ke punggung Gunung Rif di utara Maroko itu.

Gas mustard membuat kulit melepuh, juga jadi racun bagi air dan makanan. Ribuan orang mati sesak lengkap dengan luka bakar; ribuan lainnya mati lapar karena ladang sudah beracun. Tak hanya pasukan perang yang mati karena gas, tapi juga warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.

Akhirnya, Abd el-Krim takluk, ia tak ingin lagi berperang. Ia sadar, jika terus berperang, akan jauh lebih banyak korban dari rakyatnya sendiri. Pada 27 Mei 1926, Abd el-Krim menyerahkan diri ke Prancis dan menawarkan perjanjian jika ia dan keluarganya tak dibunuh, maka seluruh tawanan Spanyol dan Prancis akan dibebaskan. Akhirnya, Abd el-Krim dieksil ke Pulau Le Reunion, namun berhasil melarikan diri ke Mesir pada 1947. Sepanjang hidupnya, ia tak lagi menginjakan kakinya di tanah Maroko.

Kita akan tutup cerita ini dengan satu pesan telegram no. 562 O.O ketika Perang Rif sedang berlangsung: “Ketika Anda melaporkan dampak yang diderita oleh para pembangkang, cukup nyatakan jumlah korban yang terbunuh atau terluka, dan jumlah hewan yang terbunuh, tanpa menentukan usia dan jenis kelamin.” Pesan telegram ini jelas sudah, bahwa Eropa berusaha menutupi apa persisnya yang terjadi di Pegunungan Rif yang angker itu. Serangan Barat tak mengenal usia, anak-anak dan perempuan tak luput dari amuk gas dan artileri Eropa. Hingga Maroko merdeka pada 02 Maret 1956, Spanyol dan Prancis membuat Maroko patah kemudi dengan ebamnya.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here