Tradisi pesantren memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan intelektual generasi Muslim di Indonesia.Di sisi yang lain, kita juga melihat bahwa pesantren lah yang pada akhirnya membawa peradaban masyarakat Nusantara melangkah ke tahapan berikutnya. Sistem ini telah lama menjadi benteng dalam melestarikan ajaran Islam, khususnya di Nusantara. Namun, dalam beberapa beberapa waktu terakhir, saya merasakan kekhawatiran yang mendalam terhadap arah perkembangan beberapa aspek tradisi pesantren, terutama pengadopsian konsep dewaraja yang tanpa disadari merasuk dalam pola hubungan antara santri dan kyai. Mengingat mentalitas feodal yang sudah sangat mendarah daging dalam struktur DNA masyarakat kita terutama santri. Fenomena ini telah menciptakan pola penghambaan berlebihan, kultus individu terhadap kyai atau guru, serta kecenderungan para pemuka pesantren untuk diam terhadap isu ini demi mempertahankan status dan hak istimewa mereka. Dalam tulisan ini, saya akan membahas persoalan ini dari berbagai sudut pandang, termasuk sejarah, sosiologi, filsafat pendidikan dan etika agama.
Dewaraja merupakan konsep yang berasal dari sistem kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara, di mana raja dianggap sebagai titisan dewa, yang tidak dapat diganggu gugat atau dipertanyakan otoritasnya. Di belahan dunia yang lain, tepatnya China, kita akan menemukan doktrin yang secara esensi mirip dengan konsep dewaraja ini yang disebut dengan Tianming, atau “Mandat Surga”. Doktrin ini merupakan konsep dalam filsafat politik Tiongkok kuno yang menyatakan bahwa kekuasaan seorang penguasa sah karena mandat yang diberikan oleh Surga.
Sayangnya, dalam beberapa pesantren, pola hubungan santri dan kyai tampaknya mengadopsi bentuk serupa. Para santri tidak hanya menghormati kyai sebagai guru, tetapi memperlakukan mereka dengan pengkultusan yang ekstrem. Mereka melihat kyai sebagai figur yang tidak pernah salah, tidak boleh dikritik, dan selalu dianggap benar dalam segala keputusan.
Padahal dalam islam, prinsip egalitarianisme merupakan salah satu hal yang penting untuk membagun sebuah hubungan yang sehat. Dalam situasi yang ideal kita tahu bahwa hubungan antara guru dan murid harusnya dibangun atas dasar saling menghormati, tetapi tidak dalam bentuk penghambaan. Agama sendiri mengajarkan bahwa sesama manusia, meskipun sebagai pemimpin atau guru, tetap memiliki kesalahan dan batasan. Penghambaan yang berlebihan terhadap kyai ini mengkhawatirkan karena mencederai prinsip egalitarianisme dalam Islam, di mana setiap manusia setara di hadapan Tuhan. Fenomena ini juga memicu ketidakseimbangan dalam distribusi otoritas, di mana santri sering kali takut untuk mempertanyakan ajaran atau praktik yang dirasa kurang relevan atau kurang etis.
Secara sosiologis, penghambaan berlebihan ini menciptakan stratifikasi sosial yang tidak sehat di lingkungan pesantren. Para santri sering merasa harus patuh total kepada kyai dalam setiap aspek kehidupan mereka, bahkan dalam urusan pribadi yang seharusnya berada di luar kontrol seorang guru agama. Hal ini menimbulkan ketergantungan yang berbahaya, di mana para santri kehilangan kemampuan berpikir kritis dan independen, yang sebenarnya menjadi bagian integral dalam pembelajaran Islam.
Selain itu, pengkultusan individu terhadap kyai juga menciptakan jurang yang sangat dalam antara kyai dan santri. Kyai dipandang sebagai sosok yang “tak tersentuh,” seakan-akan mereka adalah makhluk suci yang bebas dari dosa dan kesalahan. Dalam perspektif teologi Islam, manusia pada dasarnya bersifat falibilis, artinya siapapun, bahkan ulama sekalipun, dapat melakukan kesalahan. Mengkultuskan kyai tidak hanya mengaburkan batas antara manusia biasa dan sosok yang disucikan, tetapi juga merusak dinamika belajar-mengajar yang seharusnya bersifat dua arah dan terbuka.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi, banyak kyai yang sebenarnya memahami bahwa fenomena ini salah dari sudut pandang agama dan etika, namun memilih diam. Keputusan untuk berdiam diri ini sering kali dilatarbelakangi oleh pikiran yang menormalisasi hal-hal ini dengan dalih tradisi, doktrin dan kepentingan pribadi, di mana para kyai merasa nyaman dengan privilese yang mereka peroleh sebagai figur yang dikultuskan. Hak-hak istimewa ini bisa berupa penghormatan yang berlebihan, kekuasaan yang tak terbantahkan dalam komunitas, hingga keuntungan ekonomi dari donasi atau sumbangan para santri dan masyarakat yang menganggap kyai sebagai perantara langsung kepada Tuhan.
Tindakan diam ini menciptakan dilema etika yang serius. Dalam Islam, pemimpin agama dituntut untuk bersikap adil dan mengedepankan kebenaran, bahkan ketika hal tersebut bertentangan dengan kepentingan pribadi mereka. Rasulullah SAW sendiri selalu menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar, yakni mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ketika seorang kyai memilih untuk diam terhadap pengkultusan yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Islam, mereka sebenarnya sedang berkompromi dengan prinsip-prinsip moral dan agama yang mereka anut.
Dari aspek keilmuan, pengkultusan terhadap kyai ini juga berdampak negatif pada pengembangan intelektual santri. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan, seharusnya menjadi tempat di mana diskusi terbuka, dialog kritis, dan pembelajaran aktif didorong. Namun, ketika santri terjebak dalam pola pikir “kyai selalu benar,” ruang untuk mempertanyakan dan memahami ajaran agama dengan lebih mendalam menjadi sangat terbatas dan membunuh daya nalar serta rasa ingin tahu mereka.
Dalam filsafat pendidikan, salah satu tujuan utama dari proses pembelajaran adalah untuk membangun individu yang mampu berpikir secara mandiri dan kritis. Pendidikan yang sehat adalah pendidikan yang mendorong diskusi dan perdebatan yang konstruktif, di mana siswa diberi kebebasan untuk mengeksplorasi berbagai perspektif, termasuk menantang otoritas ketika diperlukan. Jika kyai selalu dianggap sebagai sosok yang tidak bisa salah, maka pesantren akan kehilangan esensi pendidikannya sebagai tempat pengembangan intelektual yang dinamis.
Untuk mengatasi masalah ini, ada beberapa langkah yang bisa diambil. Pertama, para kyai harus berani mengambil sikap tegas untuk menolak pengkultusan berlebihan yang terjadi di sekitarnya. Mereka harus menegaskan bahwa sebagai manusia biasa, mereka tidak kebal dari kesalahan, dan santri harus diberikan ruang untuk mengkritik dengan cara yang sehat dan hormat. Kedua, pendidikan di pesantren harus lebih menekankan pada pemahaman kritis terhadap ajaran Islam, di mana santri diajarkan untuk berpikir secara mandiri, bukan hanya menerima dogma tanpa pertimbangan.
Ketiga, pesantren perlu memperkuat nilai-nilai keadilan dan transparansi dalam pengelolaan hubungan antara kyai dan santri. Otoritas kyai seharusnya didasarkan pada kapasitas intelektual dan spiritual yang mereka miliki, bukan pada pengkultusan individu yang tidak sehat. Terakhir, harus ada reformasi dalam struktur pendidikan pesantren yang memastikan bahwa setiap individu, baik kyai maupun santri, memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan persekusi dan reperkusi.
Keresahan terhadap pengadopsian konsep dewaraja dalam tradisi pesantren bukanlah hal yang sepele. Fenomena ini tidak hanya merusak relasi antara guru dan murid, tetapi juga mencederai prinsip-prinsip dasar dalam Islam yang menekankan kesetaraan dan kebebasan berpikir. Kita harus kembali kepada nilai-nilai ajaran agama yang mengajarkan saling menghormati, tetapi dalam batas yang wajar, serta menolak segala bentuk penghambaan terhadap manusia biasa. Hanya dengan demikian, pesantren bisa terus berperan sebagai pusat pengembangan intelektual dan spiritual yang sejati.
[…] Kiai: Antara Penghormatan dan Pengkultusan Robert Michels & Isu Oligarkisasi Pengkultusan Sang Kyai Kota Ukir di Persimpangan Produktif di 50+, Prof Mujamil yang Mengasuh dengan Buku […]