Diplomasi Makan
Sumber foto: Luthfi J. Kurniawan (Suasana Toko Sarinah Jakarta yang bersebelahan dengan gedung tua Djakarta Theatre)

Sore itu pada pertengahan September, kami berjalan di bawah sinar matahari yang sama sekali tidak menyengat panasnya. Jakarta tidak seperti biasanya. Sinar mataharinya lebih lembut karena siangnya baru disapu air hujan yang tidak begitu deras, namun cukup untuk membasahi bumi. Udara sehabis hujan memang segar. Dalam cuaca normal rerata suhu Jakarta mencapai 35 hingga 38 derajat Celcius, terbilang panas.

Kami terus berjalan menyusuri koridor di kompleks Sarinah Jakarta yang baru selesai direnovasi untuk menemui salah satu keluarga dan kolega yang bertempat tinggal di Jakarta. Sebelumnya kami telah membuat janji bahwa setelah sholat ashar kita akan bertemu sambil ngopi dan bercengkrama di penampilan baru Sarinah yang amat menawan dan “manusiawi” karena banyak ruang publik yang dapat digunakan untuk bercengkerama.

Duduk di sebelah timur sambil menikmati kudapan modern dan segelas kopi yang telah diolah secara modern pula. Mata ini tertuju pada gedung tua yang bertuliskan Djakarta Theatre yang sangat dikenal di masa lampau sebagai gedung modern awal dan sebagai bioskop yang dibangun di Jakarta dan juga dilengkapi dengan pusat perbelanjaan ketika itu.

Sarinah, banyak dikenal di masa kini hanyalah sebuah toko modern. Dan Sarinah ini ada di beberapa kota besar tidak hanya di Jakarta, sebagai salah satu contoh ditempat tinggal saya di Kota Malang. Sarinah dulunya adalah Gedung Societeit Concordia di zaman Hindia Belanda dan Gedung ini pula yang pernah dipakai sidang pleno KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) ke-5 yang dipimpin oleh Mr. Asaat pada tahun 1947.

Nama Sarinah yang disematkan oleh Soekarno –pemimpin revolusi yang kemudian menghantarkan Indonesia merdeka– pada awalnya adalah sebuah nama seorang perempuan yang mengasuh Soekarno kecil yang seringkali menyelipkan nasehat-nasehat kepada Soekarno dalam pengasuhannya. Nasehat yang diberikan yaitu seputar penghargaan dan pentingnya perempuan untuk dilibatkan dalam pergerakan kemerdekaan. Nah, itulah sekilas asal muasal nama Sarinah yang kemudian disematkan oleh Soekarno saat pendirian toko modern pada tahun 1962 dengan nama Sarinah. Departemen Store Indonesia secara resmi pengoperasiannya pada tahun 1966.

Diplomasi Makan
Sumber foto: Luthfi J. Kurniawan (Suasana ruang diplomasi makan)

Kembali pada sore itu, di saat kami bertemu dengan keluarga sambil ngobrol ngalor-ngidul, bercengkerama dengan ditemani makanan kecil dan minuman hingga tuntas pada waktu sekitar pukul 18.00 wib. Selepas itu, malamnya saya masih mempunyai perjanjian dengan seorang kawan yang kebetulan menjadi salah satu punggawa di Republik ini. Sekira pukul 19.30 kami bertemu yang kemudian dilanjutkan berbincang santai diselingi hal-hal yang serius tanpa mengurangi selera humor kawan saya. Akhirnya pada petang itu pertemuan menjadi renyah apalagi diikuti dengan hidangan yang tidak terlalu berat namun cukup memberikan isi pada perut kami.

Sebenarnya sehari sebelum berangkat ke ibu kota Jakarta yang konon nantinya akan dipindah ke pulau Kalimantan, kami di Kota Malang juga bertemu dengan beberapa orang yang punya pengaruh di jagat politik Malang. Kami bertemu juga di sebuah kedai, kalaupun tidak disebut sebagai kafe ataupun warung makan. Di situ kami juga menikmati makanan yang disajikan sambil lalu mendiskusikan beberapa hal tentang masalah-masalah kemasyarakatan yang ada di Malang.

Pendek kata pertemuan di warung, kedai ataupun kafe saat ini sedang tren dan telah menjadi gaya hidup untuk membincangkan beragam hal yang telah terjadi ataupun yang akan dilakukan dengan diselingi menu makan dan minum. Mungkin inilah sebagai bagian dari proses yang disebut sebagai salah satu bentuk diplomasi. Artinya, membicarakan dan menyusun rencana ataupun menyelesaikan masalah baik yang sederhana oleh rakyat jelata maupun oleh para petinggi lembaga, perusahaan maupun lembaga negara ternyata bisa diselesaikan di warung atau dengan sebutan kafe maupun restoran.

Aktivitas diplomasi warung kopi itu lumrah dilakukan sebelum menuju penyelesaian formal ataupun sebaliknya setelah pertemuan formal hal teknis penyelesaian lanjutannya diselesaikan di warung sambil lalu ngopi dan makan. Pada bulan Agustus lalu, di rukun tetangga saya membicarakan berbagai kegiatan dan peringatan tujuh-belas agustus juga kami lakukan dengan cara makan bersama lalu setelahnya rapat.

Diplomasi Makan
Sumber foto: Intisari.grid.id (Presiden Soekarno berbincang dengan Presiden Yugoslavia, Josip Broz Tito)

Dulu, ketika saya masih mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atas, saya pernah membaca sebuah buku karangan Guntur Soekarno Putra, kalau tidak salah judulnya adalah “Bapakku, Kawanku, Guruku”. Pada satu cerita dalam buku tersebut, Presiden Soekarno melakukan kunjungan ke Yugoslavia untuk memenuhi undangan Josip Broz Tito, salah satu kawannya yang dianggap sama-sama mengembangkan politik revolusioner ketika itu. Diceritakan bahwa pada suatu waktu diadakan jamuan makan malam kenegaraan sambil lalu membincangkan tentang kolonialisme dan diperlukannya membentuk gerakan non-blok. Luar biasa, hampir semua hal banyak dilakukan dengan pendekatan makan bersama.

Kembali ke urusan makan, ternyata mulai dari urusan remeh temeh hingga urusan penting dan segawat apapun banyak diselesaikan dengan jamuan makan. Mulai dari rakyat jelata hingga pemimpin negeri menyelesaikan beragam urusan juga dilakukan sambil makan. Kini, tren istilahnya dalam setiap melakukan perjumpaan baik itu urusan keluarga, urusan pekerjaan, urusan politik, mungkin juga urusan bisnis banyak diselesaikan kesepakatannya di meja makan. Kalau bahasa gaulnya anak milenial saat ini, “ayo kita selesaikan sambil ngopi”.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here