Bagi penggemar musik klasik, karya Antonio Vivaldi berjudul Four Seasons mungkin sudah tidak asing lagi. Komposisi ini menggambarkan siklus perubahan musim dengan alunan serenada yang indah, namun bagi saya, karya tersebut mencerminkan kondisi mental yang saya alami sebagai penyintas Bipolar Affective Disorder. Saya didiagnosis pada awal Maret 2022, dan perubahan mood yang saya alami sering kali terasa selaras dengan alunan musim-musim dalam karya Vivaldi itu.
Spring (Musim Semi)
Saat saya bangun di pagi hari dengan perasaan penuh sukacita karena hari-hari sebelumnya berjalan dengan baik, saya merasa seperti berada di musim semi. Segalanya terasa lebih cerah, dan dalam momen tersebut, saya merasa memiliki kehidupan yang seimbang—mengatur keluarga, pekerjaan, dan sosial dengan baik. Perasaan ini memberikan makna kebahagiaan yang hakiki, terutama saat saya bisa menjalani ibadah dengan penuh kekhusyukan. Musim semi adalah saat ketika segalanya terasa harmonis.
Namun, seperti halnya alam, perubahan musim selalu datang. Seperti alunan musik Vivaldi, kebahagiaan yang saya rasakan tidak bertahan lama. Ada siklus yang terus berputar, dan saya tahu itu akan datang yakni musim panas.
Summer (Musim Panas)
Ketika musim semi beranjak menjadi musim panas, rasa gembira yang sebelumnya menyenangkan berubah menjadi sesuatu yang berlebihan. Saya merasakan energi yang meluap-luap, dan setiap peluang yang datang ingin saya ambil tanpa ragu. Totalitas yang saya berikan terhadap semua hal membuat pikiran saya mendidih, seperti halnya panas matahari di puncak musim panas. Saya tidak bisa berhenti bergerak dan cenderung mengambil terlalu banyak beban. Pada titik ini, saya sering kali merasa kewalahan, tetapi sulit untuk berhenti.
Meskipun musim panas dalam bipolar bisa memberikan produktivitas yang tinggi, itu juga menjadi momen di mana saya kehilangan kendali. Saat itulah saya mulai memasuki fase berikutnya, yang lebih gelap dan penuh tantangan.
Autumn (Musim Gugur)
Pada fase ini, energi yang sebelumnya begitu meluap mulai menurun, dan rasa kelelahan mulai mendominasi. Musim gugur adalah saat ketika semua yang saya bangun dan usahakan mulai terasa runtuh. Semangat yang tadinya berkobar-kobar kini memudar, dan saya merasa seperti berada di tengah taman yang gugur dengan daun-daun berserakan. Setiap langkah terasa berat, dan meskipun tubuh saya terus bergerak, jiwa saya mulai layu. Perasaan ini menimbulkan kesedihan yang dalam, seperti angin dingin yang meniup dedaunan hingga terserak di tanah. Pada fase ini, saya sering merasa tertekan dan cemas, seolah-olah tidak ada jalan keluar.
Winter (Musim Dingin)
Ketika saya sampai di musim dingin, semua menjadi membeku. Perasaan marah, benci, dan kecewa terhadap kejadian-kejadian traumatis muncul dengan kuat. Sorot mata saya mengeras, dan naluri saya mengkristal seperti bongkahan es. Saya ingin tampak kuat, namun di dalam hati saya menyimpan rasa sakit yang mendalam. Pada titik ini, komunikasi dengan orang-orang terdekat menjadi sulit karena saya menutup diri. Musim dingin dalam bipolar adalah saat yang paling sulit untuk dilewati.
Namun, saya percaya bahwa selalu ada harapan untuk kembali ke musim semi. Untain doa dari diri sendiri atau orang-orang yang saya cintai sering kali menjadi awal dari perubahan menuju fase yang lebih baik.
Menghadapi Bipolar sebagai Bapak
Perubahan suasana hati yang drastis ini bukan hanya berdampak pada diri saya, tetapi juga pada keluarga saya, terutama istri dan anak-anak. Sebagai seorang suami dan bapak dari dua anak, saya sadar bahwa tanggung jawab besar ada di pundak saya. Terkadang, saya merasa takut bahwa kondisi mental saya akan memengaruhi mereka, tetapi saya bertekad untuk memutus rantai “sakit” ini agar tidak berlanjut ke generasi berikutnya.
Pertama, saya berusaha mengenali musim apa yang sedang saya alami. Ini penting karena memengaruhi cara saya berkomunikasi dengan keluarga, terutama istri. Memahami diri sendiri adalah langkah awal sebelum meminta orang lain untuk memahami kita. Sebagai suami, saya mencoba berdialog dengan istri saat suasana hati sedang baik. Saya sering menanyakan hal-hal yang mungkin tidak disukai istri dari saya, terutama saat saya mengalami perubahan mood.
Namun, dalam fase yang lebih sulit, seperti musim gugur atau dingin, menghadapi anak-anak menjadi tantangan tersendiri. Anak-anak, terutama toddler, belum bisa diajak berkompromi. Saat anak rewel, saya sering memilih untuk diam atau sekadar menggendongnya agar tenang. Untuk anak yang lebih besar, saya memberikan kebebasan bermain sekitar 15 menit untuk meredakan ketegangan. Terkadang, saya menggunakan screen time sebagai solusi cepat saat kondisi burnout melanda. Meskipun metode ini kontroversial, bagi saya, ini lebih baik daripada melampiaskan kemarahan secara fisik atau verbal kepada anak-anak.
Mengelola Diri untuk Keluarga
Siklus empat musim yang saya alami dalam bipolar, mirip dengan alunan musik Vivaldi, tidak selalu suram. Ada saat-saat penuh kebahagiaan, dan saya berusaha untuk memanfaatkan momen-momen tersebut sebaik mungkin. Saya belajar untuk menerima kelemahan diri, dan dari sanalah kekuatan saya tumbuh. Meskipun tidak mudah, saya berusaha terus-menerus untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga saya.
Di akhir hari, saya menyadari bahwa keluarga adalah sumber kekuatan utama saya. Tanggung jawab sebagai bapak memberikan dorongan untuk terus berjuang menghadapi bipolar, meskipun musim demi musim terus berganti. Afirmasi saya pribadi: terima kelemahan diri dan bangun kekuatan dari sana—karena inilah yang dibutuhkan oleh keluarga tercinta saya.