Terdapat begitu banyak proposal penelitian medis di Eropa, pada akhir abad kesembilan belas, yang hendak dikerjakan di Benua Hitam. Di wilayah-wilayah jajahannya itu, Eropa melakukan berbagai eksperimentasi demi kemajuan sains—persisnya ilmu medis—yang sedang pesat-pesatnya. Kulit hitam bagi Eropa hanyalah objek penelitian belaka yang, jika pun gagal, kematian mereka bukan perkara besar. Kemajuan modernitas, barangkali demikian yang Eropa pikirkan, selalu butuh tumbal.
Pada tahun 1894, misalnya, Inggris di bawah Anthropological Society yang dikepalai oleh Patrick Manson, seorang dokter spesialis di bidang ilmu medis tropis, berusaha untuk menyusun rancang penelitian terkait parasit darah. Dalam rangka untuk mengetahui sebaran penyakit parasit berdasarkan cakupan geografis dan perbedaan fisiologis, penelitian Manson itu didasarkan pada perbedaan ras, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan. Termasuk riset mengenai penyakit tidur (sleeping sickness) yang menjadi penyakit khas masyarakat Afrika; atau dalam dunia medis dikenal sebagai African trypanosomiasis, yang disebabkan oleh parasit Trypanosoma brucei. Namun, dari lima puluh responden kulit hitam dalam penelitian Manson, tak begitu jelas tata atur prosedur etika riset dalam merekrut para responden sebagai objek penelitian; izin formal dan syarat-syarat etis tak terlampir jelas. Kulit hitam, dalam penelitian itu, diperlakukan umpama hewan yang sekadar bisa bernapas. Mereka harus takluk dan dipaksa ditelaah dengan dingin di bawah metode-metode rigor saintifik. Kulit putih cemas jika parasit tersebut menyebar pelan-pelan melalui para pekerja kulit hitam dan membuat proyek kolonial jadi gagal total.
Dalam spektrum penelitian lain, juga pada tahun 1894, Harry Johnston, komisioner tertinggi Afrika Utara (saat ini Malawi), juga seorang ilmuwan alam dan etnografer, mengajukan kepada kolonial Inggris untuk melakukan riset perkawinan silang (miscegenation) antara orang Asia Selatan dengan masyarakat kulit hitam di tanah jajahan Inggris di Afrika Utara. Pada tahun 1894 tersebut, negara-negara Eropa sedang melakukan ekspansi perluasan wilayah jajahan ketika Johnston menawarkan proposal proyek penelitiannya itu. Di masa-masa perluasan tersebut, Johnston berpikir adalah saat yang tepat untuk melakukan sebuah eksperimentasi.
Setelah mereview proyek penelitiannya untuk menciptakan ras hybrid yang memuaskan, Johnston mengatakan dalam laporannya bahwa “Secara keseluruhan, aku pikir bahwa campuran warna kuning langsat yang dibutuhkan oleh orang negro harus berasal dari India, terutama di wilayah Afrika Utara dan Afrika Pusat di bawah teritori Inggris, harus bermetamorfosa menjadi Amerika Hindu. Campuran dua ras ini akan memberikan perkembangan fisik bagi orang India untuk menutupi kelemahan tubuh mereka, dan akan mentransmisikan kualitas negro ke dalam tubuh orang India, campuran ini akan menghasilkan keturunan dengan kualitas industri, penuh ambisi, dan kehidupan beradab yang tak dimiliki oleh orang-orang negro.” Proyek ini begitu rasial dengan memanfaatkan kekuasaan politik kolonial—dalam konteks ini Afrika Utara dan India sebagai wilayah jajahan Inggris—untuk memaksakan sebuah hipotesis riset sains.
Sebuah usaha mengamalgam dua tubuh ras yang berbeda ini, akhirnya dihindari oleh ilmuwan lain, termasuk Frederick Lugard dan John Kirk, pada tahun 1895, dalam International Geographical Congress yang diselenggarakan di London. Bagi dua ilmuwan tersebut, proyek Johnston harus dihindari bukan karena tak berdasar pada objektivitas sains, metode biomedis, dan pertimbangan etis; melainkan Lugard dan Kirk menghindar untuk melakukan penelitian percampuran ras karena, bagi keduanya, penelitian Johnston akan menghalangi eksperimen kunci kolonisasi Eropa di dataran tinggi Afrika Utara. Dan, di sisi lain, kedua ilmuwan itu cemas jika suatu saat akan menghasilkan “tipe biologis” yang menyerupai orang-orang Eropa.
Tiga dekade berikutnya, spesialis medis tropis Inggris, Andrew Balfour dan H.H. Scoot, melanjutkan eksperimentasi Lugard dan Kirk mengenai pemukim Eropa di bagian tropis Afrika: “Di Kenya…persisnya di daerah ekuator, sebuah eksperimen skala besar sedang dilakukan dan belum pernah ditemukan di wilayah mana pun di planet ini…Akankah ras tertentu (juga pengaruh tempat tinggal di dataran tinggi) mendegenerasi atau justru akan memertahankan kualitas intelektualitas dan figur moral?” Teori-teori dan riset-riset sains menyesuaikan dirinya dengan kondisi zaman dan tuntutan ideologi politik kolonial. Walhasil, dampak dari tuntutan kolonial tersebut menyebabkan literatur biomedis begitu kental dengan hipotesis-hipotesis rasial. Singkatnya, riset-riset sains tentang tubuh manusia, terutama yang dilakukan terhadap kulit hitam, bersinggungan erat dengan kebutuhan dan tujuan kolonialisme.
Tak hanya Inggris, pada tahun 1906, ilmuwan terkenal Jerman melancong ke Afrika Timur bersama istrinya untuk menemukan cara pengobatan untuk suatu penyakit. Laki-laki itu mendirikan sebuah “kamp konsentrasi” untuk orang-orang yang terkena penyakit tidur (sleeping sickness). Dan, ia mulai memberikan para pasien obat Atoxyl—sebuah reagen yang mengandung arsenik—meski komplikasi atau efek sampingnya adalah rasa nyeri hebat, kebutaan, dan paling buruk, bertemu maut.
Kita mungkin kenal dan namanya tak lagi asing: Robert Koch.
Koch terkenal dalam ilmu medis karena risetnya mengenai kolera dan tuberkulosis, dan menjadi salah satu pendiri mikrobiologi modern. Risetnya tentang kolera dan tuberkulosis itu mengantarkannya menjadi salah satu saintis paling terkenal di abad ke-19 dan ke-20. Puncaknya, karena penemuan-penemuannya, Koch diganjar Nobel Prize di bidang fisiologi dan medis pada tahun 1905. Empat postulat Koch, digunakan untuk mengetahui hubungan kausatif antara mikroba dan penyakit, yang diajarkan di sekolah-sekolah hingga hari ini. Dari Koch pula kita bisa menganalisis, dengan cara yang ilmiah, memahami penyakit, infeksi dan pengaruh lingkungan. Namun, Koch juga memiliki cerita kelam terkait dengan riset-riset sains yang ia kerjakan. Salah satunya, lawatan risetnya ke Afrika Timur ketika wilayah itu masih dikoloni oleh Jerman.
Setelah sampai di Afrika Timur, Koch segera mendirikan Bugula, “kamp konsentrasi medis” (Koch sendiri yang menamainya demikian!), pusat riset untuk penyakit tidur. Di Bugula itu, lebih dari 1.000 orang diberikan treatment Atoxyl dan ramuan medis lain yang sebelumnya belum pernah diuji. Selain untuk pusat riset, kamp ini didirikan agar parasit penyebab penyakit tidur itu tak menyebar dan meluas ke orang-orang kulit putih. Koch sendiri menawarkan lebih banyak kamp konsentrasi medis untuk mengembangkan riset. Kamp konsentrasi itu pada akhirnya memenjara kulit hitam di bawah gergasi ilmu medis yang rasis; dan, membuat masyarakat kulit hitam harus bersahabat dengan keganasan Trypanosoma brucei. Mata, telinga, dan bagian tubuh mereka secara teratur ditusuk runcing jarum untuk mengekstrak apa yang para ilmuwan itu sebut sebagai Krankenmaterial, atau “bahan penyebab sakit,” dari tubuh mereka.
Mungkin hari ini kita melihat Koch sebagai ilmuwan penting Jerman yang mentereng dengan sederet gelar dan anugerah atas capaian riset medis. Namun, cerita lawatan riset gelapnya ke Afrika, dengan mendirikan kamp konsentrasi medis, jarang disinggung orang. Kamp konsentrasi itu telah membuat ratusan masyarakat Afrika harus menyangga beban rasa sakit dan penderitaan tak terkira. Barangkali pembela Koch akan mengatakan, penderitaan kulit hitam itu bisa ditutupi dengan kontribusi Koch di bidang mikrobiologi. Namun, pernyataan ini salah total dengan mengabaikan bahwa dalam riset, ada ketentutan etis yang tak boleh dilanggar; bahwa manusia tak sekadar benda mati yang siap diutak-atik tanpa prosedur etis. Dan, mengabaikan bahwa Koch menggunakan senyawa arsenik yang begitu beracun, juga tusukan-tusukan runcing jarum, dalam menangani penyakit tidur (sleeping sickness).
Di Afrika, masyarakat kulit hitam hanyalah bahan uji coba untuk ramuan medis. Jika berhasil, ramuan medis itu—entah dalam bentuk vaksin atau antibiotik—akan diterapkan kepada orang-orang kulit putih. Afrika di era kolonial—bahkan hingga abad ke-20!—adalah laboratorium mahabesar Eropa untuk merekrut responden siap mati dan, pada akhirnya, responden itu ditelaah dengan dingin melalui hipotesis-hipotesis sains yang begitu rasial.
Kulit hitam di era ngeri itu—barangkali hingga hari ini—harus tunduk di bawah kengerian runcing jarum Eropa.