Setelah Perang Dunia II, juga selepas kaum Yahudi dibantai dengan bengis oleh kegilaan Nazi Jerman, PBB memberi usul melalui Resolusi 181 pada 29 November 1947: bisakah Palestina dibagi jadi dua negara, yakni negara Yahudi dan Arab? Rakyat Palestina geram tanahnya diklaim semena-mena lalu ditawarkan agar dibagi dua, dan usulan ini juga membuat negara-negara Arab murka. Pada 14 Mei 1948, di bawah langit panas Timur Tengah, persis ketika Israel mendeklarasikan kemerdekaan—yang semu itu!—Mesir, Yordania, Suriah, Irak, dan Lebanon mengirim serdadu ke Negeri Batu Kapur itu dengan satu tujuan: Palestina tak boleh takluk. Akhirnya, amuk perang meletus dan desa-desa jadi abu.
Pada mulanya Desember 1947, sebulan setelah Resolusi 181 PBB, konflik antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina memanas. Zionis, melalui milisi seperti Haganah, Irgun, dan Stern Gang, mulai memberang, menyerang, dan menghancurkan segala hal yang menghambat berdirinya negara Israel. Para serdadu zionis itu mulai menjalankan Plan Dalet (Rencana D) dengan menghancurkan desa-desa.
Pada 12 Mei 1948, misalnya, dua hari sebelum deklarasi negara Israel, terdapat satu perintah terhadap Batalion Alexandroni: “Kalian harus, antara tanggal 14 dan 15 Mei, mengokupasi dan menghancurkan: Tira, Qalansuwa dan Qaqun, Irata, Danba, Iqtaba dan Shuwika. Lebih khusus lagi, kalian harus mengokupasi tapi jangan menghancurkan Qalqiya.” Kita tahu, Qalqiya adalah sebuah kota yang diduduki Israel di Tepi Barat, tapi kala itu Batalion Alexandroni gagal mengambil alih—dan hari ini, 76 tahun setelah Nakba, kota itu kini terkurung dan dikelilingi tembok besar setinggi delapan meter yang juga menandai kebijakan apartheid Israel.
Desa-desa remuk, entah dibakar, dibom, dibuldoser dan diruntuhkan melalui misil-misil atau tank lapis baja. Pada 14 Mei 1948, ketika Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara-berdaulat, lima negara Arab itu mulai mengirim serdadu untuk masuk ke gelanggang perang membantu Palestina—perang ini juga disebut sebagai Perang Arab-Israel 1948. Sejak itu ratusan desa dan puluhan kota jadi rusak, dan hingga hari ini, terus terjadi sebuah tihur.
Tihur adalah kata Ibrani yang bermakna “pembersihan,” “bersih-bersih”. Setelah deklarasi kemerdekaan itu, baik para komandan dan jenderal petinggi militer menggunakan kata “tihur”—secara terang-terangan dan tanpa merasa melanggar titah moral—sebagai nomenklatur tindakan operasi pencaplokan tanah Palestina. Para komandan tinggi itu memilih kata “pembersihan” untuk menggembleng dan mencuci otak para tentara sebelum dikirim memusnahkan desa-desa dan distrik-distrik urban. Palestina, 1948, jadi wilayah remuk setelah diseruduk tanduk baja Israel. Peristiwa pada Mei 1948 inilah yang dikenal sebagai Peristiwa Nakba.
Pada akhirnya, Israel menjadi sebuah entitas negara yang fait accompli, yakni sebuah kejadian—dalam konteks ini pendirian negara—yang terlanjur terjadi atau sudah kadung diputuskan tanpa persetujuan mereka yang terdampak; atau, dalam arti lain, membiarkan rakyat Palestina tak lagi punya pilihan selain menerima kemerdekaan Israel dan kengerian okupasi. Mereka dibersihkan, dan mau tak mau mengungsi ke tempat-tempat yang jauh dari aroma maut. Tanah kelahiran mereka sudah tak lagi jadi tempat aman untuk menyambung hidup, atau bahkan sekadar mendengar kokok ayam pedesaan di pagi-pagi buta yang dingin ketika embun tugur di daun hijau.
Salah satu desa yang kena amuk pembantaian paling ngeri itu bernama Tantura. Desa Tantura merupakan desa nelayan Arab Palestina, delapan kilometer dari Zikhron Ya’akov, dan terletak di pesisir Laut Tengah.
Pada 15 Mei 1948, intel Yahudi bertemu dengan masyarakat desa Tantura agar mereka tunduk dan menyerahkan tanah moyang mereka. Tahu bahwa menyerah adalah nama lain dari hangusnya desa dan membuat mereka terusir ke tanah-tanah asing, Tantura melawan dan tak sudi takluk. Seminggu setelah pembangkangan pada titah Israel itu, pada 22 Mei 1948, desa itu diserang pada malam hari; dan langit malam Tantura menurunkan tombak maut. Malam itu, Tantura jadi mimpi buruk bagi segala wujud yang bernapas.
Tentara Yahudi menyerang dari keempat sisi desa Tantura. Ada yang tak biasa dari penyerangan di malam maut itu: lazimnya, brigade militer Yahudi, secara taktis, membuat “gerbang terbuka” di salah satu sisi sebagai akses pelarian. Kurangnya koordinasi antarbrigade itu, membuat Tantura tak lagi punya akses keluar bagi pelarian penduduk. Penduduk yang tertangkap ditodong senjata api dan digiring ke pesisir pantai.
Di pinggir desir ombak malam Laut Mediterania itu, perempuan dan anak-anak dipisah dari laki-laki. Lalu, perempuan dan anak-anak itu diusir ke dekat Furaydis, dan para laki-laki menyusul setengah atau setahun kemudian. Para laki-laki Tantura itu dipaksa duduk membungkuk menunggu intelijen Israel, Shimson Mashvitz, untuk diinterogasi. Orang-orang yang terbukti mengkoordinasi perlawanan dikumpulkan ke dalam suatu kelompok kecil dan digiring ke tempat-tempat sepi di sepanjang pesisir Mediterania itu untuk dieksekusi. Tubuh mereka dihantam pelor, berlubang, dan bagi mereka yang sudah berkeluarga, membuat istri mereka jadi janda dan anak jadi yatim.
Kota yang dibangun dari reruntuhan Kota Foenisie kuno itu benar-benar hangus dan membuat 230 orang mangkat ke alam seberang. Sisanya mengungsi ke kamp pengungsi di Yarmuk, Syria, dengan membawa trauma dan ingatan berdarah. Tak hanya Tantura, selama Nakba, 530 desa lain juga bernasib hangus.
Penduduk di desa-desa Palestina terusir, desa-desa mereka hancur dan rumah yang hangus itu dibangun ulang menjadi kampung-kampung imigran Yahudi. Atau, menjadi taman kota tempat orang-orang imigran bersantai dan tertawa riang di atas sejarah tubuh yang jadi abu.
Di desa Deir Yassin, sebelah barat Baitul Maqdis, Yerusalem, pada 14 April 1948—sebulan sebelum deklarasi kemerdekaan itu—militer Zionis, Irgun dan Lehi, menghanguskan desa dan membuat 270 warga sipil menjemput maut. Deir Yassin hancur, semua penduduk minggat, tanah dicaplok, lalu pedesaan itu dijadikan pemukiman orang Yahudi.
Di kota kembar Lydda dan Ramle, dalam operasi yang dikenal sebagai Operasi Dani, 50.000 hingga 70.000 warga Palestina dipaksa minggat. Puluhan ribu orang itu berjalan kaki di bawah langit Palestina yang menyala-nyala dan dikenal sebagai “Lydda Death March.” Mereka diarak dan disuruh berjalan puluhan kilometer, banyak di antara penduduk meninggal karena kelelahan, dehidrasi, dan kekerasan yang dilakukan oleh para jagawana.
Di desa Safsaf, sebuah desa di Galilea Utara, selama Operasi Hiram, menjadi lokasi pembantaian serdadu Yahudi yang kalap. Dalam serangan itu, seperti yang sudah-sudah, membuat Safsaf hangus, gosong, dan 60 hingga 70 warga Palestina dieksekusi secara massal. Bengisnya, puluhan perempuan diperkosa oleh serdadu Israel.
Begitu pula nasib Yerusalem.
Berkat dukungan dari Legiun Arab, Yordania—yang waktu itu disebut Transyordania—dalam Perang Arab-Israel pada 1948, ingin menguasai Yerusalem. Kala itu, pada awal perang, Yerusalem terbagi menjadi dua wilayah: Yerusalem Barat (mayoritas Yahudi) dan Yerusalem Timur (mayoritas Arab). Pada Mei 1948 itu, Yerusalem jadi gelanggang perang antara Yordania dan Israel merebutkan kekuasaan atas tanah bersejarah Yerusalem. Israel, melalui militer Haganah dan Irgun, gagal mengambil alih Yerusalem Timur.
Selama pertempuran yang begitu gila itu, terutama Tembok Barat yang menjadi tempat paling suci bagi Yahudi, takluk ke tangan Yordania. Sejak kejatuhan itu, 1.500 warga Yahudi diusir dari Kota Lama dan setidaknya 58 sinagog hancur. Pada tahun 1950, setelah perang berakhir, Yordania sah menganeksasi Yerusalem Timur dan Tepi Barat. Aneksasi ini tak begitu mendapat pengakuan internasional, hanya Pakistan dan Britania Raya yang mengakui klaim Yordania atas Yerusalem Timur.
Pada akhirnya Yerusalem, selama 19 tahun, berada di tangan Yordania. Perlakuan kurang tepat Yordania, yang lebih dari satu dekade itu, membuat warga Yahudi tak bisa beribadah di Tembok Barat; dan sinagog-sinagog yang runtuh itu membuat warga Yahudi jadi kesumat.
Pada 27 Juni 1967, Yordania akhirnya takluk, dan Yerusalem Timur diambil alih. Tindakan pengambilalihan ini tak sah dan PBB menolak mengakui wilayah Yerusalem Timur dimiliki oleh Israel. Dan, menyebut Yerusalem Timur sebagai wilayah Palestina yang diduduki. Ucapan PBB itu tak digubris, Israel tetap membangun pemukiman di sepanjang Yerusalem Timur. Juga sejak itu, Yerusalem menjadi kota yang tak pernah habis bertikai. Sejak Nakba, hingga hari ini, tujuan Zionis hanya satu: membuat sedikit mungkin warga Palestina dan sebanyak mungkin warga Yahudi. Benar, sebuah tihur, “pembersihan,” depopulasi; singkatnya, genosida bertahap!
Setelah Yerusalem direbut, warga Palestina tak sudi ditindas dan dipinggirkan. Mereka protes dan melawan dalam dua bentuk intifada: Intifada Pertama (1987-1993) dan Intifada Kedua (2000-2005). Sepanjang perlawanan itu ribuan orang mati; dan Yerusalem, kota suci tiga agama itu, jadi sejarah yang bau amis darah.
Barangkali, jika kota itu bisa bersuara, Yerusalem ingin teriak dan menjerit persis seperti perkataan terakhir Yesus di Bukit Golgota: Eloi Eloi, Lama Sabakhtani! Allahku, ya Allahku, mengapa Kau tinggalkan Aku?
Mengapa Engkau meninggalkan Yerusalem dalam darah?