gurun-gurun pembantaian
gurun-gurun pembantaian

Bersama dua balita yang sedang dipangku, seorang perempuan dihukum cambuk dengan kedua tangan diikat ke tiang dekil, sepanjang hari, di kamp konsentrasi Agaila—kota pesisir di ujung selatan Teluk Sidra, Libya. Setelah hari panas lewat dan baskara terbenam di ujung barat, persis pada malam ketika jagawana Italia lengah, juga tetap di tiang dekil, perempuan itu meminta bantuan pada seorang laki-laki yang tengah lewat. Laki-laki itu mendekat, dan melihat kesengsaraan teramat perih di mata seorang perempuan dengan dua balita yang sedang lapar. Perempuan itu memohon kepada laki-laki itu untuk menekan payudaranya agar asi keluar dan bayi yang sedang dipangku itu tak jadi sekarat. Di masa kalabendu Libya itu, di atas tanah-tanah kering kerontang, juga di bawah langit Libya yang rongseng, orang-orang gampang dihukum dan maut berjarak hanya sejengkal.

Muhammad ‘Usman al-Shami, yang kala itu berumur sebelas tahun, diinternir bersama sang ibu ke kamp Agaila. Selama masa interniran, Shami hanya punya satu baju, satu celana, dan tanpa satu pun alas kaki. Karena tak ada sabun untuk mencuci, baju yang hanya satu-satunya itu jadi sarang kutu rambut dan kutu busuk. Keadaan di kamp konsentrasi itu begitu tak manusiawi; hidup jadi serba murung dan hidup yang cuma satu-satunya itu koyak compang camping.

Keadaan gila itu tak hanya terjadi saat mereka telah tiba di empat kamp konsentrasi besar: Agaila, Braiga, Al-Magrun, dan Slug. Puluhan ribu masyarakat Libya telah tersiksa sebelum tiba di kamp-kamp konsentrasi fasis Italia: mereka diarak-berbaris lalu mulai berjalan—beberapa lainnya menunggangi kuda atau keledai—dari perbatasan Mesir, wilayah Marmarica, atau Pegunungan Hijau menuju gurun kering di Sirte. Di Sirte, pohon-pohon, air, dan tempat berteduh begitu sulit ditemui; tempat itu gersang sekali dan begitu miskin bayang-bayang. Kira-kira, jarak yang perlu ditempuh oleh masyarakat Libya untuk menuju kamp konsentrasi sekitar 1.100 kilometer, atau bahkan lebih. Deportasi besar-besaran ini, oleh masyarakat Libya, disebut sebagai “al-Rihlan.” Nahas, tentara yang bertugas untuk mengawasi suksesi deportasi puluhan ribu orang ke kamp-kamp konsentrasi tak hanya berisi orang kulit putih.

Di Libya, orang-orang menyebut tentara kolonial yang didatangkan dari Eritrea, negara jajahan pertama Italia, sebagai Massua. Sedangkan orang natif yang menjadi tentara kolonial disebut sebagai Ascari atau Banda. Italia, sekurang-kurangnya, punya dua alasan merekrut orang-orang natif: di satu sisi, menghindari terbunuhnya tentara kulit putih agar opini publik Italia tak gonjang-ganjing; dan, di sisi lain, tentara natif paham betul kondisi ekologi dan geografi negara jajahan. Taktik merekrut orang-orang natif sebagai tentara bayaran ini telah menjadi cetak-biru Eropa untuk menambah kekuatan tempur. Bahkan, selama dua perang besar Perang Dunia I dan II, Jerman, Prancis, Inggris, Belanda dan Spanyol, menggunakan—juga memaksa—ratusan orang kulit hitam untuk terjun ke gelanggang pertikaian.

Mengapa puluhan ribu orang itu diusir dan harus berjalan di atas tanah-tanah tandus menuju kamp-kamp bengis di Sirte? Karena mereka memberontak sebab tanah-tanah moyang mereka diambil alih. Benito Mussolini, pemimpin bertangan dingin dan gampang naik pitam itu, bertitah agar pemberontakan yang menentang fasis Italia itu harus runtuh. Gubernur kolonial yang bertugas di Libya pada tahun 1928 dan 1933, Marshall Pietro Badoglio, akhirnya mulai bersiasat dan menyusun rancang besar genosida yang juga disebut sebagai “Problem Cyrenaica.” Agar mandat genosida tersebut tak gagal barang sedikit dan Mussolini tak kecewa, para jenderal Italia diperkenankan melakukan segala-galanya cara, bahkan yang paling najis sekalipun, agar pemberontak bisa tumbang. Rudolfo Graziani, wakil gubernur Cyrenaica, menjadi mimpi menyeramkan bagi rakyat Libya, karena dialah yang menjadi eksekutor terhadap rancang besar genosida.

Sebelum operasi genosida yang dimandatkan oleh Mussolini, Jenderal Graziani sendiri sudah punya sejarah hitam. Ia memadamkan pemberontakan di Fezzen, wilayah barat daya Libya, menggunakan tank-tank baja, pesawat, bahkan gas beracun. Karena kebengisannya ini, orang-orang mulai menjulukinya sebagai “Tukang Jagal dari Fezzen” dan, para sejarawan Libya menyebutnya sebagai “Safaah Libya,” pembunuh Libya. Karena kebengisannya ini pula, Graziani mulai dipercaya Mussolini untuk menjadi eksekutor pembunuhan dan deportasi besar-besaran masyarakat Libya ke kamp-kamp konsentrasi. Masyarakat Libya menyebut kamp-kamp konsentrasi yang begitu papa itu sebagai mu’taqalat.

Benar, Mussolini menginstruksikan pada Badoglio agar menghancurkan pemberontakan semahal apa pun bayarannya. Akhirnya, Badoglio menemukan satu ide gila: kamp konsentrasi. Gubernur gila itu mengirim satu surat kepada Graziani: “Tujuan sudah bulat, dan seseorang harus melaksanakan titah itu sampai akhir, bahkan jika seluruh penduduk Cyrenaica harus tewas.” Selain itu, Badoglio juga menerima saran seorang masyarakat asli Libya yang menjadi kolaborator Italia, al-Sharif al-Ghariani, yang mengatakan bahwa untuk meruntuhkan pemberontakan, Italia harus “memotong akar sampai intinya, dan pohon-pohon itu pasti jatuh.” Badoglio dan Graziani, gubernur dan wakil gubernur ini pun menjadi mesin jagal terjadinya pembunuhan besar-besaran, salah satunya, di Barqa, kota pesisir Libya.

Rencana deportasi puluhan ribu orang itu dimulai dengan memindah secara paksa warga Libya ke kamp-kamp di pesisir. Tahap kedua adalah mendeportasi warga dari kamp di pesisir—entah dengan berjalan, menaiki unta, atau kapal—menuju Gurun Sirte yang di atasnya berdiri empat kamp besar: Agaila, Slug, Marun, dan Braiga. Adapun kepala suku dipisah dengan para warga, lalu mereka dipenjara di Binina, dekat Kota Banghazi, dan beberapa lainnya dieksil ke sebuah pulau di selatan Italia—terutama di Pulau Ustica.

Tentara Italia mewanti-wanti warga Libya agar tak mendukung para pemberontak atau mujahidin. Setelah tiga hari peringatan itu, mereka tak menggubris amanat Italia; dan, akhirnya, tentara Askari dan Banda mulai mengumpulkan para warga yang tak tunduk beserta hewan-hewan ternak. Salah satu saksi mata dan penyintas, Haj Abdalnabi Abdalshafi al-Rifadi, mengatakan tentara Italia datang dan “mengatakan pada syaikh sepuh kita bahwa kalian punya dua pilihan: bergabung dengan kita untuk melawan mujahidin dan negara akan mempersenjatai kalian, atau jika menolak, kalian akan dideportasi ke kamp-kamp interniran. Para sesepuh meminta waktu untuk mengatakannya kepada para warga, dan kemudian mengatakan pada tentara Italia bahwa mereka menolak melawan mujahidin. Benar saja, kita pada akhirnya dikirim ke Binina, dan kemudian dibawa ke kamp-kamp.” Suku ‘Abaidat tersebut berbaris dan berjalan di musim dingin sejauh 1.100 kilometer menuju kamp Braiga di wilayah Gurun Sirte.

Di sepanjang jalan itu, tentara Italia menembak siapa pun, termasuk hewan ternak, yang lambat dan tak patuh pada tata atur perjalanan. Para korban itu menyaksikan hukuman brutal para Askari yang, selama perjalanan panjang al-Rihlan itu, menembak orang-orang yang berhenti berjalan karena pingsan, maupun orang-orang tua yang kelelahan. Siapa pun yang membuat perjalanan terganggu, layak mendapat ganjaran maut pelor Italia.

Ibrahim al-Arabi al-Ghmari al-Maimmuni, dari kamp konsentrasi Agaila, bercerita perihal perjalanan ngerinya dengan berjalan kaki lalu menaiki sebuah kapal:

“Kami dideportasi dari kamp Diryana ke Benghazi tanpa makanan atau air. Beberapa hari setelah itu, mereka menempatkan kita di sebuah kapal kecil dan duduk di belakang kapal. Kapal itu begitu kotor, dan kita sangat lelah, anak-anak meronta-ronta menangis di bawah matahari panas dan malam yang begitu dingin. Ketika kami sampai di kamp Agaila, angin berhembus begitu kuat, dan kapal susah sekali bersandar. Hari itu adalah hari yang begitu menyeramkan.”

Selain Maimmuni, Muhammad ‘Usman al-Shami, salah satu interniran di kamp Agaila, ditangkap bersama ibu dan kakeknya. Ketika tentara meminta sang kakek untuk mengidentifikasi dan menanyakan apakah benar dua orang ini adalah anak perempuan dan cucunya, kakek sepuh itu menolak. Para tentara mencambuk punggung kakek sepuh itu lima puluh kali, lalu diikat dan menempatkannya ke dalam sumur. Kakek sepuh bernama Ma’uf Sa’id al-Drisi itu pada akhirnya dipenjara di Binina, lalu dieksil ke Pulau Ustica di selatan Italia.

Setelah sang kakek dieksil ke Pulau Ustica, al-Shami bersama ibunya berjalan ke Talmetha selama lima belas hari. Setelah berjalan selama lima belas hari yang begitu murung itu, akhirnya mereka dipaksa menaiki kapal. Selama tiga hari di kapal, beberapa orang di dalam rombongan tewas, dan kulit putih fasis melempar tubuh-tubuh tak bersalah itu ke laut dengan muka yang murka. Setelah sampai di Agaila, al-Shami mengingat beberapa peristiwa gelap:

“Mereka memperlakukan kami umpama binatang, membungkus kita ke dalam jaring, dan menggunakan lengan kargo untuk mengangkat kami, lalu menurunkan kami di pantai. Di kamp Agaila, kami ditempatkan di beberapa Arba, yakni tenda-tenda dengan berbagai nomor, kami dapat tenda nomor 19. Karena ayahku seorang pemimpin di al-Mukhtar, tentara Italia mengeksilkan kami ke Palermo, Italia; dan ketika para tentara itu ingin memisahkan aku dengan ibuku, ibu mengancam untuk melompat ke air dan bunuh diri. Para tentara itu akhirnya mengubah keputusan, dan setelah enam bulan (di Palermo), kita dikembalikan ke kamp konsentrasi Agaila dan dipenjara selama tiga tahun.”

Muhammad Abdalqadir al-’Abdali, kala itu berumur 13 tahun ketika jadi interniran di kamp Agaila, mengatakan dan menyaksikan hal yang mengerikan: “Lima orang dari suku kami bergabung dengan mujahidin. Jenderal Graziani balas dendam dengan menghukum secara kolektif dan mendeportasi seluruh anggota suku, sebanyak 1.000 orang, ke kamp Agaila; dan, selama tiga tahun, hanya 83 orang dari 1.000 orang yang berhasil keluar hidup-hidup dari kamp konsentrasi.”

Banyak dari mereka dipenjara dan mendekam di kamp-kamp dekil, beberapa lainnya jadi eksil dan berjumpa dengan laut-laut asing. Namun, Italia tak hanya melenyapkan manusia, hewan-hewan yang tak berpolitik itu juga kena pelor. Genosida Italia benar-benar tak pandang bulu, hewan-hewan ternak juga dimusnahkan sebagai strategi meredam amuk massa. Sebuah taktik lambung kosong.

Italia memusnahkan hewan ternak yang menjadi titik tumpu pangan masyarakat Libya. Ketika hewan ternak musnah, sumber makanan tak lagi ada, maka kelaparan jadi hal yang lazim. Pada tahun 1928, misalnya, empat tahun sebelum fasis Italia kalap, di timur Libya terdapat 600.000 hewan ternak. Pada tahun 1933, ketika rancang genosida dieksekusi, 85% kambing dan domba, juga 60% unta, tak lagi bisa disembelih dan tak jadi lauk pauk. Pada tahun 1910, total hewan ternak di beberapa wilayah Libya, seperti di Barqa, Kufra, dan Fezzen, sekitar 259.000 ribu; pada tahun 1926 tersisa 179.000; dan pada 1933 ketika Italia ngamuk, hewan ternak hanya tersisa 27.600. Manusia kelaparan dan hewan-hewan jadi bangkai. Haj Attiya Minana al-Hafi, misalnya, salah seorang interniran di kamp Agaila, mengatakan “keluargaku kehilangan 500 domba dan 50 kambing, dan seluruh unta kami mati selama kami dikirim ke kamp konsentrasi.”

Beberapa ternak juga kena letus senapan selama perjalanan deportasi al-Rihlan—terutama di Wadi al-Kuf, tempat para mujahidin menyuplai bahan makanan, terjadi pembantaian hewan ternak besar-besaran. Selama perjalanan panjang itu, makanan begitu sulit ditemui. Para interniran memakan segala hal, termasuk kaktus-kaktus; bahkan, jika tak ada lagi yang bisa dimakan, mereka terpaksa merebus rumput-rumput gurun.

***

            Para masyarakat Libya yang diasingkan ke empat kamp besar, mengungkapkan cerita-cerita kelam empat tahun genosida Italia bukan melalui teks, melainkan melalui tradisi oral.  Khususnya, masyarakat Libya menjadikan puisi sebagai tempat untuk mengekspresikan kematian dan penderitaan mereka yang begitu pelan-pelan. Puisi-puisi gubahan interniran itu dibaca dan dinyanyikan di pertemuan malam antar sesama penghuni kamp; dan, puisi juga telah menjadi bahasa komunikasi sehari-hari.

Satu kata yang akrab bagi para interniran adalah shar yang bermakna “iblis.” Bagi para interniran, kata shar punya makna khusus: kelaparan dan tiadanya makanan dan pertolongan medis. Benar, Italia adalah shar bagi rakyat Libya dan sudah menjadi simbol genosida—seperti shoah bagi masyarakat Yahudi. Rakyat Libya sadar betul, hanya puisi yang bisa menghapus rasa sakit. Dan, penderitaan mengerikan yang bermetamorfosa jadi puisi itu dikidungkan di tengah gurun-gurun pembantaian:

Tak ada penyakit di tubuhku tapi di Egaila,
tempat sukuku dikerangkeng
dan terbang jauh dari muasal

Tak ada penyakit, tapi di sini kesedihan tak punya ujung
Tak lagi punya isi lumbung-lumbung
dan aku sendiri kehilangan kuda bintik-bintik merah

Tempat itu membuat aku lupa pada diriku yang papa—
Air mata jatuh
Badai membasahi jenggot, banjir ngamuk

Dan penunggang kuda merah yang berapi-api—siapa pun yang jatuh
segera dirampas
oleh teman-teman hebat yang mengakui bahwa cintanya tak lagi bisa disangsi.

Penunggang kuda yang pernah mengejar unta liar,
kini kepalanya tunduk pada para penyerbu
seperti seorang gadis yang tak bisa bangkang

Dia membungkuk kepada mereka umpama selir
yang telah melakukan silap
Dan harus menunjukkan rasa hormat pagi dan petang

Puisi Rajab Buhwaysh, Tak Ada Penyakit Tapi Tempat Ini, merupakan puisi panjang yang saya kutip cuma sedikit. Puisi ini begitu menggambarkan keseraman kamp konsentrasi Italia. Dan, dari puisi ini kita tahu, di kamp Libya rasa sakit berkejar-kejaran, kota itu dikutuk menuai api, dan gurun lapar membuat tubuh jadi kisut.

 

Daftar Bacaan

Ali Abdullatif Ahmida. Genocide in Libya: Shar, A Hidden Colonial History. London: Routledge. 2021. (h.75-78; h. 84-85; h. 88-90; h. 95-98).

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here