Suara jangkrik masih setia pada malam yang sunyi, biasanya juga ada kunang-kunang, tapi mungkin mereka sedang termakan erosi. Satu dua lemparan pada dinding, dengan sedikit kekagetan hewan peliharaan, meringkung dalam malam yang mungkin masih seru jika dibuat pacaran bagi muda-mudi. Angin berhembus sedikit dan tak berusaha bersuara saat ini, ayam pun tak berkokok mungkin sudah terlelap untuk bangun pagi. Sampai kapan pikiranku akan terus begini?
Langit-langit masih saja kosong, tak ada gambar apa pun, tak ada bentuk apa pun, karena memang gelap tak terbendung. Perasaan ini mungkin ada pada sebagian orang, tulisan ini bukan ingin menjadi alur novel atau cerpen, tulisan ini lebih cocok untuk memastikan, apakah ada orang yang sama di luar sana? Apakah ada yang merasakan hal serupa dengan tulisan ini? Saya tidak bilang saya, dan juga kalian bisa menyangkalnya jika kita sama.
Proses memaafkan diri dan ikhlas itu bukan secepat kilat, bahkan tidak bisa dipaksakan. Rasanya selalu marah pada diri sendiri, ketika diri kita terus mengungkit kesalahan yang ada, rasanya perlu hingga mereka atau dia juga merasakan apa yang kita rasa. Memang Gojek memiliki tagline “selalu ada jalan,” memang benar adanya, namun pernahkah kau merasa bahwa rasanya baru kemarin hal itu terjadi. Hari ini ikhlas, besok baik-baik saja, tapi bulan depan mungkin merasa kesal dengan masalah tersebut. Karena hal itu, kadang membuat kita beradu nasib akan trauma atau sikap kita masing-masing, karena hal tersebut juga kita merasa diri kita paling gagal di dunia, kita merasa diri kita tidak layak untuk dicintai “lagi.”
Bagaimana, lantas tagline Gojek bisa diterapkan dalam kesehatan jiwa? Melepaskan itu bukan hal yang mudah, kita perlu konfirmasi, validasi, dan terus menerus bahwa “it’s okay” atau “you deserve better” atau “kamu sudah memilih jalan yang benar.” Hal-hal yang membuat ketidaknyamanan yang kita rasakan semakin menjadi ketika jangkrik loncat ke atas ranjang kita. Kita mulai berpikir, apakah ini wajar? Apakah aku seorang “pengungkit”? Atau memang manusia seperti aku adalah manusia yang layak tidak dicintai? Atau memang aku harus hidup dalam gelap bersama malam dan jangkring mungil ini?
Tugas kita berusaha dan mengusahakan (Sabrina Maidah, Psikolog). Kalau kita mau segera “melupakan” atau “memaafkan,” rasanya seperti erosi yang menyebabkan hilangnya kunang-kunang, kita akan rusak, kita akan kacau. Jangkrik mulai berteriak setelah lama duduk di bantal merah, ada yang aneh? Apakah jangkrik duduk? Atau memang dia berjalan sambil duduk? Atau bagaimana? Sudahlah! Jelas kita harus cek lagi apakah tulisan ini masih relevan dengan kisah jiwa kita?
Pupuk rasa yang ada! Nyanyian jangkrik yang mencapai 100-115 desibel (dB) pun dapat merusak pendengaran kita! Mencoba melihat lagi langit dengan jangkrik pada malam tanpa kunang-kunang, berbicara lagi bahwa “aku telah memaafkan diriku,” tanpa memikirkan jangkrik sedang duduk atau tidur, dada mulai panas, sedikit ada cairan asam lambung yang naik hingga tenggorokan, bantal yang mulanya berada jauh kini tersandar kepala sedikit lebih tinggi dan bersanding dengan si hitam. Mulai lagi menata permasalahan yang berawal dari mana, mula-mulanya kamu sedang minum kopi pahit dengan tumpukan kerjaan yang perlu selesai hari ini, lalu kamu berbaring dan berharap hari ini akan berjalan semestinya. Lagi lagi, erosi muncul bahkan ludes hingga longsor tanpa sadar bahwa kamu adalah zona seismik, di mana Gojek saja tak bisa melewatimu. Bohong jika Gojek memaksa melewati suatu area yang cenderung menjadi pusat gempa bumi, bohong jika kamu tak perlu berdamai dengan dirimu, bahkan jika Nadiem Makarim yang akan menjadi ojolmu sekalipun, rasanya amarah yang menjalar dari dalam tubuhmu membawa energi malapetaka bagi Menteri kita! Tak ada yang bisa menghentikan pikiranmu malam ini, tak ada yang berhak menghakimimu malam ini, meski kau sangat rindu akan kunang-kunang tapi tetap seekor jangkrik mampu membuatmu tenang.
Ia hanya mengerik, harmoni dan gelap menyatu, tak ada bintang atau lampu tidur. Mungkin hari ini kamu marah pada dirimu sendiri, mungkin besok kamu sudah baikan, atau lupakan “apakah dia akan mencintaimu esok dan bulan depan?” Atau benarkah kamu akan baik-baik saja tanpa obat penenang? Percayakan pada hal-hal yang membuatmu berkembang, ada banyak lubang rasanya yang perlu kamu reklamasi, pelan-pelan, mulanya kamu harus tarik napas dan dengarkan ritme si mungil di sampingmu.
Ritual malam kali ini kamu alihkan menjadi fokus pada pola suara jangkrik. Fokus pada saat di mana dirimu berada, bersedia memaafkan diri, dan terhubung pada lingkungan sekitar. Rasanya jangkrik pun memiliki pengalaman pahit sendiri ketika diabaikan oleh pendengarnya. Coba berangan-angan bahwa ia ada pada malam-malam kerinduan dan untuk dirimu, tak peduli seberapa keras orang lain mengusirnya tapi kali ini ia mendamaikanmu.
Pikirkan bagaimana angin yang sedih jika kau merana, tarik napas lagi, alih-alih meminta ucapan “gdnite” kadang kita lupa untuk mengucapkan selamat malam pada diri sendiri. Berelasi dan berkomunikasi rasanya susah dengan manusia penuh trauma, bukan menjadi alasan hal tersebut sering terjadi. Tidak secepat itu, bahkan kecelakaanpun perlu IGD untuk unit tersendiri.
Cahaya matahari mulai masuk pada sela-sela jendela, ayam sudah bekerja sejak tadi entah jam berapa, cuaca mulai sejuk, jangkrik hilang entah ke mana. Terlihat banyak barang berserakan di mana-mana, mungkin semalam ada kerusuhan atau apa? Tapi pagi ini, harap-harapnya hanyalah penyesalan tiada kira, mungkin “maaf” sudah tak ada artinya bagi siapa saja yang terkena gelombang gempa, berbagai macam pertolongan bahkan terjatuh pada kubangan untuk tidur selamanya. Pernahkah kamu merasa demikian? Harap-harap penulis tidak, tapi jika iya, tolong sampaikan salam pada dirimu sendiri bahwa “kamu tidak sendiri”.
[…] “Aku dulu lahir di sini dan dibantu dukun bayi. Bolehkah aku bertemu dukun bayi yang membantu aku dulu, untuk mengucapkan terimakasih dan melepas rindu?” […]