Terdapat satu pepatah masyarakat Sudan yang membuat kita merinding: “Gunakan budak untuk membunuh budak.” Pepatah murung masyarakat Sudan ini tak mungkin datang dari sebuah wilayah di bawah kolong langit yang tenang dan serba tertib. Pepatah itu pasti punya muasal dari masa lalu yang tak henti-hentinya bertatap muka dengan kekerasan dan amis maut.
Salah satu masa lalu kelam itu terjadi di Darfur, Sudan, ketika 200.000 orang harus tewas. Jahanamnya, genosida paling mengerikan di Darfur itu terjadi ketika kota-kota besar dunia begitu gemerlap; ketika teknologi berkembang begitu pesat; ketika hutan-hutan telah sepi para pertapa; ketika segala perilaku diatur oleh diktat hukum; dan ketika hak asasi manusia—dengan segala kebebasan dan kesetaraannya—menjadi fakta dasar bagi masyarakat dunia. Namun, di abad ke-21 yang gemerlap itu, Sudan seolah-olah menjadi wilayah terpencil yang tak tersentuh magna carta libertatum. Sudan juga jadi kandang jagal raksasa ketika peristiwa pembunuhan kolosal tak lagi dianggap sebagai tindakan sinting.
***
Circa 1874, Mesir dan Inggris mulai menginvasi Sudan sebagai negara jajahan. Sudan pada akhirnya menjadi Anglo-Egyptian di awal abad ke-20 di bawah kendali kolonialisme Inggris. Di era invansi ini, yang dipimpin oleh Muhammad Ali Pasha dan kolonial Inggris, para penguasa menerapkan kebijakan yang membagi Sudan menjadi dua wilayah, yakni utara dan selatan: utara untuk masyarakat Afrika Arab dan selatan untuk masyarakat Afrika non-Arab. Pembagian ini, pada akhirnya membuat jurang etnis jauh lebih dalam dan menjadi bibit mengerikan pertikaian etnis.
Circa 1881, tujuh tahun setelah Sudan diinvasi oleh Mesir dan Inggris, Muhammad Ahmad bin Abdullah menyatakan dirinya sebagai seorang Mahdi, sang Juru Selamat. Gerakan Mahdiyah itu dimulai di Kordofan, wilayah tengah Sudan, pada 1881 dengan semangat jihad melawan kekuasaan kolonial Inggris-Mesir. Petani, suku-suku Arab, dan masyarakat miskin yang digilas oleh roda kolonial mulai mendukung upaya pemberontakan. Pemberontakan ini menyebabkan terjadinya dua perang: Pertempuran Aba Island pada 1881 yang berhasil membuat takluk tentara Mesir; dan Pertempuran Sheikan pada 1883 yang berhasil menaklukkan ekspedisi besar Inggris-Mesir yang dikomandoi oleh William Hicks, pertempuran ini menewaskan hampir seluruh pasukan konvoi Inggris. Gerakan Mahdiyah tak hanya berhasil dalam dua pertempuran itu, melainkan juga berhasil menaklukkan Khartoum, Ibukota Sudan dan pusat pemerintahan kolonial. Khartoum dikepung melalui strategi gerilya, dan pada 26 Januari 1885, Mahdiyah berhasil membuat Khartoum takluk dan membuat Jenderal Charles Gordon harus meregang nyawa. Khartoum jatuh, dan menjadi simbol penting perlawanan terhadap kegilaan kolonial.
Circa 1885-1898, Muhammad Ahmad bin Abdullah meninggal setelah beberapa bulan penaklukan Ibukota Khartoum. Kematiannya membuat Abdallahi ibn Muhammad menjadi pimpinan tertinggi gerakan Mahdiyah. Pada Juni 1885, Abdallahi mulai membentuk Negara Mahdiyah yang wajib bersandar pada yurisprudensi Islam dengan menekankan jihad melawan kolonial sebagai prinsip dasar. Namun, dalam perjalanannya, Negara Mahdiyah terjadi ketegangan internal antara suku-suku yang mendukung gerakan Mahdiyah. Ketegangan itu memicu beberapa perpecahan di dalam kerja-kerja kekuasaan. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan khalifah yang represif, krisis pangan, dan perang internal membuat rakyat Sudan kecewa dan masygul. Ketegangan ini membuat Negara Mahdiyah jadi retak dan limbung.
Circa 1896, Inggris dan Mesir menyiapkan kampanye militer gigantis di bawah komando Jenderal Herbert Kitchener. Kampanye besar-besaran ini punya visi penting untuk membuat roboh negara Mahdiyah dan memulihkan kembali kontrol penuh atas Sudan. Pada 02 September 1898, meletus Perang Omdurman yang menjadi titik balik paling mengerikan yang membawa sejarah Sudan ke dalam jantung kegelapan. Perang Omdurman meletus, dan lagi-lagi, senapan Maxim dan teknologi pembunuh modern Inggris bukan lawan tanding yang sepadan dengan pedang dan tombak yang digunakan tentara Mahdiyah. 10.000 pejuang Mahdiyah antikolonial harus tewas di hadapan senapan modern Barat. Kekalahan ini membawa Sudan kembali berada di bawah kontrol bengis kolonialisme Inggris.
Circa 1899, tujuh belas tahun perjanjian kondominium, Sudan dikelola kembali oleh Inggris dan Mesir. Namun, kini Mesir sekadar jadi mitra simbolis dan mengekor pada mandat dan perintah Inggris. Mesir sekadar alat, sekadar sejawat yang mengeruk sumber daya Sudan. Dan, di tahun yang sama, Abdallahi harus tewas di pertempuran Umm Diwaykarat. Sejak 1899 kolonialisme Inggris benar-benar memegang penuh kekuasaan di Khartoum, Ibukota Sudan, dan membuat masyarakat Sudan benar-benar hidup di neraka kulit putih.
Circa 1920, Inggris mulai mendirikan Gordon Memorial College untuk mendidik elite-elite lokal Sudan. Generasi pertama jebolan GMC ini menjadi cikal bakal gerakan nasionalisme Sudan. Mereka mulai dipengaruhi diskursus reformasi Islam, nasionalisme Arab dan gerakan anti kolonial. Alumnus GMC, circa 1938, mulai mendirikan Graduate Congress sebagai organisasi politik pertama Sudan yang, pada mulanya, fokus pada isu-isu sosial. Namun, dengan berkembangnya waktu, Graduate Congress mulai menjadi suara pemberontakan arus utama yang menuntut dengan gigih kemerdekaan dan independensi status politik. Revolusi Mesir, pada tahun 1919, juga menjadi ilham penting bagi penolakan kolonialisme Inggris. Semenjak momen pemberontakan anti kolonial Graduate Congress tersebut, banyak intelektual Sudan berafiliasi dengan jaringan politik revolusioner Mesir—terutama dengan gerakan Pan-Arabisme.
Circa 1940-1950, selama Perang Dunia II, Inggris mulai melemahkan cengkramannya terhadap Sudan karena konflik di Barat sangat kacau-balau, dan hal ini membuat gerakan kemerdekaan jadi leluasa untuk berkembang. Partai-partai pembebasan nasional mulai terbentuk: Partai Umma yang didukung oleh Ansar (pengikut Mahdiyah) yang mendukung kemerdekaan penuh tanpa harus berfusi dengan Mesir; dan Partai Unionist National, yang didukung oleh kelompok Khatmiya, mereka menawarkan penyatuan dengan Mesir dalam rangka kesetaraan. Selama Perang Dunia II yang begitu menyita konsentrasi Barat, media dan agitasi publik mulai menampung gagasan-gagasan kemerdekaan. Hal ini membuat kesadaran politik nasional mulai terbentuk dan jadi tajam.
Circa 1952-1956, Mesir mulai menekan Inggris melalui revolusi Free Officers pada tahun 1952. Hal ini, juga ditambah gerakan nasionalis Sudan, akhirnya Inggris merestui pemilu pertama di Sudan. Dan, pada tahun 1953, terjadi sebuah Perjanjian Anglo-Mesir yang memberikan otonomi kekuasaan kepada Sunda. Pada tahun yang sama pula, pemilu pertama Sudan akhirnya mendapatkan hasil kemenangan besar bagi Partai National Unionist yang punya komitmen untuk merdeka melalui proses yang damai dan bahari. Puncaknya, pada 1 Januari 1956, Ismail al-Azhari memimpin deklarasi kemerdekaan Sudan.
Circa 1980, dua puluh empat tahun setelah kemerdekaannya dari kolonialisme Inggris-Mesir, Sudan memasuki era krisis politik dan ekonomi yang begitu dalam. Krisis tersebut menyebabkan Perang Saudara Kedua pecah, pada tahun 1983, sebagai akibat dari kekecewaan terhadap pemerintahan Sudan. Dan, ada satu orang perwira militer berpangkat brigadir yang kesumat dengan rezim Sudan yang, pikirnya, tak becus mengurus sebuah negara. Kita harus menandai nama ini: Omar al-Bashir.
Circa 1989, Omar al-Bashir, seorang perwira militer dengan pangkat brigadir itu, memimpin sebuah rencana kudeta untuk memakzulkan pemerintahan Sadiq al-Mahdi. Kudeta al-Bashir ini didukung penuh oleh Front Islam Nasional yang dipimpin oleh Hassan al-Turabi. Kudeta itu berhasil dan begitu sangkil yang membuat Sadiq al-Mahdi makzul dari mercu kekuasaan. Setelah mengambil alih kekuasaan, al-Bashir mulai membubarkan segala jenis partai politik, parlemen, dan institusi sipil. Lalu, ia mulai mendirikan Dewan Komando Revolusi untuk Penyelamatan Nasional dalam rangka mengkonsolidasi dan mendistribusi kekuasaan.
Circa 1990, al-Bashir mulai berselisih hebat dengan Turabi. Al-Bashir murka dan menghapus segala otoritas politik yang dimiliki oleh Turabi. Sembarang orang yang berbeda paham dengan dirinya akan disikat, dihabisi. Oposisi diberangus, aktivitas yang memungkinkan pembangkangan dilarang, dan mereka yang tak suka dengan kebijakan al-Bashir akan ditangkap. Alhasil, Sudan benar-benar dipimpin oleh seorang diktator kejam yang tak mengizinkan siapa pun mengusik mercusuar kedaulatannya sebagai pemimpin tertinggi Sudan. Krisis ini menyebabkan perang tak habis-habis, kematian jadi begitu akrab dan anyir darah bukan barang langka.
Dari situ kita tahu, setelah merdeka dari kulit putih, Sudan memasuki jantung kegelapan lain yang celakanya justru datang dari dalam. Di tahun-tahun ini dan tahun-tahun panjang berikutnya, Sudan mulai dipimpin oleh pemimpin tak bestari dan kelak akan menyebabkan, pada tahun 2000an, 200.000 orang Darfur bertemu maut.
***
Darfur merupakan wilayah di barat jauh Sudan yang berbatasan dengan Republik Afrika Tengah (Centrafrique) dan Republik Chad. Wilayah kering ini benar-benar berada di ujung barat Sudan: daripada ke Lembah Nil, misalnya, Darfur jauh lebih dekat dengan Nigeria Utara atau Sahel Tengah di Mali. Darfur juga sebuah wilayah yang kolosal, luasnya sekitar 190.000 km persegi dengan kontur daratan yang gersang dan tandus. Sudan juga punya sejarah yang begitu gulita, seperti yang telah dijabarkan di atas, dari abad ke-18 hingga abad ke-21; yang berarti, konflik itu telah diwarisi turun temurun selama lebih dari tiga abad.
Ras paling dominan di Darfur—sesuai dengan penamaannya—adalah ras dari suku Fur (suku non-Arab). Jika kita melihat ke belakang, persisnya di abad ke-18, penduduk muslim mulai menempati Darfur ketika awlad al-Bahar (yang secara harfiah berarti putra-putra sungai), yang terdiri dari suku Ja’aliyin atau Danagla, tiba sebagai pendatang terakhir. Suku Arab tersebut pada mulanya datang sebagai pedagang dan punya misi menyebarkan ajaran Islam. Kemudian, misi dagang dan dakwah itu secara bertahap membuat para “putra-putra sungai” itu menjadi pemukim tetap di Darfur. Bermukimnya bangsa Arab ini—ditopang oleh kekuasaan yang datang dari atas—perlahan mulai memiliki peranan penting dalam struktur sosial Darfur. Ras paling dominan di Darfur—sesuai dengan penamaannya—adalah ras dari suku Fur (suku non-Arab).
Oleh karena itu, wilayah Darfur dihuni oleh populasi yang kompleks dan budaya yang saling terpaut kelindan antara orang Arab dan Afrika. Situasi di Darfur juga jauh lebih rumit tatkala orang-orang Afrika mulai kehilangan bahasa mereka dan mulai mengadopsi bahasa Arab. Meski demikian, beberapa komunitas Afrika di sebagian wilayah Darfur tetap menggunakan bahasa ibu (bahasa Zaghawa, Daju, Fur, misalnya) dan ada pula yang menggunakan campuran bahasa Afrika-Arab. Tak heran jika di Darfur terdapat sebelas bahasa yang berbeda, entah itu Afrika, Arab atau campuran—dan masing-masing bahasa itu memiliki penutur aktif. Bahasa jadi saling tumpang tindih, bahasa yang begitu beragam telah membuat sebuah jurang komunikasi. Hal ini juga menandakan bahwa identitas ras di Darfur begitu kental.
Identitas yang begitu kental di Darfur ini juga memiliki konsekuensi. Terdapat dua kultur yang begitu mendominasi: kultur Arab-Islam di satu sisi; dan kultur tradisi pagan masyarakat Sudan di sisi lain. Namun, disebabkan oleh kekuasaan diktator Omar al-Bashir yang cenderung memihak mutlak kepada masyarakat muslim, tradisi pagan masyarakat Sudan menjadi kultur dan kelas nomor dua. Kondisi multietnis dan dendam diam-diam penghayat pagan ini menjadi api dalam sekam yang akan menyebabkan tragedi paling mematikan di abad ke-21. Namun, perlawanan terhadap rezim gila al-Bashir tak hanya datang dari komunitas penghayat paganisme, melainkan juga datang dari kalangan muslim itu sendiri.
Circa 2000, di suatu masjid di Jumat siang yang kering, setelah menunaikan shalat Jumat, beberapa anak muda menyebar selebaran tulisan berukuran A4 dengan judul Buku Hitam: Kekuasaan yang Timpang dan Kekayaan di Sudan. Para penulis selebaran itu, anak-anak muda itu, menyebut diri mereka sebagai Pencari Kebenaran dan Keadilan. Selebaran itu tak hanya selebaran remeh, selebaran itu adalah bukti gerakan klandestin anak muda Sudan yang begitu jengah dengan kegilaan Omar al-Bashir. Isi dari selebaran itu adalah perihal bagaimana Sudan dicengkeram dan dikuasai, semenjak kemerdekaannya dari kolonialisme Inggris-Mesir, hanya oleh tiga suku yang hidup di bantaran Sungai Nil sebelah utara di Khartoum: yakni suku Ja’aliyiin yang juga suku dari Omar al-Bashir; suku Shaygiyya yang bagian dari suku Wakil Presiden Ali Osman Mohamed Taha; dan suku Danagla yang bagian dari suku Menteri Pertahanan Bakri Hassan Saleh. Selain Ibukota Khartoum, ucap isi dari selebaran itu, kota-kota, desa-desa dan/atau etnis-etnis lain dipinggirkan dan tak dipikirkan oleh Omar al-Bashir. Tak hanya wilayah selatan yang notabene dihuni oleh masyarakat non Arab dan non muslim, bahkan Sudan di wilayah barat dan timur tak punya status politik dan ekonomi yang setara dibanding Khartoum. Selebaran itu terbang begitu cepat umpama angin lembah musim gugur di bulan Oktober: dalam kala tiga hari, 1.600 salinan tersebar, 800 di Khartoum, 500 di beberapa wilayah di Sudan, dan 300 lainnya ke luar negeri. Di awal abad ke-21 itu, gerakan bawah tanah melawan kelaliman sah dimulai.
Circa 2001-2003, muncul beberapa kelompok pemberontak terhadap kekuasaan al-Bashir. Terdapat dua kelompok besar kelompok pemberontak: Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and Equality Movement (JEM). Dua kelompok pemberontak ini ingin pembagian dan pendistribusian kekuasaan sumber daya dengan adil dan merata. Pemerintah Sudan menanggapi pemberontakan itu melalui cara yang bengis dan brutal. Al-Bashir tak ingin memberi sedikit pun toleransi, sembarang pemberontak yang mengguncang kekuasaan harus terpecundangi. Demi visi itu, al-Bashir mulai menggunakan kekuatan militer Sudan dan milisi Janjaweed yang rela mati demi al-Bashir. Janjaweed, yang bermakna pria bersenjata di atas sanggurdi unta, adalah orang-orang kalap yang tak tebang pilih dalam mengantarkan orang ke jurang maut.
Pada 27 Februari 2004, ratusan tentara menunggangi kuda dan unta menyerang Kota Tawila di timur Jebel Marra dalam rangka menghabisi para pemberontak. Setelah operasi serangan Tawila itu selesai, 75 orang dinyatakan tewas, 350 perempuan dan anak-anak diculik, dan 100 perempuan diperkosa dengan sinting, termasuk 41 guru dan murid di asrama sekolah Tawila. Tindakan laknat tersebut tak hanya berhenti di situ, beberapa perempuan dan anak-anak diperkosa di hadapan ayah atau suami mereka, lainnya diperkosa secara bergilir, dan beberapa lainnya dibunuh setelah diperkosa. Dan, di kondisi yang irasional seperti itu, Sudan benar-benar telah menjelma kerak neraka. Selain itu, perilaku buas Janjaweed rekrutan al-Bashir, para milisi pria bersenjata di atas sanggurdi unta itu, juga menggosongkan desa non-Arab dan membantai siapa pun, bahkan perempuan atau anak-anak, yang berusaha mencegah penyerbuan. Jika Anda bukan suku Arab, dan kebetulan tinggal di desa-desa Sudan di era itu, entah muslim atau bukan, nyawa Anda sedang berada di ujung tanduk.
Sejak itu, kekerasan di seantero Sudah sudah menyebar umpama wabah; juga di Darfur yang menjadi tempat paling berdarah dan paling sengsara. Di era wabah kekerasan menyebar ke seantero negeri, di Darfur, senjata Avtomat Kalashnikova 1947, atau dikenal sebagai AK-47, dijual hanya 40 dollar di pasar bebas. Kekerasan sudah jadi budaya, mereka yang tak memiliki senjata akan mati, entah lawan atau kawan, di hadapan Avtomat Kalashnikova. Ditambah, tren politik baru supremasi suku Arab menjadi momentum mengerikan yang membuat Janjaweed bringas dan tak kenal ampun.
Masyarakat Darfur dibantai tanpa tebang pilih; perempuan diperkosa; desa-desa runtuh tinggal abu; sumur dirusak, ternak dibunuh, kelaparan juga merajalela. Hal ini menyebabkan 2,5 juta orang terpaksa mengungsi ke kamp-kamp kumuh dengan segala kebutuhan yang tak pernah lengkap; dan, ratusan ribu lainnya mengungsi ke negara Chad. Pembantaian sistematis yang datang dari atas ini menyebabkan 200.000-400.000 orang tewas, baik karena kekerasan langsung atau kelaparan dan penyakit.
Circa 2009, International Criminal Court atau Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), mengeluarkan surat penangkapan terhadap Omar al-Bashir atas tuduhan genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, gilanya, Omar al-Bashir tetap berkuasa hingga 2019. Tiga dekade lebih Sudan telah dipimpin orang yang berlumur amis darah, dan dunia internasional seolah-olah menutup mata dengan genosida yang ada di Darfur, juga di seantero Sudan. Kejatuhan Omar al-Bashir itu terjadi karena protes besar-besar masyarakat Sudan; dan, pada 11 April 2019, al-Bashir digulingkan melalui kudeta militer. Protes besar-besaran untuk menggulingkan al-Bashir itu menewaskan 100 orang demonstran karena serangan milisi Rapid Support Force (RSF) yang sebelumnya merupakan bagian dari Janjaweed. Al-Bashir tumbang dan telah makzul, tapi tidak dengan warisan kekerasan.
Circa 2023, pertempuran besar terjadi (lagi dan lagi!) di Khartoum pada April 2023. RSF menggunakan taktik sinting dengan menargetkan warga sipil sebagai korban. Kengawuran ini terjadi karena mereka ingin menjadi kekuatan otonom yang memiliki pengaruh besar di Sudan. Kini, Khartoum diblokade dan menjadi zona perang. Bahkan hingga hari ini, hingga tulisan ini dibuat, di Darfur RSF melaksanakan penjagalan dan membuat ribuan orang tewas. Terutama di Kota El Geneina, Darfur Barat, kini menjadi lokasi pembantaian besar-besaran, ratusan orang tewas dan dunia bergeming bak batu berhala.
Dan, kekerasan di Sudan seperti lingkaran setan tak ada ujung; kekerasan tampaknya telah menjadi sebuah perkara yang datang dari neraka.