Pada suatu hari di tahun 1904, Kinjikitile Ngwale hilang dari rumahnya di Ngarambe, di dekat Sungai Rufiji, 738 km di tenggara Ibukota Dodoma, Tanzania. Setelah beberapa hari menghilang, Kinjikitile dari suku Ngindo itu kembali ke rumah, dan mendaku kerasukan roh suci leluhur bernama Hongo yang punya bentuk serupa ular. Kinjikitile juga mengaku bisa berkomunikasi—karena telah dirasuki roh suci Hongo—dengan dewa Bokera.
Setelah dirasuki oleh roh suci Hongo pada suatu hari di tahun 1904 itu, Kinjikitile mulai menyebar wangsit yang ia terima dan banyak dari mereka yang mendengar khotbahnya, benar-benar percaya. Dalam khotbah-khotbahnya, Kinjikitile menekankan satu hal: ia telah diberikan kekuasaan gaib untuk memimpin melawan kulit putih—juga aturan-aturan—Jerman. Selama menghilang dari rumahnya di Ngarambe itu, Kinjikitile juga mengaku diberi pengetahuan tentang “maji,” sebuah air suci. Maji, air suci itu, merupakan ramuan gaib yang terdiri dari air, jawawut, dan minyak jarak. Setelah melakukan ritual dan diberi mantra, lalu dilumuri ke sekujur tubuh, maji akan membuat pelor Jerman jadi air.
Masyarakat di Desa Ngarambe, yang luasnya sekitar 100.000 meter persegi itu, percaya bahwa Kinjikitile memang benar-benar orang yang tak sekadar pandai merangkai bunyi-bunyian mantra; ia memang telah menjadi juru selamat. Terdapat roh leluhur Hongo di dalam tubuhnya, ia telah dinisbatkan sebagai pemimpin untuk melawan Jerman, dan ia punya maji yang digadang-gadang bisa buat tubuh pengikutnya kebal peluru.
Khotbah-khotbah Kinjikitile berhasil membuat suku-suku di Tanzania, yang awalnya bercerai-berai, bersatu melawan Jerman. Hal tersebut membuat Jerman geram dan operasi pembunuhan Kinjikitile mulai dirancang. Ia ditangkap di desanya, Ngarambe, ketika hari mungkin saja panas dan Kinjikitile tak mencium sedikit pun aroma maut.
Setelah penangkapan yang begitu mudah itu, Kinjikitile dibawa ke Mahenge, salah satu pusat tata administrasi dan militer kolonial Jerman di wilayah selatan Tanzania. Di Mahenge, Kinjikitile ditahan, diinterogasi, diadili begitu tergesa-gesa, dan didakwa sah telah berkhianat. Pengkhianatan berarti pelanggaran berat dan tindakan kejam bagi Eropa. Putusannya jelas: hukuman mati.
Seperti yang sudah-sudah, hukum kolonial Eropa terhadap dunia jajahannya, bagai ajung berat sebelah. Pada Kamis 04 Agustus 1904, Kinjikitile dibawa ke sebuah lokasi di dekat Mehenge. Lokasi eksekusi dirahasiakan agar tak terjadi serangan dadakan oleh pengikut Kinjikitile. Eksekusi itu begitu sunyi, tanpa kesaksian publik, tanpa upacara dan seremoni, hanya beberapa tentara Jerman dan seonggok tiang gantung dengan dua cagak kayu tegak yang di bagian atas-tengahnya terdapat seutas tali tambang. Hukum gantung itu terjadi begitu lekas-lekas, tanpa banyak omong, apalagi basa-basi. Setelah itu, tubuh dingin Kinjikitile dikuburkan di sebuah tanah tanpa nama, tanpa lokasi dan petilasan; kematiannya serba rahasia dan sunyi sekali.
Makamnya begitu dirahasiakan agar tak jadi tempat pemujaan atau penghormatan. Jerman tak ingin seorang martir seperti Kinjikitile, setelah hari kematiannya, menjadi simbol perjuangan yang jauh lebih kolosal. Namun, kabar kematian pimpinan mereka juga tetap terdengar. Setelah matinya Kinjikitile, saudara kandungnya, Nasr Khalfan, menjadi pimpinan tertinggi Pemberontakan Maji-Maji. Alih-alih padam karena kematian Kinjikitile, pemberontakan Maji-Maji justru—yang sudah dimulai sejak 20 Juli 1905—makin menjadi-jadi.
Namun, perlawanan Maji-Maji tak datang dari ruang kedap suara, juga bukan sejarah perlawanan yang singkat dan serba mendadak. Pemberontakan Maji-Maji mempunyai latar dan konteks sejarah panjang yang dimulai sejak era awal kolonialisme Jerman pada tahun 1898.
***
Pada mulanya Konferensi Berlin pada tahun 1884-1885, kita mengenalnya sebagai Perebutan Afrika (The Scramble for Africa). Hasil dari keputusan Konferensi Berlin—yang membagi-bagi wilayah Afrika untuk dikuasai dua belas negara Eropa itu—Jerman kebagian jatah Afrika bagian timur dengan empat teritori besar: Tanganyika (hari ini kita kenal sebagai Tanzania), Togo, Kamerun, dan Namibia.
Pada 28 Maret 1884, juga di Berlin, laki-laki kulit putih bernama Carl Peters mendirikan sebuah perusahaan bernama German East African Company. Setelah pendirian perusahaan tersebut, Peters berlayar ke Afrika Timur untuk membuat sebuah perjanjian dagang dengan kepala-kepala suku di Tanganyika.
Setelah berhasil mendirikan German East African Company, dan berhasil membuat perjanjian dagang, Peters ditunjuk menjadi pimpinan administrator dan gubernur kolonial. Namun, ia memimpin dengan cara yang sama sekali tak jatmika. Peters membangun sebuah rezim bengis untuk mengontrol tata atur sosial; dan, raja-raja maupun kepala suku yang membangkang akan kena hukum di tiang gantung atau ditembak pelor Jerman. Karena perlakuan Peters yang buas ini, rakyat Tanzania menjulukinya sebagai Milkono wa Damu, yang berarti Man with Blood on His Hands, atau Manusia dengan Tangan Berlumur Amis Darah.
Namun, setelah beberapa tahun berjalan, perusahaan itu dipaksa minggat karena perlawanan keras masyarakat asli Tanganyika (baca: Tanzania). Karena hal tersebut, juga karena sosoknya yang begitu kontroversial, Peters dipecat pada 08 Februari 1888 oleh Jerman. Setelah kepemimpinan Peters tumbang, segala administrasi diambil alih militer Jerman di bawah pimpinan Hermann von Wissmann. Hal ini membuat Wissmann menjadi gubernur kolonial Tanganyika menggantikan Carl Peters si manusia dengan tangan berlumur amis darah itu.
Pergantian tampuk kekuasaan tak merubah apa pun dalam kebijakan kolonial Jerman. Cetak-biru Jerman tetaplah sama: kerja paksa, gandrung mencambuk, dan membebankan pajak yang tak masuk akal. Orang-orang kulit hitam yang tak bekerja dengan becus akan dicambuk, dan yang tak patuh ditembak pelor Jerman.
Rakyat Tanganyika tentu marah dan sakit hati. Mereka tak sudi diatur oleh kulit putih penyamun yang begitu gampang menarik pelatuk senapan, dan ringan tangan meledakkan kepala orang tak bersalah. Suku-suku di Tanganyika mulai memberontak. Namun, di awal pemberontakan, suku-suku Tanganyika begitu sulit melawan karena minimnya koordinasi dan komunikasi antar suku.
Namun, perlawanan para suku akhirnya punya kompas ketika pada suatu hari di tahun 1904, Kinjikitile Ngwale mendaku telah dirasuki roh leluhur Hongo dan mendapat ilham air maji.
***
Sepulang dari mendapat wangsit, Kinjikitile berkhotbah di antara kelimun masyarakat desa Ngarambe dan mengajak melakukan Njqiywila, komunikasi rahasia antar suku untuk saling menyampaikan sebuah pesan. Pesan rahasia itu berbunyi: “Inilah tahun yang dinanti-nanti itu, karena ada seorang pria dari Ngarambe yang telah dirasuki roh leluhur—dan memiliki Lilingu. Mengapa ia dirasuki roh suci itu? Karena kita menderita dan tertindas oleh akidas. Kita bekerja tanpa dibayar. Pria dari Ngarambe itu akan membantu kita. Bagaimana? Sudah hadir di antara kita, Jumbe Hongo!”
Akidas sendiri adalah orang asli Afrika atau imigran Arab yang dipilih Jerman sebagai administrator, sekaligus pemimpin, sebuah distrik di Tanganyika. Akidas, pemimpin distrik itu, mulai membagi-bagi kelas sosial dan membuat masyarakat kelas bawah jadi budak. Masyarakat kelas bawah itu dirampas, ditipu dan disiksa tanpa rasa keadilan barang sedikit. Kinjikitile yang telah dirasuki roh leluhur Hongo itu mengajak suku-suku di Tanganyika agar tak hanya duduk pasrah menyerahkan punggungnya kepada cambuk Eropa. Pada akhirnya, semangat perlawanan punya kompas dan bendera pemberontakan mulai berkibar untuk menumbangkan Jerman dan para akidas.
Dalam surat-surat klandestinnya, Kinjikitile juga menyebarkan informasi tentang maji-maji, air suci yang mampu mengubah pelor panas Jerman jadi air dingin: “Maji akan memberi kekebalan, pelor-pelor musuh akan jatuh tepat di hadapan kalian umpama air hujan yang jatuh ke tubuh-tubuh klimis kalian yang telah dilumuri air ajaib (maji).” Dan, Pemberontakan Maji-Maji sah dimulai; tombak-tombak diasah, perisai-perisai dilap, dan tubuh-tubuh mereka dilumuri maji-maji yang berisi air, jawawut, dan minyak jarak.
***
Berita tentang maji yang bisa mengubah pelor panas jadi air dingin, sudah berkembang sangat luas ke luar Desa Ngarambe. Masyarakat Kilosa, misalnya, yang jaraknya 614 km perjalanan darat dari Ngarambe, juga telah mendengar air suci Kinjikitile. Hal ini membuat suku-suku yang percaya pada sihir maji, mulai mengatur siasat, dan mulai bergerak memusnahkan segala hal yang selama ini telah membuat hati mereka jadi hancur.
Suku Matumbi, masyarakat asli di distrik Kilwa, Lindi, selatan Tanzania, akhirnya mengamuk. Pada 31 Juli 1905, bersenjata panah-panah dan perisai-perisai, juga tubuh mengkilap karena telah dilumuri maji, suku Matumbi berbaris di Samanga dan menghancurkan segala hal yang berbau Jerman. Pos-pos perdagangan dan tanaman kapas terkena amuk, semua remuk, hangus, dan wilayah Samanga jadi kacau.
Setelah suku Matumbi mengamuk pada 31 Juli 1905 itu, Jerman tahu siapa dalang dari huru-hara di Samanga: Kinjikitile Ngwale. Laki-laki yang telah dirasuki roh leluhur Hongo itu ditangkap pada 04 Agustus 1905, ia didakwa bertindak hasut dan telah terbukti berkhianat pada Jerman. Ia dibawa ke Mahenge untuk dieksekusi di tiang gantung dengan kematian yang begitu sunyi dan tanpa seremoni. Namun, kematian Kinjikitile itu tak membuat amuk suku-suku padam; karena, kabar air maji sudah menyebar begitu luas dan pemberontakan di daerah-daerah lain makin menjadi-jadi.
Sepuluh hari setelah kematian Kinjikitile, pada 14 Agustus 1905, anggota suku menyerang sekelompok misionaris yang sedang melakukan perjalanan. Anggota suku yang begitu geram terhadap orang-orang kulit putih itu tak dapat lagi menahan amarah; mereka menusuk salah satu misionaris yang sedang lewat, dan salah satu yang terbunuh adalah uskup Katolik Caspian Spiss. Di tempat lain, persisnya di Liwale, pada 15 Agustus 1905, sehari setelah kematian uskup Katolik itu, pemberontakan sudah terlihat dan dimulai dengan menghancurkan pos-pos jaga Jerman.
Sementara pemberontakan mulai meluas, air suci maji itu juga mulai diuji coba; benarkah air suci itu benar-benar bisa membuat pelor panas bisa jadi air dingin. Uji coba air maji itu terjadi ketika perlawanan meletus pada 25 Agustus 1905 di Mahenge. Beberapa ribu prajurit Mahenge berbaris dengan percaya diri di depan markas militer Jerman yang dikepalai oleh Letnan von Hassel. Beberapa prajurit maju dan mulai kalap. Serangan pertama tersebut langsung disambut dengan tembakan pelor Jerman. Ternyata air maji itu tak manjur, tak ada yang berubah, pelor-pelor Jerman itu tetap jadi pelor. Dan, air maji hanya merubah pelor jadi kubang darah. Meski gagal, maji berhasil dalam satu hal: membentuk gerakan antikolonial.
Pada Oktober 1905, pemerintah Jerman mengirim seribu tentara ke berbagai wilayah tempat kumpulnya orang-orang kalap yang berlumur maji itu. Bersenjata lengkap, tentara Jerman bergerak menghancurkan lumbung, sumber makanan, dan desa-desa pemberontak. Jerman memusnahkan sumber pangan, dan diatur dengan siasat yang benar-benar disengaja. Suku-suku tak berdaya dan tak ada perlawanan yang berarti. Taktik Jerman berjalan mulus sekali. Perisai dan lembing Tanzania bukan lawan tanding yang sepadan untuk revolver Eropa.
Tak hanya desa-desa yang dibakar, tapi orang-orang yang terduga mendukung pemberontakan, meski belum tentu bersalah, dikumpulkan di satu tanah lapang. Ribuan orang yang diduga membangkang pada mandat Jerman itu, termasuk perempuan dan anak-anak, dibombardir tembakan peluru hingga habis. Mereka hanya bisa pasrah; dan, ketika mereka mendengar letus senapan, tubuh mereka akhirnya terputus dari alam fana.
Jerman mulai membumihanguskan Tanzania dengan membakar ladang, desa-desa, sumber makanan, dan, yang paling mengerikan, Jerman membuat harapan rakyat Tanganyika jadi abu. Altar-altar suci tinggal puing, dan segala hal yang membuat Jerman curiga juga harus runtuh. Demikianlah, Jerman membuat lumbung hangus, dan lambung jadi kosong.
***
Jerman berhasil menundukkan suku-suku yang tak sudi ditindas itu. Senapan modern Eropa bukan lawan tanding yang sepadan bagi tombak dan perisai-perisai Tanzania—meski sudah dilumuri air ajaib bernama maji-maji itu. Rakyat Tanzania kalah pada tahun 1907 setelah dua tahun memberontak. Kegagalan Pemberontakan Maji-Maji menyebabkan bau maut menjalar dari desa ke desa. Dan mereka, sekali lagi, harus tunduk dan takluk pada gergasi Jerman.
Dampak dari perilaku culas Jerman, telah menjadikan Tanzania jadi negara yang sangat berantakan. Usagara tak lagi berpenghuni, sebagian angkat kaki dan sebagian lainnya mangkat ke alam seberang. Di Uvidunda, setengah populasinya musnah. Di Pwanga, tiga perempat misionaris tewas ketika perang. Total korban keseluruhan dari perang Maji-Maji, selama dua tahun, sekitar 200.000 hingga 300.000, atau sekitar sepertiga populasi Tanganyika lenyap. Setelah Pemberontakan Maji-Maji selesai, dengan jumlah korban yang begitu kolosal, Jerman justru memperkuat imprealis rasismenya; Jerman memperbudak ratusan ribu orang yang masih hidup.
Namun, tujuh tahun setelah berakhirnya Pemberontakan Maji-Maji, kekuasaan Jerman tak begitu langgeng. Kala itu Eropa sedang bergejolak. Jerman menghadapi Perang Dunia I yang meletus pada 28 Juli 1914. Dan, pada 1919, Jerman kalah dan harus menyerah pada sekutu. Setelah keputusan Dewan Tertinggi Konferensi Perdamaian Paris diumumkan, pada 07 Mei 1919, Tanzania beralih ke tangan Kerajaan Inggris. Jerman minggat, tapi gergasi Eropa lain mengisi kekosongan kekuasaan. Dan, itu pilihan yang sama-sama buruk bagi rakyat Tanzania.
Demikianlah pelor Jerman telah membuat suku-suku di Tanganyika, meminjam sebuah peribahasa, hidup di ujung gurung orang dan nyawa bergantung di ujung kuku.
Daftar Bacaan
James Giblin & Jamie Monson. Maji-Maji: Lifting the Fog War. Leiden: Brill. 2018. (h.6-8; h.14-23)
Jhon Iliffe. Tanganyika under German Rule. Nairobi: East African Publ. House. 1969. (H.172; h.177; h.178).
- Y. Maji-Maji Uprising: A German Genocide in East Africa. 2023. https://afrolegends.com/2023/11/27/maji-maji-uprising-a-german-genocide-in-east-africa/
Alys Beverton. Maji-Maji Uprising (1905-1907). 2009. https://www.blackpast.org/global-african-history/maji-maji-uprising-1905-1907/