Lahir di Tanawangko, Tombariri, Minahasa, Sulawesi Utara pada 1895, Emiria Emma Wilhelmina Pareira Soenassa merupakan seorang maestro lukis wanita modern pertama Indonesia atau lebih dikenal dengan nama Emiria Soenassa. Bahkan dalam Majalah Perintis yang terbit pada tahun 1951 Usmar Ismail yang merupakan tokoh Perfilman Indonesia menyebutkan bahwa sosok Emiria Soenassa itu sejajar dengan Chairil Anwar dan Kartini.
Di beberapa literatur disebutkan pula bahwa Emiria belajar melukis secara otodidak usai bertemu dengan Kepala Kantor Urusan Bumiputra yakni Guillaume Frederic Pijper yang menyukai seni, dan dari pertemuan inilah yang mendorongnya untuk melukis dan mengawali karier seninya pada usia 46 tahun.
Latar Belakang Pendidikan Emiria Soenassa
Pendidikan formal Emiria sebenarnya hanya sampai kelas 3 di Europeesche Lagere School, meskipun ia merupakan putri dari Sultan Tidore yang berpemikiran modern, tetapi ayahnya hanya mengizinkan ia sekolah hingga kelas 3 saja. Namun “Jiwanya berontak” dan bertekad bahwa kelak ia akan menjelajahi negeri-negeri jauh untuk mempelajari banyak hal (Budi Setiyono, 2010).
Akan tetapi pada tahun 1912-1924 ia mengikuti pendidikan perawat di Rumah Sakit Primaya PGI Cikini, Jakarta. Hingga suatu ketika ada seorang diplomat asing yang sakit dan dirawat oleh Emiria, dari pertemuan inilah akhirnya ia dilamar lalu ikut pasangannya pulang ke Eropa. Di Eropa Emiria belajar tari balet dengan Miss Duncan di Dalcroze School (Brussel, Belgia) dan dengan Green di Amsterdam, Belanda.
Awal Karir Seni Rupa
Setelah bercerai tahun 1920-an, Emiria pulang ke Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia kala itu) dan pada rentang tahun 1920an-1930-an inilah Emiria dikabarkan menjelajahi Nusantara. Belakangan ia bertemu dengan Guillaume Frederic Pijper, seorang Kepala Kantor Urusan Bumiputra dibawah pemerintah kolonial yang menyukai seni. Suatu hari Pijper memperlihatkan sebuah lukisan yang ia bawa dari Belanda kepada Emiria untuk meminta pendapat, dan tanpa canggung Emiria melontarkan banyak kritik hingga membuat Pijper terkesan. Padahal ia belum pernah melihat Emiria melukis ataupun melihat hasil lukisannya, hingga akhirnya ia diminta untuk membuatkan lukisan sebagai kado ulang tahun Pijper. Dari pertemuan inilah yang membuat Emiria terdorong untuk melukis.
Emiria belajar melukis secara otodidak seperti kebanyakan para pelukis di masanya, dan juga tercatat pernah belajar melukis di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), serta merupakan satu dari tiga anggota perempuan di Persagi, selain Saptarita Latif dan Tridjoto Abdullah. Berbeda dengan keduanya, Emiria mulai melukis secara individu.
Keaktifan di Dunia Seni Rupa
Emiria pernah berpartisipasi dalam pameran lukis pertama Persagi tahun 1940 di Toko buku Kollf, Batavia. Ketika lukisannya semakin banyak dan sudah mulai dikenal, Emiria ikut memamerkan hasil lukisannya pada pameran pertama pelukis-pelukis lokal (pribumi) di Bataviasche Kunstkring tahun 1941 di Batavia. Pada masa pendudukan Jepang, Emiria Soenassa juga menjadi anggota Keimin Bunko Shidoso (Pusat Kebudayaan) bagian seni dan ikut berpameran lukisan. Begitu juga ketika Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) yang terbentuk tahun 1943 dibawah kepemimpinan “Empat Serangkai” yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mas Mansoer, Emiria kembali masuk sebagai anggota seksi kesenian yang dipimpin oleh S. Soedjojono dan sudah tentu turut aktif mengikuti berbagai pameran.
Dalam buku “Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa” yang diterbitkan oleh Goenseikanbu tahun 1944 semasa pendudukan jepang, namanya tercatat dengan menggunakan gelarnya yakni Emiria Sunassa Wama’na Poetri Al-Alam Mahkota Tidore.
Pada buku Dua Seni Rupa yang ditulis oleh Sanento Yuliman, menyebutkan bahwa pada akhir bulan April tahun 1943, Emiria memamerkan sejumlah lukisan dengan objek lukisan berupa patung masyarakat suku Indonesia. Ia pernah berpartisipasi dalam pameran bersama di Taman seni rupa Merdeka, Kebayoran, Jakarta. Setelah tahun 1950-an tidak ada yang tahu ke mana sosok Emiria Soenassa dan banyak kabar yang menyebutkan bahwa sang seniman meninggal pada tahun 1964 di Lampung.
Lukisan-lukisannya pun disimpan oleh teman dan tetangganya bernama, Jane Waworuntu. Dan barulah pada tahun 2010 karya-karya Emiria Soenassa dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) dengan tajuk “Masa Lalu Selalu Aktual” dari koleksi keluarga Waworuntu tersebut, sebanyak 28 lukisan.
Emiria dalam Seni Rupa Indonesia
Banyak kalangan yang menilai kalau Emiria Soenassa adalah sosok pelukis gerakan feminis awal di Indonesia karena dalam berbagai lukisan-lukisannya, ia sering menampilkan sosok perempuan. Sumbernya berasal dari berbagai cerita rakyat, perspektif pribadi, masyarakat etnik atau etnisitas. Hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang tertuang dalam lukisan Wanita Sulawesi (1958), Market (1952), Wanita Berpayung (1957) Potret Wanita Tua (1930-1960), Panen Padi (1942) dan masih banyak lagi.
Semasa hidup ia dikenal sebagai pelukis revolusioner, mengingat pada masa itu ia langsung berhadapan dengan pelukis-pelukis gaya Mooi Indie. Meski banyak dikritik pedas, namun ia konsisten dengan gaya melukis yang dipilihnya hingga akhir hayat. Tak hanya aktif di berbagai kegiatan seni namun juga aktif di berbagai kegiatan dalam berbagai kesempatan. Pada tahun 1949 ia menjadi salah satu delegasi yang hadir di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. selain itu Emiria juga aktif di Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang ditulis oleh Milla Joesoef dalam artikel Perupa Perempuan Indonesia: Emiria Soenassa.
Sosok Emiria Soenassa menjadi salah satu tokoh penting bangsa yang terlupakan. Berbeda dengan Anggota Persagi lain, namanya justru tak banyak disebutkan dalam literatur. Untuk mengenang jasa-jasanya, saat ini namanya diabadikan di Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai nama salah satu galeri yakni Galeri Emiria Soenassa.