Nasional

Kebudayaan yang bersifat interaksi natural antar bahasa dan budaya patut dicatat, pada masa setelah revolusi 45 berakhir, Negara berikut dengan regulasi-regulasi kebudayaan sebagai projek pembentukan identitas nasional melakukan beragam negosiasi untuk mempertahankan Imaji tentang Indonesia. Mula-mula imaji tentang regulasi ini belum hadir, seperti pada masa-masa perumusan Sumpah Pemuda pada tahun 1928, ia hanya sekedar berangkat dari abstraksi. Abstraksi yang pada tahannya dianggap sebagai imaji bersama. Barulah setelah ada pengesahan kemerdekaan Negara Indonesia, imaji ini baku dibentuk dalam koridor hukum untuk mengawal nilai-nilai yang telah menjadi konsensus. Maksudnya adalah nila-nilai Pancasila.

Pancasila sebagai nilai yang universal menjadi medan laga terbuka bagi masyarakat. Mereka yang bergerak di bidang kebudayaan, masing-masing mewarnai medan laga ini dengan cara yang beragam dan karakter yang variatif. Dalam hal ini misalnya, Polemik Kebudayaan bagi sebagian pengamat adalah satu gambaran penting yang ditengarai mampu melihat kebuntuan dan kemungkinan jalan baru bagi Indonesia. Dalam abstraksi, imaji, ide dan polemik hal ihwal ini sering diperbicangkan, tetapi bagaimana dengan produk karya yang sudah jadi?.

Nasionalisme di kemudian hari, akhirnya melembaga dalam bentuk Negara-Bangsa. Secara spesifik, mode negara ini sebetulnya berakar pada Negara Westphalian. Konsepsi Negara-Bangsa yang berasal dari Eropa pada tahun 1648 dan lahir dari perjanjian damai Kekaisaran Romawi Suci dengan kerajaan yang sudah mulai berlayar menembus batas Kerajaan, seperti Kerajaan Belanda yang menggunakan perdagangan sebagai bentuk hubungan Internasional. Hukum inilah yang kemudian menjadi acuan hukum internasional De Facto dan De Jure berdirinya sebuah Negara. Berikut konsep-konsep yang diterima belakangan hari, seperti Negara haruslah memiliki Wilayah (teritori), Rakyat (penduduk), Pemerintahan yang berdaulat dan Pengakuan Negara lain.

Berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai adanya bentuk kedaulatan baru yang diakui hukum Internasional sebagai Negara-Bangsa. Masing-masing penggagas negara ini, pada dasarnya berdebat tentang masalah teritori. Dalam kasus khusus misalnya tentang Papua. Akan tetapi tulisan ini tak ingin berlarut dalam permasalahan itu.  Secara sederhana, sebagian besar politikus awal kemerdekaan yang berasal dari Jawa kemudian menetapkan Bhinneka Tunggal Ika untuk menggambakran gugusan pulau yang berada dalam kesatuan sebagai semboyan. Meskipun sebetulnya, semboyan ini berasal dari Kitab Sutasoma pada masa Majapahit abad 14.  Dengan kata lain, kesatuan ini sebetulnya imaji Aristokrat Majapahit yang bisa dielu-elukan mengacu pada mimpi Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya.

Bangsa ini Imajiner jelas. Hanya karena adanya bentuk kedaulatan baru, kiranya Indonesia yang baru ini memerlukan suatu politik kebudayaan dalam garis pembangunan Identitas Nasional. Karena jenis kedaulatan yang baru ini, maka hadirlah bentuk-bentuk regulasi yang sebisa mungkin ia bertujuan untuk mempertahankan konsensus politik kemerdekaan pada tahun 1945. Kita bisa melihat sebenarnya, di luar kedaulatan Indonesia sebagai Negara, ada kedaulatan yang lain dan masih bertahan di dalam Gugus Pulau Nusantara. Keraton Jogja misalnya. Akan tetapi, Keraton Jogja ini masih dalam kuasa Daulat Negara Indonesia, dengan catatan Jogja diberikan hak khusus sebagai Daerah Istimewa. Ini terjadi belakangan hari dalam karya-karya seni. Khususnya film.

Apa yang patut disoroti memang, masuknya sejarah film ke Indonesia mulanya bersifat komersil. Dengan kata lain, sama sekali bukan berdasar pada pertarungan ide untuk menerjemahkan gagasan Indonesia. Barulah ketika seni sebagai wahana itu muncul dan memerlukan suatu konsensus pembangunan Identitas Nasional, ia menetapkan Regulasi. Regulasi yang sifatnya memiliki misi yang lebih khusus membangun Identitas Nasional, yang biasa disebut dengan “Sensor Film”. Meskipun regulasi perfilman di Indonesia jauh sebelum tahun 1945 sudah ada.

Aktivitas Sensor Film, atau, dalam istilah yang lebih halus Penyaringan Film hadir pada mulamya dalam bentuk regulasi Ordonansi Biooscoope 1916. Dalam bahasa Indonesia, Ordonansi bisa berarti Peraturan Umum atau Perundang-undangan yang diterapkan oleh lembaga hukum yang berdaulat. Dalam Konteks Industri Film Hindia-Belanda, Ordonansi ditetapkan oleh seorang Gubernur Jendral. Isi daripada peraturan ini, adalah bentuk aturan menyelenggarakan film – pada masa ini, istilah film masih menggunakan istilah “Gambar Idoep” – dan Adapun Gubjen membentuk lembaga sensor yang bernama. Commissie voor de Kuering van Films (Komisi Pemeriksa Film, KPF). Mulanya ini hanya mengatur sistem perpajakan karena bentuk film yang komersil, tetapi dalam perkembangannya regulasi ini

Bermula dari komersialisasi, film yang sudah menjadi konsumsi publik beriringan dengan meningkatnya kesadaran identitas baru serta narasi anti kolonialisme, pada akhirnya berujung pada kesadaran perlawanan. Regulasi yang mengatur konsep perpajakan, akhirnya berkembang menjadi lembaga sensor ketat. Pada tahun 1925, dalam Ordonnantie 1925 , Staadblad No. 477 regulasi berkembang menjadi komisi penilaian. Bentuk-bentuk penilaian ini adalah berupa penyaringan mana film layak dan tidak. Layak dan tidaknya sebuah film memang tak memiliki dasar penilaian estetika, karena pada masa-masa antara tahun 1916 – 1940 film-film Impor yang turut menyulut kesadaran pembentukan Negara-Bangsa sudah banyak yang masuk. Karena hal inilah, penyaringan film lebih merupakan upaya penyensoran muatan nilai ideologis, maksudnya sjeauh mana film itu bisa ditolerir dan tidak.

Negara Merdeka. Pada tahun 17 Agustus 1945 sampai dengan 1948 masa Agresi Militer, kondisi sosial dalam masa-masa konsolidasi. Ikatan-ikatan tradisi yang dahulu diikat oleh pengaturan pemerintahan Hindia-Belanda hancur. Situasi politik ingin menyimpulkan kondisi ini untuk sampai pada tahap perkembangan Negara-Bangsa selanjutnya. SItuasi yang dimaksud adalah situasi transisi tahap lanjut pengalihan Pemerintahan yang berganti-ganti, sejak adanya Republik Indonesia.

Sepanjang masa konsolidasi yang terjadi hampir lima tahun lebih, Soekarno sebagai pemangku kebijakan tertinggi yaitu Presiden akhirnya menyadari bahwa kebutuhan memasukkan Film ke dalam pedagogi Pendidikan diniliab utuh. Pada tahun 1951, terbit Undang-Undang Perfilman yang mengatur Undang-Undang No. 23 Tahun 1951. Isi daripada Undang-Undang itu adalah Film masuk ke dalam aspek Pendidikan dan perlu dikelola oleh Kementrian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam Kemendikjarbud itu, Badan Penyensoran Film atas ketetapan Surat Keputusan Kemendikjarbud No. 40349 tahun 1952 disahkan.

Perlu dicatat, kendati ketetapan regulasi ini hadir, Pemerintah tidak secara langsung memberikan diktat mana karya film yang bermutu dan boleh tayang dan mana tidak. Selain karena pembuatan film memiliki biaya tinggi, seperti yang dicatat oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia besutan Usmar Ismail, kondisi sosial-politik masih dalam proses konsolidasi Ideologi dengan cara-cara yang telah disepakati, yakni Demokrasi. Alasan ini logis, karena pada dasarnya pada tahun 1955 Pemilu di Indonesia ditetapkan Pemilu paling Demokratis sepanjang sejarah.

Eskalasi pertarungan Ideologi semakin besar. Sementara penetapan hukum-hukum kenegaraan melalui konstitusi yang terus berubah-ubah belumlah kuat. Atas dasar ini, Pemerintah kembali membentuk definisi ulang atas film. Pada tahun 5 Agustus 1964, demi peruntukkan Negosiasi nilai, hukum, ideologi dan politik yangs edang berkontentas di Negara Indonesia, Pemerintah menetapkan Perpres No 1 Tahun 1964 tentang penegasan bahwa film bukanlah semata karya komersil yang berfungsi sebagai hiburan. Lebih jauh dari itu, Film juga “Merupakan Alat Penerangan”. Penerangan yang dimaksud bukanlah penerangan yang memaksakan seperti pada kondisi Orde Baru melalui penetapan Asas Tunggal Pancasila. Ada landasan Idiil yang menjadi pembuka pada pasal 1 sebagai dasar acuan, yakni menciptakan Masyarakat-Sosialis-Indonesia. Agaknya cita-cita membentuk Negara Sosialis sampai pada tahun 1965 merupakan setiap cita-cita politik bagi para elit, khususnya presiden itu sendiri.

Gonjang-ganjing pemberontakan kembali hadir. Masing-masing dari setiap lembaga politik memiliki potensi untuk memantik konflik eskalasi besar. Satu tahun setelah ditetapkannya Perpres No 1 Tahun 1964, BPF kemudian menetapkan Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 46/SK/M tahun 1965 mengatur bahwa penyelenggaraan sensor film dilakukan oleh lembaga bernama Badan Sensor Film (BSF). Badan Sensor Film mewajibkan seluruh bentuk program harus memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) terlebih dulu. Dalam regulasi ini, regulasi diperlakukan semakin ketat, hingga pada akhirnya terus berkembang  menjadi Pada 1968, Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 44/SK/M/1968 menetapkan bahwa BSF berkedudukan di Jakarta dan bersifat nasional, beranggotakan 25 orang termasuk Ketua dan Wakil Ketua.

Secara substansial peralihan regulasi dari yang longgar menuju pengetatan kuat pada masa Orde Baru hampir sama. Sejauh sebuah film diproduksi akan menjadi ancaman bagi rezim ia akan masuk ke dalam penyaringan ketat. Bahkan bukan hanya perfilman, Pers yang menjadi salah satu pilar Demokrasi bahkan secara ketat diatur oleh Menteri Penerangan. Meskipun paradoks sangat kentara terjadi pada masa-masa Orde Baru. Pasalnya film-film sensual nan erotis hasil Impor dari Hollywood sebagai karya popular banyak mewarnai dunia Perfilman Indonesia. Bahkan bukan terbilang jarang, film-film ini berhasil membentuk kebudayaan Populer di tengah masyarakat, kebudayaan dan sosial politik Kontemporer. Barulah menjelang Orde Baru tumbang, cara pandang baru mengenai film melalui orang-orang seperti Riri Riza dan Garin Nugroho mampu menegosiasikan kembali perubahan bentuk regulasi dengan cara memproduksi film berkualitas. Aliran kebudayaan dan diskursus film yang tersumbat oleh regulasi, pada masa reformasi dapat kembali mengalir.

Ada dua simbol tokoh perubahan pada masa politik transisi Orde Baru menuju Reformasi. Setidak-tidanya, tokoh ini mampu diterima oleh publik secara luas. Mereka adalah Abdurrahman Wahid dan Megawati. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, yang kemudian pada masa pemilu lahir dari perwakilan Independen dan diusung oleh sebagian besar massa Nahdlatul Ulama adalah seorang demokrat tulen. Dalam hal film, puncaknya Gus Dur melalui representasi citra seorang Demokrat pada tahun 1999 melahirkan keputusan membubarkan Departemen Penerangan (Deppen) Pemerintah. Pemerintah kemudian menempatkan LSF ke dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Lalu pada 2000, Lembaga Sensor Film dipindahkan ke Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Kesan pada awalnya memang, kebijakan ini mencairkan segala yang baku dalam konteks politik kebudayaan. Akan tetapi, lahirnya kebijakan itu justru berujung pada komersialisasi segala bentuk artefak, dalam hal ini film turut menjadi bagian, sebagai bentuk komersial yang bisa dijual. Memang ini keniscayaan bila melihat Industri Film Hollywood yang kian meningkat secara pesat. Film dalam catatan Seno Gumira, seolah seperti dunia sendiri yang terpisah dari realitas. Dunia hiburan kelas pekerja. Bahkan beberapa orang yang letih akan dunia, enggan keluar layar bioskop semata karena meyakini seharusnya dunia berjalan seperti layar sinema berjalan.

Logika inilah yang diterapkan sepanjang perjalanan pembentukan Regulasi Film di Indonesia. Nilai dan muatan ideologis tak lagi menjadi penting, sejauh film itu mampu mendatangkan keuntungan. Tentu saja, dari keuntungan yang hadir Negara melalui Pemerintahan mampu menerapkan pajak. Pergeseran dan perubahan logika itu membawa dampak terhadap posisi dan keberadaan LSF. Kendati Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman menyatakan dengan tegas bahwa ihwal perfilman berada di bawah kementerian yang membawahkan masalah kebudayaan, urusan pembinaan industri perfilman masih tetap di bawah pembinaan Kementerian Pariwisata.

Pasca-reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) 11 Oktober 2011, Kemenbudpar, tempat selama ini LSF bernaung, berubah menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Bidang Kebudayaan dipindahkan ke Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang kemudian berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi nomor B/307.1/M.PAN-RB/01/2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 27 Januari 2012, dengan resmi LSF berada di bawah Kemendikbud.

Seiring perkembangan logika komersialisasi kebudayaan melalui sinema, kebijakan semakin longgar. Tentu ini juga akibat dari semakin banyaknya film-film yang diproduksi oleh masyarakat sendiri. Para pekerja film, mulai melakukan eksplorasi jauh lebih kaya dari kategorisasi jenis film pada masa Orde Baru. Genre-genre baru, seperti film-film urban metropolitan berbau Gangster mulai muncul. Serigala Terakhir misalnya. Pada akhirnya, negosiasi ini berujung pada penetapan klasifikasi usia-usia. Pada tahun 2016 sampai 2021, setidaknya regulasi yang keluar hanya berkisar pada seputar pengklasifikasian usia.

Paradoks-paradoks negosiasi film, karya dan regulasi terus mewarnai sepanjang sejara Negara-Bangsa Indonesia ini berdiri. Dari yang semula film sebagai karya seni yang sarat propaganda, sampai kepada film yang mampu menaikkan status ekonomi sosial seorang pembuat film karena bentuk komersialisasi.

 

 

 

 

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here