Menemukan “Di Tanah Lada” di antara tumpukan buku adalah salah satu kenangan yang tidak akan saya lupakan. Bermula dari kehabisan bahan bacaan yang menimbulkan kebimbingan, “Buku apa yang harus saya baca saat ini?”
Berbekal aplikasi Ipusnas, saya berselancar mencari target bacaannya berikutnya. Namun, di antara berbagai buku, saya malah memilih buku bersampul polos dengan gambar anak kecil di dalamnya.
Saya tidak langsung membaca sinopsisnya, tetapi melipir ke kolom ulasan untuk melihat testimoni dari pembaca sebelumnya. Sebagian ulasan mengungkapkan bagaimana mereka disergap dengan ‘kekosongan’ setelah membaca buku ini. Tentunya, pernyataan itu menimbulkan pertanyaan tersendiri, “Sekuat apa cerita yang disampaikan hingga mampu membuat seseorang merasa kosong?”
Berangkat dari beragam ulasan itu, saya akhirnya meyakinkan diri, “Saya tidak boleh melewatkan buku ini!”
Buku ini mengisahkan tentang Ava, seorang anak perempuan berusia 6 tahun yang belajar mendefinisikan kehidupan orang dewasa lewat kata-katanya yang polos. Dia lahir dan tumbuh dari seorang ayah yang seringkali melakukan kekerasan kepadanya. Ayahnya seolah membenci kehadirannya dan selalu mengecilkan hatinya, waktu demi waktu. Sedangkan, ibunya adalah malaikat tanpa sayap yang selalu berada di sisinya, namun tak bisa berbuat banyak di hadapan ayahnya.
Satu-satunya yang setia dalam dekapan Ava adalah kamus bahasa Indonesia yang selalu dibawanya kemana saja dia pergi. Sebuah hadiah sederhana dari Kakek Kia saat Ava masih berusia tiga tahun. Berbekal kamus itulah Ava mencoba untuk mendefinisikan setiap percakapan orang dewasa yang tidak dia pahami, mulai dari yang paling manis hingga yang pahit sekali pun.
Di suatu waktu yang tidak dia duga, Ava harus meninggalkan kamarnya yang hangat dan berpindah tempat tinggal ke Rusun Nero, sebuah bangunan kumuh yang tidak pernah dia bayangkan akan hidup di dalamnya. Hanya ada satu kamar tidur dengan ruangan lembab nan gelap. Namun, di tengah nelangsa yang dia rasakan, di tempat itulah Ava akhirnya bertemu dengan P, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun yang kelak menjadi sahabat Ava, sehidup semati.
Berangkat dari kondisi hidup yang sama, sama-sama mengalami kekerasan dari orang dewasa, Ava dan P akhirnya berpetualang untuk mencari potongan-potongan kebahagiaan yang mungkin terselip di suatu tempat, entah di mana. Mungkin di antara bintang-bintang atau deburan ombak di tepi pantai.
Tak jarang, mereka berbagi mimpi yang sama untuk bereinkarnasi menjadi berbagai bentuk di kehidupan berikutnya. Mereka berharap akan terlahir kembali dengan kehidupan yang penuh dengan kehangatan, tidak selayaknya kehidupan yang mereka jalani saat ini.
Petualangan mencari kebahagiaan itu akhirnya menemukan titik terang ketika Ava membayangkan Tanah Lada, sebuah tempat yang penuh dengan kedamaian dan ketentraman. Ava percaya, jika mereka tinggal di sana, tidak akan ada lagi penderitaan dan luka yang harus mereka hadapi di dalam kehidupannya.
Buku ini menjadi salah satu buku paling unik yang pernah saya baca. Kemampuan Penulis untuk menghadirkan POV seorang anak kecil berusia 6 tahun, lengkap dengan kepolosan dan kebaikan hatinya sangat luar biasa. Di setiap babnya saya selalu mendapati diri merenungi kehidupan Ava yang sangat memilukan.
Saya membayangkan, jika Ava bukanlah tokoh fiktif yang diciptakan Penulis di dalam ruang imajinasinya, melainkan sebuah realita yang terhampar jelas di kehidupan kita saat ini. Ada begitu banyak Ava-Ava lainnya di sekitar kita yang harus menderita karena ketidakmampuan orang dewasa untuk menghadirkan ruang kebebasan bagi anak-anak. Kita menganggap anak kecil adalah pemain figuran tanpa pernah memahami dampak paling berat yang harus dihadapinya.
Bahkan, di dalam buku ini, terlihat jelas bagaimana Ava dan P, sebagai anak kecil yang belum memiliki bekal kehidupan yang mumpuni, terlihat lebih dewasa daripada orang dewasa itu sendiri. Hati kecil mereka yang mungkin rapuh bahkan masih memikirkan bagaimana cara agar kehadiran mereka tidak menyakiti orang dewasa di sekitarnya.
Sesaat setelah mengakhiri bacaan ini, saya akhirnya menemukan ‘kekosongan’ apa yang dimaksud di dalam ulasan pembaca sebelumnya. Saya juga berakhir sama, sama-sama merenungi betapa dinginnya kehidupan yang kita jalani.
Data Buku

Judul : Di Tanah Lada
Penulis : Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2015
Jumlah Halaman : 244