Tulisan dari Zaqhlul Ammar pada kolom di https://www.semilir.co/pengkultusan-sang-kyai/ menarik untuk didiskusikan. Karena secara bahasa istilah kultus adalah penghormatan secara berlebih-lebihan kepada seseorang. Dalam konteks relasi kiai-santri, menurut saya itu bukan pengkultusan, tapi penghormatan. Mari kita bedah.
Dalam esainya, penulis memandang bahwa penghormatan terhadap kiai telah melampaui batas hingga masuk dalam wilayah pengkultusan. Dampak dari rasa takdzim yang berlebihan tersebut pada gilirannya mengurangi kemampuan kritis para santri dan jamaahnya.
Argumen ini, walaupun rasional dari beberapa prespektif, tetap memerlukan klarifikasi yang lebih mendalam. Tidak semua bentuk penghormatan dapat dianggap sebagai pengkultusan. Apalagi pada kultur adat ketimuran, bangsa Indonesia terkenal dengan sikap yang sopan, santun, serta memuliakan orang yang lebih tua.
Penulis memberikan opini bahwa akar dari pengkultusan itu karena faktor sejarah, sosial, pendidikan, dan agama. Disini secara terbuka saya akan memberikan pandangan lain yang mungkin belum tersentuh. Hakikatnya, banyak alasan kenapa masyarakat kita memberikan penghargaan yang luar biasa kepada kiai. Ada beberapa sudut pandang terkait sumbangsih kiai baik dari aspek sosiologis, penjaga nilai, serta peran politik yang signifikan bagi masyarakat Muslim Indonesia, terutama pada budaya pesantren di Jawa.
Kontribusi Sosial
Dalam perspektif sosiologis, peran kiai di masyarakat Muslim Indonesia memiliki pengaruh yang luas. Penghormatan yang diberikan kepada kiai kebanyakan berdasarkan kontribusi penting mereka dalam berbagai aspek kehidupan sosial kemasyarakatan. Para kiai memainkan peran sentral dalam ritus-ritus dan tradisi sosial yang terkait erat dengan keyakinan masyarakat.
Beberapa contoh nyata yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah peran kiai dalam memberi nama bayi, meminta doa untuk hajat tertentu, mengistikharahkan untuk keputusan besar seperti pernikahan, serta menentukan hari baik untuk berbagai kegiatan, seperti memulai pembangunan rumah atau membuka usaha, bahkan pada prosesi kematian dan ritual pasca kematian. Aktivitas-aktivitas ini menunjukkan bahwa kiai dilihat sebagai perantara yang memiliki pengetahuan lebih tentang hal-hal spiritualitas dan tradisi keagamaan, sehingga umat sangat mempercayai saran dan bimbingannya dalam urusan yang berkaitan dengan “keberkahan” atau “petunjuk dari Allah.”
Di sisi lain, dalam tataran yang lebih luas, kiai sering kali menjadi mediator dalam konflik sosial atau memberikan nasihat moral untuk menjaga keharmonisan masyarakat. Di banyak daerah pedesaan, kiai berperan sebagai pemimpin informal yang disegani, di mana kata-kata dan nasihatnya sangat diperhitungkan. Ini mencerminkan adanya penghormatan yang tidak sekadar religius, tetapi juga sosial dan kultural.
Penjaga Nilai
Kiai di Indonesia bukan hanya seorang pemimpin agama, tetapi juga seorang penjaga nilai dan tradisi budaya yang sudah ada sejak lama. Mereka sering kali menjadi perantara antara ajaran agama dan realitas sosial masyarakat, menuntun umat dalam mengamalkan Islam secara kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Posisi ini bukan sekadar simbolis tetapi merupakan peran aktif dalam menjaga keseimbangan antara agama dan budaya lokal. Penghormatan yang tinggi kepada kiai mencerminkan pengakuan terhadap peran mereka dalam memelihara tradisi spiritual dan etika yang mendalam.
Bantahan terhadap argumen pengkultusan muncul karena penghormatan ini bukanlah penghambaan buta. Masyarakat Muslim Indonesia menghormati kiai karena mereka adalah sumber pengetahuan agama yang otoritatif dan valid. Ini berbeda dengan pengkultusan yang mengaburkan rasionalitas atau fanatisme membabi buta. Pengikut kiai tidak selalu menelan bulat-bulat setiap pandangan kiai, tetapi ada penghormatan berbasis kepercayaan yang telah teruji.
Sejarah Islam di Indonesia sangat dipengaruhi oleh peran sentral pesantren dan kiai. Kiai, sebagai ulama lokal, mendapatkan otoritas mereka bukan hanya dari klaim pribadi, tetapi dari pengakuan kolektif komunitas berdasarkan ilmu agama, perilaku yang saleh, dan kontribusi sosial. Otoritas ini didasarkan pada proses panjang pendidikan dan dedikasi kiai dalam mengajar dan membimbing masyarakat.
Argumen bahwa hal ini mengarah pada “pengkultusan” cenderung menyederhanakan hubungan kompleks antara kiai dan masyarakatnya. Sebagian besar umat memahami bahwa kiai juga manusia yang tidak lepas dari kesalahan. Namun, dalam konteks tradisional Islam, pemimpin agama diberi penghormatan yang tinggi sebagai bentuk adab dan rasa syukur atas pengorbanan mereka dalam mendidik umat. Ini adalah penghargaan yang didasarkan pada nilai etika dan bukan pada penghambaan buta.
Peran Politik Kiai
Penulis juga mengkritisi bahwa pengaruh kiai sering kali meluas hingga ke ranah politik, seolah-olah pengkultusan kiai telah melunturkan objektivitas umat dalam memilih pemimpin politik. Memang benar bahwa kiai memiliki pengaruh politik yang signifikan, tetapi ini adalah bagian dari realitas sosial di mana agama dan politik sering kali tidak bisa dipisahkan sepenuhnya, khususnya di Indonesia. Dalam hal ini, masyarakat juga memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak nasihat politik kiai. Sah-sah saja.
Kiai yang terlibat dalam politik tidak selalu menunjukkan bentuk “pengkultusan.” Mereka mungkin memberikan panduan moral dan etika politik berdasarkan ajaran agama, dan umat memiliki otonomi untuk memutuskan sendiri. Banyak komunitas yang justru menghargai keterlibatan kiai dalam memberikan panduan politik, karena mereka melihat kiai sebagai figur yang berintegritas dan mampu menawarkan panduan yang didasari oleh nilai-nilai agama, bukan kepentingan pribadi.
Dalam banyak kasus, ditemukan perbedaan antara kiai dan santri dalam pilihan politiknya. Walau demikian, masalah tersebut tidak sampai mengurangi derajat penghormatan santri kepada kiainya, juga tidak sampai sang kiai tidak ridlo kepada santrinya. Hal ini semakin membuktikan bahwa relasi kuasa tidak sepenuhnya berjalan satu arah. Ada ruang dimana masyarakat lebih independen dalam pilihannya, sehingga walaupun berbeda akan tetapi silaturahmi tetap terjaga.
Penghormatan Bukan Pengkultusan
Peran kiai dalam masyarakat sangat melekat, sehingga penghormatan yang diberikan kepada mereka bukanlah hasil dari pengkultusan semata, melainkan merupakan pengakuan terhadap kontribusi nyata mereka dalam menjaga keseimbangan kehidupan sosial, religius, dan budaya. Penghormatan ini juga berakar pada hubungan timbal balik antara kiai dan masyarakat, di mana kiai memberikan bimbingan spiritual dan moral, sementara umat memberikan dukungan dan respek.
Menghormati kiai sebagai seorang pemimpin agama dan moral bukanlah pengkultusan. Kiai dihormati karena pengetahuan agama mereka, akhlak mereka, kontribusi mereka dalam masyarakat, serta peran penting yang mereka mainkan dalam melestarikan ajaran agama. Penghormatan berbeda dengan pengkultusan, karena dalam banyak kasus, penghormatan ini disertai dengan kesadaran akan kemampuan manusiawi kiai dan batasan mereka sebagai individu.
Sebagai penutup, artikel yang mengkritik penghormatan terhadap kiai sebagai bentuk pengkultusan tampaknya menyederhanakan hubungan antara kiai dan pengikutnya. Ada banyak alasan valid mengapa masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi kepada kiai, dan ini tidak selalu berarti mereka kehilangan kemampuan kritis atau bahkan mendewa-dewakan. Penghormatan kepada kiai adalah bagian dari tradisi keagamaan yang kaya dan berakar kuat di dalam Islam Indonesia, yang justru membantu memperkuat struktur sosial dan moral masyarakat.