Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad, dikenal dengan panggilan Goen atau GM, adalah figur yang sangat penting dalam sejarah pers dan sastra Indonesia. Fakta menarik tentangnya adalah bahwa ia merupakan pendiri Majalah Tempo, sebuah majalah yang menjadi simbol kebebasan pers di Indonesia. Hubungan antara Goenawan dan Tempo begitu erat, sehingga sulit memisahkan satu dari yang lain. Meski kini ia tak lagi menjadi pemimpin redaksi, Goenawan tetap aktif menulis di kolom Catatan Pinggir yang terkenal.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Goenawan lahir dengan nama lengkap Goenawan Soesatyo Mohamad pada 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah, sebagai anak bungsu dari delapan bersaudara. Lahir di keluarga penganut Islam yang terbuka, ayahnya adalah seorang tokoh pergerakan yang berperan penting dalam memberikan akses luas terhadap bacaan kepada Goenawan sejak kecil. Kecintaan pada literatur pun tumbuh pesat, menjadikan Goenawan seorang kutu buku.

Setelah menamatkan sekolah menengah atas, Goenawan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, dari tahun 1960 hingga 1964. Meski demikian, ketertarikannya lebih mengarah pada filsafat, kebudayaan, dan sastra. Hal ini membawanya untuk melanjutkan studi ke College d’Europe di Belgia pada tahun 1965-1966, kemudian di Universitas Oslo, Norwegia, pada tahun 1966. Goenawan juga sempat mendalami ilmu pengetahuan di Universitas Harvard pada tahun 1989-1990. Meskipun telah belajar di berbagai institusi bergengsi, Goenawan tidak pernah menyelesaikan gelar akademiknya, lebih karena ketertarikannya pada bidang-bidang sosial dan budaya.

Awal Karier Menulis dan Jurnalistik

Karier menulis Goenawan dimulai saat ia masih di sekolah menengah atas, ketika ia menerjemahkan puisi karya Emily Dickinson yang dimuat di Harian Abadi. Pada tahun 1971, ia menerbitkan kumpulan puisinya yang pertama, Parikesit, dan menyusul beberapa karya lainnya seperti Interlude (1973) dan Asmaradana (1992). Namun, yang paling dikenal dari karya-karyanya adalah puisi Misalkan Kita di Sarajevo yang diterbitkan pada 1998, yang banyak mengungkapkan keprihatinannya terhadap tragedi di Bosnia.

Sebagai jurnalis, Goenawan memulai karier di Harian KAMI dan Majalah Horison. Karier jurnalistiknya mencapai puncak ketika ia mendirikan Majalah Tempo pada tahun 1971 bersama rekan-rekannya. Di usia 30 tahun, Goenawan menjadi Pemimpin Redaksi Tempo. Majalah tersebut dengan cepat mendapatkan perhatian publik berkat liputannya yang berani mengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.

Tempo: Majalah Oposisi dan Pembredelan

Tempo di bawah Goenawan memainkan peran penting sebagai media yang independen dan kritis terhadap rezim Soeharto. Hal ini membuat majalah tersebut dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah, hingga akhirnya pada tahun 1994 Tempo diberedel dan dihentikan penerbitannya. Namun, Goenawan tidak tinggal diam. Ia bersama para jurnalis muda mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi yang memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia. Selain itu, ia juga mendirikan Institusi Studi Arus Informasi (ISAI), sebuah lembaga yang mendokumentasikan kekerasan terhadap pers dan memberikan pelatihan kepada jurnalis untuk membuat berita berkualitas.

Setelah lengsernya Soeharto pada tahun 1998, Tempo kembali beroperasi dan Goenawan kembali menjabat sebagai Pemimpin Redaksi untuk satu tahun sebelum menyerahkan kepemimpinan kepada Bambang Harymurti. Meskipun begitu, keterlibatan Goenawan di Tempo tidak berakhir. Ia masih menulis secara rutin di kolom Catatan Pinggir, sebuah kolom yang sudah ia geluti sejak awal berdirinya majalah tersebut.

Karier Sastra dan Karya-Karya Besar

Goenawan juga dikenal sebagai salah satu penyair dan esais paling berpengaruh di Indonesia. Selain Parikesit dan Misalkan Kita di Sarajevo, ia juga menerbitkan berbagai kumpulan esai yang memperkuat posisinya sebagai esais terkemuka. Kumpulan esainya yang pertama, Potret Penyair Muda sebagai Si Malin Kundang, diterbitkan pada tahun 1972, diikuti dengan karya lain seperti Seks, Sastra, dan Kita (1980) dan Kesusastraan dan Kekuasaan (1993).

Catatan Pinggir, kolom esainya di Tempo, adalah salah satu karyanya yang paling terkenal. Esai-esai tersebut tidak hanya membahas isu-isu lokal, tetapi juga persoalan internasional, mulai dari politik hingga kebudayaan. Seri pertama Catatan Pinggir dibukukan pada tahun 1982, dan pada tahun 2012 kembali diterbitkan dalam sembilan jilid.

Penghargaan dan Pengakuan

Atas kontribusinya yang besar dalam dunia jurnalistik dan sastra, Goenawan telah menerima berbagai penghargaan bergengsi. Pada tahun 1971, ia dianugerahi Anugerah Seni oleh Pemerintah Indonesia, meskipun ia menolak penghargaan tersebut karena ketidaksetujuannya terhadap proses seleksinya. Pada tahun 1992, Goenawan menerima Penghargaan A. Teeuw dari Universitas Leiden, Belanda. Penghargaan ini mengukuhkan posisinya sebagai salah satu cendekiawan terkemuka di Indonesia.

Goenawan juga menerima Dan David Prize di bidang sastra, serta penghargaan Louis Lyons dari Universitas Harvard pada tahun 1999. Selain itu, pada tahun 2004, ia dianugerahi Penghargaan Achmad Bakrie oleh Freedom Institute atas kontribusinya dalam dunia sastra dan jurnalistik.

Goenawan Mohamad adalah sosok penting dalam perkembangan pers dan sastra Indonesia. Sebagai wartawan dan pendiri Majalah Tempo, ia berperan besar dalam memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Sebagai penyair dan esais, karyanya telah mempengaruhi banyak orang dan menjadi salah satu pilar penting dalam perkembangan sastra modern Indonesia. Hingga kini, meskipun usianya sudah tidak muda lagi, Goenawan tetap aktif menulis dan berkarya, memberikan inspirasi bagi generasi penerus di dunia jurnalistik dan sastra.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here