Detik-detik Sakral
Detik-detik Sakral

Jam berdentuman seperti sedang memalu berulang-ulang waktu. Malam masih panjang, rokok tinggal dua batang. Suara keyboard komputer tua terdengar tak-tik tidak karuan di seberang, mungkin kebanyakan di delete-delete lagi karena si pengetik kurang canggih. Ternyata selain kurang canggih, si pengetik kurang makan. Mungkin juga kurang kasih sayang. 

“Seumur hidup kuhabiskan waktuku hanya tak tik” gumamnya, 

Keyboard masih nyaring terdengar tak-tik-tak-tik. Otak si pengetik masih bekerja keras, sedang tangannya sudah lesu, keyboard terdengar tak tik padahal baru mengumpat asu. Badannya rimpuh, bola matanya sudah lama jatuh. Makin sering dia mengeksploitasi, makin sering idenya macet lagi. 

“Ayolah kata-kata, keluar kalian dari tempat persembunyian. Tempat sepi yang dihuni hati-hati yang sedang sendiri”

Semakin malam semakin matanya melaram tajam, larut dalam khayalan panjang. Si Pengetik lalu menjelma menjadi malam-malam tenang yang diganggu suara lolongan serigala atau krik krik suara jangkrik. Ketika sedang suntuk seperti ini, si pengetik biasanya memilih keluar dari tempat persembunyiannya. Tempat sepi yang dihuni hati-hati yang sedang sendiri. Menyalakan beberapa batang rokok. Sambil menggumam dan melihat langit yang remang-remang. Apa kabar bulan, apa kabar bintang?. Dia akan makin mengigau tidak karuan. Apa kabar rupiah hari ini?

Kalau sudah beberapa lama seperti ini, biasanya teman baiknya datang. Teman baiknya adalah kerinduan, yang datang dengan membawa kesedihan semangkuk dari pedih yang tersisa di bekas peluk. Mereka saling melepaskan kata-kata, sesekali menumpahkan air mata. Si pengetik lalu curhat,

“Ide ku macet, cerita di kepalaku belum tuntas”

“Hutang-hutangmu juga belum kau bayar lunas”

“Hutang apa lagi?”

“Hutang janji yang kau ikat ketika menulis cerita ini, katamu engkau akan sering menggunakan kata rindu dari kata-kata lainnya”

“Iya, ini juga sudah ku tulis kan”

“Bohong !”

“Bohong bagaimana?”

“Lihat lagi cerita yang kau tulis, berapa banyak kata “yang” kata “ini-itu” melebihi dari kata rindu”

Si pengetik makin bingung, bagaimanapun dia tidak akan mudah melepaskan kata “yang” dalam cerita. Baginya, kata itu lebih sakral dari kata apapun. Tanpanya, dia akan bingung untuk membuat menjadi kalimat yang utuh. Kerinduan semakin merajuk.

“Memang benar kata orang, semua tentang prioritas, jika aku saja kalah dengan kata yang lain, artinya sudah tidak penting lagi diriku”

Si pengetik lalu kembali ke depan komputer tuanya. Dilihatnya dengan seksama kembali berapa kata “yang” dan bagaimana kalau kata “yang” coba dihilangkan. Semakin dia berupaya, semakin dia geleng-geleng kepala. Keyboard makin ditekan-tekan tidak karuan. Delete lagi delete lagi. Ternyata selain kurang canggih, si pengetik kurang sopan. Mungkin juga kurang perhatian. Ngomong-ngomong dengan perhatian, si pengetik lantas teringat pesan yang menggantung di pop up ponsel. Pesan dari kekasihnya yang belum dia balas. Katanya jangan terlambat makan, jangan tidur kemalaman. 

Si Pengetik itu menjelma sebagai seorang laki-laki yang sedang ketiduran di atas meja kerja sehabis seharian dikerjain kerja. Baru mendapat tugas lemburan dari bos-nya. Dia lantas terbangun dengan kaget karena tagihannya belum beres.

“Seumur hidup kuhabiskan waktuku untuk beresi kerjaan dari Bos” 

Merasa karena dikejar-kejar waktu, kerjaan belum beres, Si pengetik akhirnya menghubungi Bos-nya. Bos-nya adalah kerakusan. Kata bosnya, 

“Bagaimanapun, aku tidak mau tahu. Target harus sesuai target !”

“Saya butuh beberapa hari lagi bos untuk menyelesaikan tugas ini”

“Satu hari bagiku berharga”

“Kalau seperti itu saya minta tambahan setengah hari saja”

“Setengah hari pun juga berharga, bagiku setiap detik itu sakral”

“Beri saya tambahan beberapa jam saja, bos !”

“Tidak bisa !”

“Kenapa tidak bisa?”

“Semua tentang loyalitas, jika mengerjakan target saja masih molor, artinya kerjaan ini sudah tidak butuh kamu, akan kupecat kamu !”

Si Pengetik tersebut akhirnya kalah juga, terperangah kembali ke meja kerja. Menuju depan komputer tua dan usang. Menekan tombol keyboard berkali-kali kembali. Terdengar suara jeritan keyboard ah-ih. Delete lagi delete lagi. Ternyata selain kurang canggih, pengetik juga kurang sabar. Mungkin juga kurang sadar. Ngomong-ngomong tentang sadar, si pengetik lantas menyadari mendapat pesan whatsaap yang bergantung di layar pop up ponsel dari Bos-nya. Katanya jangan terlambat kerja, jangan hanya makan gaji buta.

Si Pengetik menjelma sebagai laki-laki tua yang duduk suntuk di depan komputer yang lemot dan lebih tua dari dirinya. Sedang menghitung gaji dari royalti penjualan buku-buku yang diketiknya. Berpacu dalam bisnis perniagaan kata-kata. Sambil pusing memikirkan cicilan rumah yang belum tertutup, sedangkan pencairan gaji bulan ini belum cukup.

“Seumur hidup kuhabiskan untuk melunasi cicilan rumah ini”  

Merasa bosan, si pengetik akhirnya keluar rumah sebentar. Menghidupkan mesin sepeda motor RX-king nya. Melaju kencang di jalanan yang sibuk menghitung peruntungan nasib-manusia. Nasib sial tidak ada di kalender memang. Di saat sedang asyiknya melahap jalanan, ban belakang motornya bocor kena paku payung. Ternyata selain kurang canggih, si pengetik kurang beruntung. Mungkin juga kurang dukun. Ngomong-ngomong tentang dukun, dia teringat di jalanan ini dulu ada seorang dukun bayi. Dukun bayi itu yang membantu kelahirannya dulu. Merasa lama tidak bertemu, akhirnya laki-laki tua itu beranjak mampir ke rumah dukun bayi itu. Saat mengetuk pintu rumah dukun bayi itu, tiba-tiba kerinduan menghampirinya dan bertanya, 

“Kamu siapa?”

“Aku bayi yang lahir disini”

“Kamu bukan bayi lagi, rumah ini untuk bayi”

“Aku dulu lahir di sini dan dibantu dukun bayi. Bolehkah aku bertemu dukun bayi yang membantu aku dulu, untuk mengucapkan terimakasih dan melepas rindu?”

“Apa pekerjaanmu sekarang?”

“Aku penulis cerita ini”

“Oh aku tahu sekarang”

“Apa?”

“Yang kau cari bukan dukun bayi, yang kau cari adalah ide cerita tentang rindu, rumah dan segala kerakusan yang membuat macet isi kepalamu”

“Kenapa kau tahu seperti itu?”

“Kamu terlalu royalitas, terlalu banyak meminta dan berlebih-lebihan, terlalu rakus. padahal jika ide ceritamu baru mandek, istirahatkan saja dirimu, istirahatkan saja kata-katamu”

Si pengetik masih bingung. Hanya saja, pada detik sakral ini, kepalanya malah makin pusing dan sakit. Sesaat kemudian si pengetik membuka mata terbangun dari tidur di malam yang panjang, rokok tinggal dua batang. Layar monitor komputer tua masih menyala, dengan cerita yang selesai baru dua pertiga. Kata terakhir yang terlihat adalah rindu. Keyboard tidak lagi tak tik mengumpat asu. Suara Alarm tak tuk terdengar nyaring bersahut. Berulang-ulang berbunyi karena tidak di pencet-pencet lagi. Ngomong-ngomong tentang pencet, si pengetik kini memencet ponsel canggihnya, sambil melihat pesan Whatsaap yang menggantung di pop up ponsel. Pesan dari Ibunya. Katanya jangan lupa pulang.

Beli Alat Peraga Edukasi Disini

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here