Salah satu karakter dalam novel Salman Rushdie, Ayat-Ayat Setan, mengatakan satu hal penting tentang Inggris: “Hal bermasalah yang dipunyai Inggris adalah ia tak tahu menahu sejarahnya sendiri, karena terlalu banyak peristiwa yang terjadi di benua-benua lain di seberang laut.” Benar, Inggris terlalu banyak mengatur dan memerintah selain Inggris. Di awal abad 20, kerajaan Inggris mengatur 445 juta orang di seluruh dunia dengan menguasai 13 juta mill persegi atau 25% total tanah dunia. Karena begitu luasnya kekuasaan Negara Hitam itu, matahari tak pernah tenggelam di tanah-tanah kekuasaan Inggris.

Karena Inggris merasa dirinya ras kelas atas, punya nilai-nilai Kristiani, dan tahu betul bagaimana mengelola siklus ekonomi, mereka merasa punya tanggung jawab, kewajiban moral, dan pantas menghukum orang-orang kafir terbelakang yang gandrung menyembah berhala. Inggris ingin membentuk dunia seperti taman eden yang tak pernah punya cela, juga terhindar dari sembarang celaka dan murka Tuhan. Dengan demikian, kebesaran Inggris diperoleh dengan satu etos imperial yang agung: “misi membuat bangsa lain beradab.” Oleh karena itu, bagi Inggris, imperialisme tak melulu perihal eksploitasi, melainkan juga satu misi agung membuat orang-orang barbar agar punya adab dan tak melanggar mandat Tuhan. Sebuah combat sprituale.

Di Afrika, Inggris berusaha membawa cahaya pencerahan dengan membuat orang-orang asli Afrika menjadi bangsa yang beradab dan punya tata krama modern. Orang-orang Afrika harus punya adab, bagi Inggris, meski membutuhkan waktu berabad-abad. Inggris menyebut misi itu sebagai “aspirasi Victorian” dan telah menjadi beban bagi orang-orang kulit putih yang dikirim ke Afrika.

Namun, sejarah memberi tahu satu hal yang berbanding terbalik dengan “aspirasi Victorian”: di Afrika, Inggris justru menjadikan orang-orang lupa akan perayaan dan hari sabat; dan, Inggris juga menjadikan tanah Afrika sebagai tanah kesengsaraan yang tak pernah tertaklukkan sepanjang hidup. Benar, misi agung Eropa untuk menjadikan Afrika sebagai tempat yang dihuni manusia-manusia maju, justru membuat leher-leher orang kulit hitam berkalung rantai besi:

Pada mulanya abad 15, ketika kapal-kapal Eropa berlabuh di semenanjung pesisir-pesisir Afrika, dan mulai merantai leher kulit hitam umpama anjing yang tak patuh. Pada tahun 1480, kapal-kapal Portugal mengangkut orang kulit hitam Kongo-Angola untuk dijadikan budak pekerja di perkebunan tebu di pulau Cape Verde dan Madeira di timur Laut Atlantik; lalu pada tahun 1502, penakluk kulit putih Spanyol meperbudak orang-orang Afrika ke Karibia; lalu pada tahun 1600, Belanda jadi raja dan menguasai pasar budak di Laut Atlantik. Dan hingga tahun 1600, Eropa telah menjadikan ratusan ribu manusia Afrika jadi budak.

Pada tahun1660, di bawah monarki yang dipimpin Charles II, Inggris mendirikan Royal African Company (RAC) yang bertugas menjual manusia kulit hitam ke berbagai benua—terutama ke Amerika Utara dan Karibia, dan sebagian lainnya dibawa ke pelabuhan-pelabuhan Liverpool, Bristol, dan London. Saudaranya, James II, memimpin perusahaan bisnis gila itu.

Pada 1713, Inggris menandatangani sebuah kesepakatan Asiento de negros. Kesepakatan itu berisi bahwa Inggris berhak memasok budak ke negara koloni Spanyol. Perjanjian ini membuat Inggris bisa merantai 4.800 budak per tahun, selama jangka waktu tiga puluh tahun, untuk dikirim dan dijual ke negara-negara koloni Spanyol. Di antara abad ke-16 hingga abad ke-19, Inggris membawa 3 hingga 3,4 juta tawanan kulit hitam lengkap dengan rantai besi yang terkalung di leher. Mereka diangkut dengan kapal-kapal kumuh yang bahkan tak layak dihuni oleh monster bawah tanah.

Perjalanan para budak pindah benua itu juga dikenal sebagai Triangular Transatlantic Slave Trade, atau Perdagangan Segitiga Budak Transatlantik. Mereka harus menempuh sekitar 485km, atau sekitar 300 mill, lewat jalur laut dari Afrika untuk sampai ke tempat-tempat kulit putih. Nama kapal Inggris yang digunakan untuk mengangkut para budak kulit hitam itu bernama Brooks.

Perdagangan budak ini merupakan bagian dari perdagangan segitiga: Inggris mengirim barang-barang manufaktur ke Afrika; mengirim budak-budak dari Afrika untuk kerja paksa di Amerika; dan dari Amerika ke Inggris untuk mengirim komoditas hasil kerja-kerja para budak seperti gula, tembakau, maupun kapas. Selama perjalanan panjang segitiga transatlantik itu, dua puluh persen orang kulit hitam tewas di perjalanan, dan mayat-mayat mereka dibuang ke Laut Atlantik.

Olaudah Equiano, budak kulit hitam Nigeria yang dibawa ke Inggris, mencatat perjalanan mengerikan selama di Laut Atlantik. Dalam buku “The Interesting Narrative of the Life of Olaudah Equiano, or Gustavus Vassa, the African,” Olaudah Equiano atau Gustavus Vassa—nama baru yang disematkan Michael Pascal, tuannya, ketika jadi budak di Barbados dan Virginia—mencatat betapa mengerikan kapal-kapal hitam transatlantik. Di lambung kapal, budak-budak ditempatkan dalam ruangan yang sangat padat; dan kapal-kapal itu jadi begitu pengap, juga kumuh.

Satu kapal bisa mengangkut 420 orang yang, semuanya, ditempatkan di lambung kapal. Mereka dibaringkan berdempet di atas kayu kasar tanpa alas, juga dengan leher terpasang rantai besi yang tersambung satu sama lain. Di lambung kapal, laki-laki ditempatkan di bagian pinggir, sedangkan perempuan dan anak-anak ditempatkan persis di baris tengah. Di lambung kapal ventilasi nyaris hilang, cahaya tak bisa masuk, dan udara jadi begitu kotor. Bau keringat, kotoran, muntahan dan luka yang sudah busuk bercampur jadi satu. Di lambung kapal-kapal hitam transatlantik itu, bernapas angin pasat saja jadi barang mewah.

Hanya di dek kapal, bukan di lambung kapal, daging bakar bisa dinikmati di kapal-kapal hitam transatlantik. Makanan di lambung kapal sangat sedikit dan kualitasnya pasti bikin orang marah: kacang polong, nasi, atau jagung, dan dimasak serampangan yang penting matang. Air minum diberikan begitu sedikit, karena kulit putih tahu tak ada sumber air tawar di laut-laut asin.

Kegilaan ini membuat beberapa budak yang tak lagi kuat menyangga kesengsaraan hidup, memutuskan melompat ke laut atau menolak makan. Pilihannya tak ada yang bagus, dan sama-sama mengantarkan mereka ke ujung maut.

Beberapa lainnya juga berusaha memberontak. Namun, orang-orang yang cerewet dan banyak minta akan dicambuk cemeti; tak boleh ada yang buat jengkel kulit putih. Kepatuhan dan tiadanya pemberontakan adalah hal sakral bagi para jagawana dan kapten kapal. Juga karena senapan dan rantai besi Eropa, pemberontakan dan perlawanan di lambung kapal mudah diredam.

Demikianlah dari tulisan Olaudah Equiano kita bisa tahu betapa gilanya tingkah laku Eropa. Dan, itu semua terjadi ketika Eropa dengan lantang menyatakan dirinya sedang berada di Abad Pencerahan yang tak lagi terkungkung takhayul. Namun, kapal-kapal hitam transatlantik itu berkata lain: peradaban Renaissance Eropa yang digadang-gadang mencerahkan itu ternyata lindap.

Kegelapan Inggris tak hanya terjadi di laut. Di daratan, Inggris tak kalah bengis.

Pada mulanya Konverensi Berlin pada tahun 1884. Amerika Serikat, Kesultanan Ottoman dan dua belas negara Eropa membagi benua Afrika—yang begitu gemah-ripah itu—untuk dibagi-bagi wilayah kekuasaannya. Hal ini dilakukan agar Eropa sendiri tak saling serang dan ancaman konflik cukup diselesaikan di meja runding. Konverensi Berlin juga dikenal sebagai The Scramble for Africa (Perebutan Afrika).

Setelah Konverensi Berlin, setelah The Scramble for Africa itu, Inggris memasuki tahap kedua sebagai pemegang kekuasaan dua puluh negara koloni. Di Afrika sendiri, di luar benua Asia, Inggris menguasai Kenya, Uganda, Zimbabwe, Botswana, Malawi, Mesir, Nigeria, Afrika Selatan, Somalia, dan Sudan. Kolonialisme Inggris di berbagai negara ini—terutama hasil eksploitasi alam India— digunakan untuk mendanai proyek besar Revolusi Industri pada abad ke-18 yang terpusat di Manchester, Birmingham, dan Liverpool. Revolusi Industri di Inggris dan merubah arah peradaban manusia itu, tak selalu didanai oleh bisnis-bisnis yang bersih.

Pada tahun 1897, dalam ekspedisi hukuman Inggris, ribuan coran kuningan dan perunggu, juga ukiran gading-gading gajah, dijarah dari Istana Oba Benin, Nigeria. Istana Oba Benin itu sebenarnya istana yang tak gemar perang, dan ratusan tahun sudah mereka bertahan. Mereka sudah berdagang dan berinteraksi secara damai dengan gelombang para penjelajah dan pedagang yang datang dari Eropa sejak abad ke-15. Namun, Oba, Sang Raja, dipandang sebagai hambatan bagi kepentingan ekonomi Inggris; dan ketentraman Istana Oba jadi raib. Istana Oba diserbu dan Inggris berharap menemukan gading-gading gajah yang besar. Mereka memang mendapat beberapa, tapi yang pasti 4.000 plakat-plakat logam megah Afrika dijarah dan diangkut ke London. Selama penyerbuan Inggris itu, puluhan ribu nyawa tanggal. Tak hanya di Nigeria, pada tahun 1899-1902, selama Perang Boer di Afrika Selatan, Inggris mengumpulkan kira-kira seperenam populasi Boer—sebagian besar wanita dan anak-anak!—lalu menahan mereka di kamp-kamp sesak dengan makanan yang sangat tak layak. Di kamp-kamp itu, bahkan di tahun pertama, sepuluh persen populasi Boer tewas, termasuk 22.000 anak-anak.

Di luar Afrika, Inggris juga menghabisi India. Inggris mulai menjajah tanah para dewa itu sejak tahun 1600 yang ditandai melalui pembentukan British East India Company. Pada tahun 1757, terjadi Perang Plassey yang dipimpin oleh Robert Clave. Inggris menang dan India sah sudah dikuasai oleh East India Company.

Setelah seabad kekuasaan East India Company, para prajurit India yang bertugas di militer Inggris tak puas dan mereka berontak. Pemberontakan tentara India ini memang gagal, tetapi berhasil membuat East India Company bubar; dan membuat India diambil alih langsung oleh Kerajaan Inggris. Bubarnya perusahaan besar tersebut membuat India memasuki periode baru: Raj Inggris. Sistem baru ini membuat India berada di bawah pemerintah langsung Kerajaan Inggris, dengan Ratu Victoria diangkat sebagai Kaisar India pada tahun 1877.

42 tahun setelah India diperintah langsung oleh Kerajaan Inggris, terdapat peristiwa penting pada tahun 1919 di Amritsar, negara bagian Punjab di barat laut India. Ribuan orang India berkerumun di Jallianwala Bagh, Amritsar, dan pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Reginald Dyer jadi jengkel. Pasukan kulit putih itu menembaki kerumunan orang tak bersenjata itu sampai amunisi mereka habis. Tembakan brutal itu membuat 1.000 orang terbunuh dan 1.200 lainnya luka-luka hanya dalam sepuluh menit. Pembantaian di Amritsar ini memicu satu hal penting bagi India: gerakan kemerdekaan.

Pada tahun 1920, setahun setelah pembantaian di Amritsar, Mahatma Gandhi memimpin gerakan perlawanan terhadap kegilaan Inggris. Gandhi mengajak orang-orang melawan dengan cara tak anarkis dan tak bikin hura-hara. Gandhi mengajak rakyat India melawan dengan cara tak membuat segala macam kerja sama dengan Inggris. Gerakan perlawanan makin menjadi-jadi ketika terjadi kelaparan hebat di Bengal pada tahun 1943. Kebijakan Inggris yang mengalihkan makanan untuk perang dan ekspor, membuat dua hingga tiga juta orang India kelaparan. Jutaan orang mati dalam keadaan lambung yang kosong. Dan, mantan Perdana Menteri Inggris sejak tahun 1940-1945, Winston Churchill, mengatakan satu perkataan yang jorok sekali dan tak tercermin sedikit pun dalam dirinya sifat jatmika: “Saya benci orang India. Mereka adalah orang-orang dengan agama yang kejam. Kelaparan adalah kesalahan mereka sendiri karena berkembang biak seperti kelinci.” Selama di bawah rezim kolonialisme Inggris sejak abad ke-17, antara 12 hingga 29 juta orang masyarakat India mati kelaparan.

Namun Inggris tak kunjung tobat. Pada abad ke-20, abad ketika demokrasi sudah tegak dan hak asasi manusia dijunjung tinggi, mereka tetap mendirikan gulag dan kamp-kamp konsentrasi. Kamp-kamp konsentrasi itu berdiri di beberapa wilayah di Kenya: Kamp Hola di wilayah Sungai Tana; Kamp Mayani di dekat Taman Nasional Tsavo; Kamp Langata di dekat Nairobi; Kamp Mwea di wilayah Mwea; dan Kamp Athi River di daerah Sungai Athi. Kamp-kamp ini dibangun Inggris pada tahun 1952-1960 di Kenya untuk menumpas gerakan Mau Mau yang menuntut keadilan dan keadulatan.

Pemberontakan Mau Mau, yang dilakukan oleh suku Kikuyu, direspon brutal oleh Inggris dengan kejahatan kemanusiaan yang bikin kita tercengang. Ratusan ribu orang Kikuyu, termasuk wanita dan anak-anak, ditangkap tanpa prosedur hukum dan dikirim ke kamp konsentrasi di berbagai penjuru Kenya. Mereka tinggal di tempat dengan sanitasi dan makanan yang begitu buruk. Di kamp-kamp itu mereka disiksa, dipukul, dan paling buruk adalah dimutilasi. Penyiksaan Inggris begitu brutal, mereka menusuk benda tajam, memukul hingga korban tewas, dan disetrum hingga kejang-kejang. Jika perempuan, wanita Kikuyu diperkosa tentara dan polisi Inggris agar mental mereka ambruk. Selama peristiwa mengerikan ini, 12.000 hingga 20.000 orang Kikuyu menjemput maut di kamp-kamp konsentrasi; tewas di abad ke-20 ketika hak asasi manusia jadi barang sakral.

Sepanjang periode imprealisme Inggris sejak abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, puluhan juta orang di seluruh penjuru dunia harus menjemput maut karena titah dan mandat raja-ratu Inggris. Pada survey mutakhir pada tahun 2016, dilakukan survey terhadap masyarakat Inggris. Hasilnya begitu mengenaskan: satu dari tiga orang Inggris bangga dengan kerajaan Inggris selama periode kolonialisme. Persisnya, 44 persen orang Inggris bangga terhadap penjajahan Inggris, dan 43 persen percaya Kerajaan Inggris merupakan entitas yang baik. Hal ini berbanding terbalik dengan Jerman yang tingkat kepuasaan rakyatnya, selama periode kolonialisme, hanya sebesar sembilan persen.

Ternyata, hingga abad ke-21, rasisme dan rasa permusuhan di Inggris juga tak kunjung hilang. Benarlah sudah, sisa-sisa aib, kebencian, dan rasa tak tahu malu meringkuk bersembunyi di sudut-sudut gelap di jantung Eropa. Sebenarnya, merekalah yang seharusnya belajar bagaimana cara untuk beradab; ternyata, Eropalah orang-orang barbar itu.

Ya, Renaissance Eropa itu ternyata lindap.

Daftar Bacaan

 Caroline Elkins. Imperial Reckoning: The Untold Story of Britain’s Gulag in Kenya. New York: Henry Hotl and Company. 2005. (h.16-28. & h. 147-160).

Janet Anderson. Colonial Crimes: The Empire on Which Justice (Almost) Never Sets. 09 Juli 2021. https://www.justiceinfo.net/en/79636-colonial-crimes-the-empire-on-which-justice-almost-never-sets.html

Olaudah Equiano. The Interesting Narrative of the Life of Olaudah Equiano. Berkshire: Dodo Press. 2007. (Bab II dan Bab III, h.16-44).

Shashi Tharoor. An Era of Drakness. New Delhi: Aleph Book Company. 2016. (h.23-35).

Sumit Ganguly. Brutal Realities of British Rule in India. Current History, Vol. 116. No.789. 2017. https://www.jstor.org/stable/48614253

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here